Siapa dan Bagaimana Orang Muda
Orang muda memiliki dinamika yang khas. Kekhasan mereka tampak dalam sifat dinamisnya sebagai orang muda. Orang muda adalah orang-orang yang penuh energik, idealis dan punya harapan dan cita-cita yang tinggi. Orang muda bukanlah “Jugend hat keine Tugend”[1], artinya kelompok manusia yang tidak memiliki keutamaan, tetapi lebih daripada itu mereka adalah orang-orang yang memiliki keberanian, keseriusan, suka mencari dan menemukan hal yang baru. Untuk itu, mereka senantiasa berproses, berdaya kreasi sebagai sarana yang mendorong perwujudan aktualisasi diri. Sifat dinamis itulah yang menggerakkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, dan terus berkembang. Masyarakat umumnya mengatakan, masa muda adalah masa penuh kreatifitas.
Dalam tulisan ini saya ingin menggagas soal pastoral orang muda, yakni bagaimana Gereja memperhatikan orang muda sebagai bagian dari Gereja, pewaris dan penerus Gereja kini dan yang akan datang. Ada beberapa latar belakang yang harus diperhatikan saat omong tentang pastoral orang muda, yaitu:
Pertama, saya mengutip
tulisan Henry J.M. Nouwen, dalam buku “Yang terluka Yang Menyembuhkan”, Henry
mengatakan, angkatan muda modern adalah angkatan yang tidak mempunyai bapak. Frase
“tidak mempunyai bapak” artinya orang muda tidak kehilangan figur keteladanan.
Akibatnya, orang muda gampang goyah
ketika berhadapan dengan realitas yang instan, bombastis, dan bersifat sementara. Sementara pembatinan (internalisasi nilai) tidak menyala dalam
hidup. Dalam proses pembentukan identitas, mereka terbantu dengan hadirnya
figur teladan, yang secara tidak langsung turut membentuk arah orientasi hidup
mereka. Dan hilangnya figur keteladanan dapat berpengaruh pada kaburnya
orientasi hidup. Kendati hasil akhir pembentukan identitas tersebut ada
sepenuhnya di tangan mereka. Harapan terpenuhinya identitas berdampak pada hidup sosial, yakni tumbuhnya intimitas relasi dengan yang lain.
Kedua, Orang muda
membutuhkan lingkungan aman untuk bertumbuh dan menjadi dewasa. Mereka
membutuhkan persahabatan yang baik dan komunitas yang kuat (intimitas). Kebutuhan orang muda adalah “sebagai bagian dari
hasrat mereka untuk dipandang sebagai individu, orang muda yang secara
instingtif ingin berpengaruh di dunia tempat mereka hidup”. Singkatnya mereka
memiliki hasrat akan tujuan, arah dan signifikansi dalam hidup mereka[1].
Ketiga, Gereja melihat
orang muda adalah kekuatan yang sangat penting dalam masyarakat zaman sekarang.
Situasi hidup, sikap-sikap batin serta hubungan-hubungan mereka harus
diperhatikan perkembangannya dengan baik dengan mengingat masa muda yang
terkesan rapuh oleh situasi di sekitar mereka (AA 12). Peran orang muda begitu
penting dalam kerasulan Gereja dengan tetap disemangati sikap patuh dan taat
pada cinta kasih terhadap Gembala Gereja. Mereka diutus menjadi rasul ditengah
lingkungan mereka sendiri sebagai orang muda, juga tetap memperhatikan
lingkungan sosial mereka (AA 12).
Kemana Arah Pastoral Orang Muda?
Apabila
kita mencermati dan menikmati dinamika orang muda sebenarnya sangat
mengagumkan. Lihat saja bagaimana kesetiaan mereka satu sama lain sungguh
pantas diacungi jempol, kekompakan mereka mengesankan, dan kebersamaan saat
berkumpul diselingi canda dan tawa, saling ejek tanpa ada yang marah memberi
warna-warni keindahan hidup mereka. Bahkan kisah percintaan mereka mampu
membawa nuansa romantis yang bisa menjadi inspirasi novel, puisi yang indah. Namun
apakah dibalik kekaguman, keceriaan dalam kebersamaan itu ada nilai yang
diperjuangkan ataukah berhenti pada gelegar peristiwa sesaat tanpa meninggalkan
makna?
Memang,
dinamika ringan, seperti welcome party, week-end, rekreasi, ziarah dan lainnya,
dapat menjadi sarana berkumpul yang efektif. Namun tetap harus digali kesadaran
mereka sebagai orang muda Gereja. Disinilah peran pastoral orang muda yang
sedikit banyak turut mengarahkan mereka pada kesadaran panggilannya sebagai
orang beriman kristiani. Oleh karena itu dinamika lahiriah menjadi sarana untuk
menumbuhkan kesadaran sebagai Gereja serta menumbuhkan kecintaan terhadap
Gereja. Menurut Konferensi Para Uskup Katolik Amerika Serikat, pelayanan (kampus)
itu mencakup membangun komunitas beriman, meresapkan iman, membentuk suara
hati, mendidik untuk keadilan, membantu dan mendukung perkembangan pribadi, dan
membangun masa depan. Rasa saya penting dicatat bahwa kesadaran sebagai orang
muda “yang kristiani” haruslah hidup dalam benak masing-masing.
