Monday, August 12, 2013

Mengampuni adalah sebuah pilihan



“Emm… aku belum berani mengampuni…”
  
Dalam suatu retret singkat, saya menemukan pengalaman menarik bersama dengan para mahasiswa/i yang saya dampingi. Seorang mahasiswi bercerita begini, “Saya tidak bisa berdoa dengan baik, frater. Ketika saya berdoa dan menghadirkan orang-orang serta peristiwa luka yang pernah terjadi, rasanya berat. Saya justru kembali merasakan sakit. Saya benar-benar tidak berani menghadirkan orang serta peristiwa itu. Yang tersisa hanyalah kebencian dan rasa sakit yang kembali menganga dalam hati saya. Rasanya sakit, dan saya tidak mau kesakitan lagi. Maka saya berhenti berdoa”. Pada kesempatan yang sama, seorang mahasiswi menemukan kisahnya seperti ini, “Awalnya saya memang menolak, dan ingin mengalihkan doa saya dengan kegiatan yang lain. Namun saya urungkan niat itu. Saya justru berdiam dalam kemelut batin saya dalam doa. Saya merasa damai saat saya bisa menerima semua pengalaman itu dengan baik. Perasaan-perasaan yang selama ini terkesan meletup-letup perlahan mereda. Apalagi saat merenungkan sabda Tuhan yang justru memberi saya inspirasi dalam berdoa. Kedamaian batin inilah yang saya rindukan. Saya bersyukur boleh melihat pengalaman ini secara positif”.


Mengorek Luka Lama
Kisah diatas kiranya mewakili suasana perasaan kita pada umumnya terlebih saat berhadapan dengan peristiwa terlukai, peristiwa pahit dalam hidup. Tidak sedikit orang menerima pengalaman luka, benci dengan orang ataupun peristiwa tertentu sebagai momok atau pengalaman keterpurukan yang sulit untuk dilupakan. Ibaratnya hati sudah terluka, tidak ada obatnya. Dengan merenungkan dan menghadirkan pengalaman luka, benci berarti saya mengorek luka lama, atau menguliti kembali luka yang sebenarnya mulai mengering. Benarkah pengalaman terlukai, kebencian bisa mengering dari hati kita?

Saya merasa yakin jawabannya akan beranekaragam. Menurut saya pengalaman luka, benci, tersakiti bukanlah pengalaman biasa. Memang, orang cenderung memberontak atau menghindari repetisi peristiwa luka dan kebencian. Sebaliknya, orang akan dengan suka hati mengenang peristiwa-peristiwa indah, membahagiakan sebagai kenangan yang memang pantas untuk dikenang. Waktu akan terasa cepat berlalu jika kita bergelut dengan pengalaman-pengalaman indah, seperti pacaran, masa-masa keemasan dalam karir, hasil studi yang bagus, kesuksesan dalam bekerja dan lain sebagainya. Malahan, orang akan ceriwis[1] bercerita kepada yang lain mengenai keberhasilan-keberhasilan dirinya.

Pengalaman terlukai, pengalaman kebencian, marah terhadap orang lain memang peristiwa yang wajar kita temui dalam suatu pola relasi tertentu. Apalagi dalam kemajemukan relasi dengan beragam pribadi dan kepentingan. Gesekan dan kesalahpahaman pasti terjadi. Pengalaman luka, pahit bukanlah pengalaman yang harus dibuang, dijauhi tetapi bagaimana kita memaknai peristiwa tersebut secara positif demi perkembangan kita secara lebih dewasa. Orang yang tidak mampu menerima pengalaman luka-pahit akan sulit memaknai hidup secara dewasa. Dalam dirinya akan selalu tumbuh sikap-sikap reaktif yang cenderung mengganggu relasi. Seorang suster mengirimkan sms pada saya, “mungkin banyak rintangan yang akan menghadang dalam hidup kita, tapi jangan pernah menganggap kegagalan atau pengalaman pahit, luka sebagai kenangan buruk yang harus dilupakan. Percayalah, sesakit apapun dan sesedih apapun kenangan buruk itu suatu saat akan membuat kita menjadi orang yang lebih kuat”. Setelah membaca sms tersebut, hati saya berkomentar, “tinggal keputusan kita, mau keluar dari belenggu keterpurukan atau tidak. Jika kita bangkit dan keluar dari belenggu keterpurukan itu, yakinlah bahwa kita akan menemukan harapan baru dibalik peristiwa itu”. Tentu saja untuk menjadi lebih kuat, kita harus berani menerima sesuatu yang paling menyakitkan dalam kehidupan kita. Justru dalam pengalaman seperti itu kita ditantang untuk  tidak terpuruk namun bangkit dan mau belajar dari pengalaman itu. Kata orang, pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan.

