Monday, August 5, 2013

Wani Nguntal Paku…?



1429 H. Gema takbir hari raya Idul Fitri mengalun bersahut-sahutan. Sebentar lagi kemeriahan hari lebaran akan datang. Umat muslim telah beberapa hari sebelumnya bersibuk ria mempersiapkan hari suci yang telah mereka nantikan satu bulan lamanya, semisal membuat ketupat, opor ayam, sate kambing dan kemeriahan makanan kecil yang tersedia di atas meja makan setiap keluarga. Saat itu aku tinggal di Kota Pekalongan. Ini adalah untuk pertama kalinya aku merayakan lebaran tidak di kampung halaman. Aku memang seorang Katolik, tetapi aku sungguh merasakan kekhidmatan dan gema Idul Fitri yang menghadirkan kedamaian, semangat hidup baru, serta keceriaan dalam menghadapi hidup di tengah masyarakat.
Para saudara/i dari orang tuaku mayoritas muslim. Setiap lebaran tiba, kami memiliki tradisi silaturahmi ke rumah nenek. Kami, keluarga besar, berkumpul di rumah nenek. Tentu saja setelah mereka selesai menunaikan shalat id. Kami saling bermaaf-maafan satu sama lain, tidak tua – tidak muda, semua melakukannya. Kini sesudah nenek meninggal, merekalah yang berkunjung ke rumah kami. Maklum orang tuaku anak mbarep, sehingga mereka (adik-adik) yang bersilaturahmi ke rumah.
Mutiara Lebaran
Dalam perayaan Idul Fitri kali ini, aku sungguh merasa bahagia. Komunitas kami, pastoran St. Petrus Pekalongan, memang rutin bersilaturahmi dengan para pemuka agama di kota ini. Aku diajak pastor kepala paroki bersilaturahmi ke rumah Habib Lutfi. Aku mau-mau saja menerima ajakan itu. Lagian aku penasaran dengan tokoh Habib Lutfi yang katanya terkenal di kota Pekalongan.
Kami berjalan memasuki kompleks rumah Habib Lutfi yang sangat luas. Aku terkejut, sebab kedatangan kami disambut hangat oleh beliau. Habib Lutfi menyapa kami dengan hangat, guyonannya membuat kami nyaman di dekatnya. Bahkan beliau mengajak kami berkeliling sampai akhirnya masuk ke rumah beliau di lantai dua. Kami ngobrol santai sembari minum teh hangat.
Ngobrol punya ngobrol, beliau akhirnya tahu kalau aku calon imam. Beliau bertanya, “Kamu wis siap?” disusul tawa lepasnya yang mengisi seluruh ruangan di lantai dua itu. Tidak lama kemudian beliau melanjutkan,
“Menjadi pemimpin itu gampang-gampang susah. Setiap pemimpin, apapun agamanya, tugas dan kesulitan yang dihadapi sama. Pemimpin itu yo ngladeni umat, yo dirasani umat. Pemimpin itu yo harus pandai memimpin umat. Kamu sudah siap menghadapi itu semua. Nek ora siap yo mundur saja”, kembali beliau tertawa dengan renyahnya.
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar beliau bercerita dengan perasaan yang aneh saat itu.
“Begini, pesenku menjadi seorang pemimpin itu kudu wani nguntal paku?”. Sembari beliau menatap mataku beberapa saat, dan membuatku nervous.
“Kamu ngerti maksudnya?”. Aku hanya geleng-geleng kepala menjawab pertanyaan beliau.
“Pemimpin harus siap menerima apapun yang akan dihadapi. Siap menerima pujian, sanjungan, dan sebaliknya pemimpin harus siap menerima celaan, dijauhi, dibenci, dirasani. Pemimpin itu sorotan banyak orang, public figure. Pemimpin harus siap menerima apa saja yang akan diterimanya. Nguntal “paku” berarti siap menelan –menerima- rasa sakit, kecewa, gagal, atau dibenci banyak orang. Kalau kamu tidak siap dan tidak berani nguntal paku, berarti kamu belum siap menjadi pemimpin.” Aku mendengar pesan beliau dengan seksama.

Pemimpin yang rendah hati
Pemimpin adalah garda depan. Pemimpin adalah motor bagi orang-orang yang dipimpinnya. Ada beberapa kekayaan yang bisa dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Pertama, kharisma. Kharisma sebagai anugerah dari Tuhan. Kharisma membuat seseorang berharga, kharisma membuat orang memiliki daya pikat yang bisa mempengaruhi banyak orang. Kedua, Keutamaan hidup manusiawi. Pemimpin diharapkan memiliki keutamaan hidup yang diperjuangkan terus menerus. Salah satu keutamaan seorang pemimpin adalah sikap rendah hati.
Kita terkadang mudah tergiur menjadi pemimpin yang prestise oriented, otoriter, semau gue dan lainnya. Untuk menandingi hal itu dibutuhkan suatu sikap rendah hati. Pemimpin, dekat dengan kekuasaan, ditantang memiliki sikap rendah hati. Kerendahan hati dapat dilihat dari model kepemimpinan yang membimbing, ngayomi,  memperhatikan kepentingan banyak orang, terbuka, mengasihi orang yang dilayani, tulus, memberdayakan, dan lain sebagainya.

Dalam konteks hidup keagamaan, entah sebagai ulama, imam/romo, ataupun pendeta, mereka adalah pemimpin rohani. Mereka memiliki kharisma dalam bidang kerohanian, mereka memiliki tanggung jawab membawa, mengarahkan dan membimbing umatnya kepada Tuhan. Namun, sebagai pemimpin kita dipanggil menjadi rendah hati. Aku belajar dari Sang idola, Yesus. Ia memberikan keteladanan hidup sebagai seorang pemimpin sejati. Ia adalah pemimpin yang mau melayani. Ia mengatakan, “Aku datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani”. Oleh karena itu, pemimpin tidak bisa berkarya semau gue, cari enaknya saja, tetapi juga harus siap menerima segala resiko yang paling pahit sekalipun.

No comments:

Post a Comment