1429
H. Gema
takbir hari raya Idul Fitri mengalun bersahut-sahutan. Sebentar lagi kemeriahan
hari lebaran akan datang. Umat muslim telah beberapa hari sebelumnya bersibuk
ria mempersiapkan hari suci yang telah mereka nantikan satu bulan lamanya, semisal
membuat ketupat, opor ayam, sate kambing dan kemeriahan makanan kecil yang
tersedia di atas meja makan setiap keluarga. Saat itu aku tinggal di Kota
Pekalongan. Ini adalah untuk pertama kalinya aku merayakan lebaran tidak di
kampung halaman. Aku memang seorang Katolik, tetapi aku sungguh merasakan kekhidmatan dan gema Idul Fitri yang
menghadirkan kedamaian, semangat hidup baru, serta keceriaan dalam menghadapi
hidup di tengah masyarakat.
Para saudara/i dari orang
tuaku mayoritas muslim. Setiap lebaran tiba, kami memiliki tradisi silaturahmi
ke rumah nenek. Kami, keluarga besar, berkumpul di rumah nenek. Tentu saja
setelah mereka selesai menunaikan shalat
id. Kami saling bermaaf-maafan
satu sama lain, tidak tua – tidak muda, semua melakukannya. Kini sesudah nenek
meninggal, merekalah yang berkunjung ke rumah kami. Maklum orang tuaku anak mbarep, sehingga mereka (adik-adik) yang
bersilaturahmi ke rumah.
Mutiara
Lebaran
Dalam perayaan Idul
Fitri kali ini, aku sungguh merasa bahagia. Komunitas kami, pastoran St. Petrus
Pekalongan, memang rutin bersilaturahmi dengan para pemuka agama di kota ini. Aku
diajak pastor kepala paroki bersilaturahmi ke rumah Habib Lutfi. Aku mau-mau
saja menerima ajakan itu. Lagian aku
penasaran dengan tokoh Habib Lutfi yang katanya terkenal di kota Pekalongan.
Kami berjalan memasuki
kompleks rumah Habib Lutfi yang sangat luas. Aku terkejut, sebab kedatangan
kami disambut hangat oleh beliau. Habib Lutfi menyapa kami dengan hangat, guyonannya membuat kami nyaman di
dekatnya. Bahkan beliau mengajak kami berkeliling sampai akhirnya masuk ke
rumah beliau di lantai dua. Kami ngobrol
santai sembari minum teh hangat.
Ngobrol
punya ngobrol, beliau akhirnya tahu
kalau aku calon imam. Beliau bertanya, “Kamu wis siap?” disusul tawa lepasnya yang mengisi seluruh ruangan di
lantai dua itu. Tidak lama kemudian beliau melanjutkan,
“Menjadi pemimpin itu gampang-gampang susah. Setiap pemimpin,
apapun agamanya, tugas dan kesulitan yang dihadapi sama. Pemimpin itu yo ngladeni umat, yo dirasani umat. Pemimpin itu yo
harus pandai memimpin umat. Kamu sudah siap menghadapi itu semua. Nek ora siap yo mundur saja”, kembali
beliau tertawa dengan renyahnya.
Aku hanya
mengangguk-angguk mendengar beliau bercerita dengan perasaan yang aneh saat
itu.
“Begini, pesenku
menjadi seorang pemimpin itu kudu wani
nguntal paku?”. Sembari beliau
menatap mataku beberapa saat, dan membuatku nervous.
“Kamu ngerti
maksudnya?”. Aku hanya geleng-geleng kepala menjawab pertanyaan beliau.
“Pemimpin harus siap
menerima apapun yang akan dihadapi. Siap menerima pujian, sanjungan, dan
sebaliknya pemimpin harus siap menerima celaan, dijauhi, dibenci, dirasani.
Pemimpin itu sorotan banyak orang, public
figure. Pemimpin harus siap menerima apa saja yang akan diterimanya. Nguntal “paku” berarti siap menelan
–menerima- rasa sakit, kecewa, gagal, atau dibenci banyak orang. Kalau kamu
tidak siap dan tidak berani nguntal
paku, berarti kamu belum siap menjadi pemimpin.” Aku mendengar pesan beliau
dengan seksama.
Pemimpin
yang rendah hati
Pemimpin adalah garda
depan. Pemimpin adalah motor bagi orang-orang yang dipimpinnya. Ada beberapa
kekayaan yang bisa dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Pertama, kharisma. Kharisma sebagai anugerah dari Tuhan. Kharisma
membuat seseorang berharga, kharisma membuat orang memiliki daya pikat yang
bisa mempengaruhi banyak orang. Kedua,
Keutamaan hidup manusiawi. Pemimpin diharapkan memiliki keutamaan hidup yang
diperjuangkan terus menerus. Salah satu keutamaan seorang pemimpin adalah sikap
rendah hati.
Kita terkadang mudah
tergiur menjadi pemimpin yang prestise
oriented, otoriter, semau gue dan
lainnya. Untuk menandingi hal itu dibutuhkan suatu sikap rendah hati. Pemimpin,
dekat dengan kekuasaan, ditantang memiliki sikap rendah hati. Kerendahan hati
dapat dilihat dari model kepemimpinan yang membimbing, ngayomi, memperhatikan
kepentingan banyak orang, terbuka, mengasihi orang yang dilayani, tulus,
memberdayakan, dan lain sebagainya.
Dalam konteks hidup keagamaan, entah sebagai ulama,
imam/romo, ataupun pendeta, mereka adalah pemimpin rohani. Mereka memiliki
kharisma dalam bidang kerohanian, mereka memiliki tanggung jawab membawa,
mengarahkan dan membimbing umatnya kepada Tuhan. Namun, sebagai pemimpin kita dipanggil
menjadi rendah hati. Aku belajar dari Sang idola, Yesus. Ia memberikan
keteladanan hidup sebagai seorang pemimpin sejati. Ia adalah pemimpin yang mau
melayani. Ia mengatakan, “Aku datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk
melayani”. Oleh karena itu, pemimpin tidak bisa berkarya semau gue, cari enaknya saja, tetapi juga harus siap menerima
segala resiko yang paling pahit sekalipun.
No comments:
Post a Comment