Dinamika perasaan kita dalam menerima pengalaman terlukai, pahit dan kebencian sebenarnya bisa diolah melalui pendamaian diri. Dalam kacamata iman Kristiani, pendamaian adalah dimana kita mau melepaskan diri dari kegersangan-kegelisahan-dan kekerdilan diri kita sendiri. Hati damai merupakan buah dari keterbukaan kita melepaskan perasaan-perasaan negatif dalam diri. Dengan kata lain pendamaian merupakan buah dari keberanian kita mengampuni suatu peristiwa tertentu yang menyangkut diri, dan orang lain dihadapan Tuhan.

Rasanya kita tidak akan asing dengan istilah pengampunan. Pengampunan merupakan inti iman Kristen sebagaimana Yesus gembar-gemborkan semasa hidup, karya, sampai pada kematian dan kebangkitan-Nya. Mengampuni memang tidak mudah, tetapi keputusan mudah atau sulit mengampuni tergantung bagaimana kita berpikir secara dewasa dalam memandang persoalan hidup dalam terang iman.

Keputusan untuk mengampuni, berdamai setidaknya mesti berangkat dari diri sendiri. Kesulitan-kesulitan akan muncul saat kita mengambil jalan “tidak berdamai” dengan orang atau peristiwa itu. Contoh sederhana misalnya dalam kehidupan berasrama, seseorang yang berkonflik dengan rekan komunitasnya akan berpengaruh dalam pola relasi dan komunikasi di antara mereka. Suasana kebersamaan menjadi sedikit aneh, komunikasi terkesan kaku, dan wagu, masing-masing saling menghindar. Nah, paling repot jika dalam kesempatan makan mereka duduk satu meja, berhadapan…hehe teman-teman biasanya akan menyindir, “wah ge retret pa, koq neng-nengan”.  Oleh karena itu, kerendahan hati dan keterbukaan untuk mau mengampuni adalah kunci kedamaian dalam hati, damai dalam relasi, damai dalam hidup berkomunitas dan lain sebagainya.

Mengapa kita mengampuni?

Dalam sebuah buku yang pernah saya baca, seorang Gandhi mengatakan begini, “If we all live by the law, an eye-for-an-eye, soon the whole world will be blind.” Ungkapan senada yang dapat kita temukan dalam kisah Perjanjian Lama, Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak” (Kel 21:23-25). Rasanya ngeri jika hukum berlaku demikian. Apa yang dikatakan Gandhi menjadi nyata bahwa “soon the whole world will be blind”.

Dalam konteks hidup kita saat ini, hukum seperti itu rasanya tidak relevan lagi. Kita tidak lagi hidup untuk mata ganti mata, gigi ganti gigi. Paradigma semacam itu telah dibongkar dengan tegas oleh Yesus yang mewartakan pengampunan bagi semua orang. Yesus mewartakan pengampunan yang datang dari Allah, yang ditawarkan kepada semua manusia. Demikian manusia menerima rahmat pengampunan itu dengan cuma-cuma. Manusiapun memiliki kebebasan untuk menyambut pengampunan itu dengan sebebas-bebasnya. Paling tidak pengampunan adalah suatu pilihan, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka (Mat 7:12), dan Yesus memberikan tekanan bahwa, “untuk itulah hukum Taurat dan kitab para nabi (Mat 7:12). Yesus tidak pernah mengajak kita semua untuk hanya mencintai sahabatmu, tetanggamu, saudara-saudaramu dan bencilah musuhmu. Yesus menawarkan nilai lain, “cintailah musuhmu dan berdoalah untuk mereka yang menganiaya kamu, maka kamu akan menjadi anak-anak Bapa di surga (Mat 5:43-45). Dengan demikian, “karena jika kamu mengampuni mereka dari kedosaan mereka, Bapamu yang disurga juga akan mengampunimu, tetapi jika kamu tidak mengampuni yang lain, tidaklah mungkin BapaMu yang disurga mengampuni dosamu (Mat 6:14,15).

Ada beberapa alasan mengapa umat Kristen mengampuni. Pertama, kita mengampuni karena mau melakukan apa yang dilakukan oleh Yesus sendiri. Dia mengajari kita untuk mengampuni yang lain, maka kita sebagai murid-muridNya pun meneladan dan menerapkannya dalam kehidupan kita (1 Kor 6:20), Rm 6:22, Rm 12:9, Mat 5:46,48). Peristiwa salib menjadi peristiwa fenomenal yang menggugah makna hidup yang dalam. Yesus mengajarkan, “jika kamu ingin menjadi pengikutku, mari tinggalkan dirimu sendiri dan ambillah salib mereka sehari hari dan ikutlah Aku (Luk 9:23). Rasul Paulus menuliskan surat pastoralnya kepada jemaat di Korintus, “siapa yang berjuang dan menghidupi secara teologis dan moral yang benar, bahwa Kristus, “mati untuk semua, maka mereka yang tidak hidup untuk diri mereka sendiri, tetapi bagiNya yang telah mati dan dibangkitkan untuk mereka ( 1 Kor 5:15). Allah menciptakan kembali dunia melalui Yesus Kristus dalam Gereja. Kedua, kita mengampuni karena  untuk orang lain. Pada kenyataannya hal ini tidak mudah. Kerap kita bertanya, “Apakah aku akan mengampuni kamu, seandainya kamu tidak bertobat?”. Apakah kamu akan bertobat jika aku tidak mengampunimu?

Namun sekali lagi kita disadarkan bahwa pertanyaan bagi kita orang-orang kristiani adalah “tidak ada seorangpun yang bertobat saat dia menangis saat di salib, “Bapa, ampunilah mereka: sebab mereka tidak tahu apa yang telah mereka lakukan (Luk 23:34). Sebagaimana cinta dan rahmat menguatkan kita. bagaiamana cinta itu mencarikan kebekuan yang pernah ada, serta mencairkan kekerasan hati kita dengan hati penuh cinta. Kita bertobat dan kita memutuskan untuk mencintaiNya, karena kita Dialah yang pertama-tama memberikan cintaNya untuk kita” (1 Yoh 4:20). Untuk itu tidak aneh apabila kita membalas cinta kita kepadaNya.

Mari Mencintai sebagaimana Yesus telah lebih dulu mencintai kita

Sebagai orang Kristen, kita menengok keutamaan hidup Yesus yang menghadirkan pertobatan serta menawarkan pengampunan bagi banyak orang. Kisah wanita yang kedapatan berzinah. Apakah Yesus memberikan penghakiman kepadanya? Tidak. Ia malah balik bertanya kepada orang-orang yang menghakimi perempuan itu, “siapa yang tidak pernah bersalah silahkan melempar batu dulu”.

Pada intinya, Tuhan menciptakan kita untuk hidup dalam suatu harmoni. Harmoni itu terjadi dalam suatu relasi intim manusia dengan Tuhan, serta manusia dengan sesamanya. Relasi intim bisa terjadi jika kita membangun relasi intensif dan mendalam denganNya seperti rajin berdoa. dengan berdoa kita membuka diri untuk kehadiranNya dalam hati, dengan berdoa kita membiarkan diri dipenuhi oleh Allah. Lantas apa yang menyebabkan relasi intim tersebut tidak bisa terbangun? Salah satunya adalah sikap dan tindakan manusia sendiri yang merenggangkan hubungannya dengan Tuhan. Rasanya tidak salah apabila saya menyebut kedosaan adaalh salah satu penyebab renggangnya relasi kita dengan Tuhan. Kedosaan mengarahkan pada keterasingan, putusnya relasi, suasana yang tidak nyaman, dan lain sebagainya.

Kita sebagai umat beriman dipanggil dalam terang Injil pertama-tama untuk menerima pengampunan dari Allah melalui Kristus, PuteraNya. Untuk selanjutnya kita diutus untuk membagikan pengampunan kepada yang lain. inilah rencana umum Tuhan bagi manusia (Kol 1:13). Pengampunan secara nyata menyingkirkan hambatan atau penghalang di antara sesamanya yang disebabkan oleh karena perbuatan salah. Untuk itu, keberanian untuk memaafkan merupakan sarana kita untuk mencintai diri, orang lain dan Tuhan.
Iman, harapan, dan kasih merupakan keutamaan-keutamaan yang menjadi prasyarat pengampunan. Menurut Paulus, Cinta merupakan nilai yang paling penting. Cinta adalah “ibu dari semua keutamaan yang ada”-Love is the “mother of all virtues.”

Akhirnya, pewahyuan Yesus untuk pengampunan Allah bagi dosa-dosa manusia berhubungan dengan pengampunan kita kepada yang lain (Mat 6:14-15), dengan mengampuni yang lain berarti kita memberi kesaksian bahwa kita telah diampuni. Pengampunan tidak hanya untuk masalah-masalah masa lalu, tetapi berkaitan dengan masa depan, hidup saat ini. Untuk itu selalu terjadilah yang terbaik saat kita mengungkapkan segala sesuatunya dari hati.



[1] Ceriwis = cerewet, banyak cerita

No comments:

Post a Comment