Pendampingan-pendampingan terhadap orang mudapun hendaklah diarahkan untuk
membantu orang muda dalam memaknai imannya akan Yesus Kristus.
Penghayatan
orang muda “yang kristiani” dapat berkembang apabila mereka memiliki rasa
memiliki yang tinggi terhadap kekristenan mereka. Oleh karena itu, pendampingan
orang muda seperti FKMKKP, kemahasiswaan (Margasiswa), OMK dan lain sebagainya
dapat menjadi sarana dalam membangun sense catholicus, “cita rasa sebagai
orang katolik atau kekatolikan”. Amat tragis kiranya bila orang muda sampai
tidak mengenal Gereja, kegiatannya, gembalanya, atau kebiasaan-kebiasaan yang
ada dalam Gereja Katolik. Rasa memiliki tersebut dapat ditumbuhkan melalui
beberapa hal :.
a.
Pendampingan
Personal : Cura Personalis
Orang
muda adalah pribadi-pribadi unik yang terus berkembang. Mereka tidak
membutuhkan pengatur untuk hidup mereka, tidak membutuhkan penasehat ulung yang
senantiasa menggurui, tidak membutuhkan pengawas yang super ketat. Mereka hanya
membutuhkan teman-sahabat dalam masa perkembangan mereka. Inilah peran
pendamping pastoral, dimana pendamping tidak hadir sebagai penasehat, pengamat,
pemantau tetapi teman-sahabat. Dalam pendampingan pastoral tersebut,
masing-masing pribadi mesti diperhatikan secara utuh dan personal. Dengan
demikian komunikasi yang terbangun antara pendamping dan orang muda
(timbal-balik) menjadi dialogis dan konstruktif tanpa mengabaikan keunikan
masing-masing pribadi. Pendampingan personal menjadi cara efektif dalam
menyisipkan kesadaran, pembangunan nilai, serta penanaman nilai kristiani dalam
hidup orang muda.
b.
Melibatkan
orang muda dalam kegiatan menggereja
Selama
ini kegiatan Gereja banyak didominasi kaum tua, sesepuh. Orang muda kurang mendapat tempat dengan alasan mereka
belum mampu, matang, pantas dan lain sebagainya. Selain itu kegiatan Gereja
kurang hidup. Bagi orang muda kegiatan Gereja yang ada membosankan. Inilah yang
melahirkan kurangnya minat terhadap kegiatan-kegiatan konvensional. Memang ada
kecenderungan mereka mencari dan menemukan kegiatan yang bersifat
rekreatif-kualitatif semata. Dalam menanggapi situasi semacam itu, sebenarnya
dapat diatasi dengan mulai melibatkan orang muda dalam kegiatan gereja. Mereka
diajak untuk melihat, berpikir dan melakukan suatu dinamika kegiatan yang
menjawab kebutuhan orang muda, misalnya panitia paskah, diskusi rohani, week
end, out bound dan lain sebagainya. Tentu saja gerak mereka harus didukung oleh
banyak pihak entah imam, keluarga, pendamping orang muda, mahasiswa dan lain
sebagainya.
c.
Penanaman
Kesadaran Spiritualitas Yesus Kristus yang mendalam
Gereja
dalam Dekrit Apostolicam Actuositatem art 33 mengatakan, “orang muda dipanggil
untuk menanggapi sapaan Kristus dan mengundang mereka untuk mengikuti dorongan
Roh Kudus dan menyambut-Nya dengan kegembiraan dan kebesaran jiwa”. Panggilan
orang muda adalah untuk menyambut sapaan Kristus dan mengikuti dorongan Roh
Kudus dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang menjadi spiritualitas orang muda
kristiani. Mereka mengalirkan hidup mereka dengan bersumber dari Kristus
sendiri. Kesadaran sebagai murid Kristus kiranya memberi dorongan dan arah yang
tepat bagi orang muda dalam membangun kecintaannya kepada Gereja dan masyarakat
tempat mereka hidup. Nilai spiritual inilah yang hendaknya dihidupi dalam benak
masing-masing.
d.
Refleksi
yang berdaya sapa dan berdaya ubah
Kegiatan
orang muda tidak jauh dari gegap gempita yang terkadang bersifat sementara.
Oleh karena itu, agar kegiatan orang muda tidak sia-sia, tanpa membawa makna.
Para pendamping perlu membiasakan suatu pola refleksi (salah satu cara).
Refleksi menjadi sesuatu yang relevan karena berdaya sapa dan berhubungan
dengan pengalaman sehari-hari. Selain itu, refleksi mendorong daya ubah dalam
membangun suatu nilai yang lebih dalam. Kesadaran sebagai orang muda kristiani,
yang senantiasa menimba inspirasinya dari Yesus Kristus harus senantiasa
dikembangkan dengan daya refleksi seperti itu. Ada seorang muda mengatakan,
“setiap kami selesai membuat kegiatan bersama, kami selalu berrefleksi. Kami
sungguh merasakan buah-buah yang baik dari refleksi”[1].
Refleksi menjadi media yang tepat untuk mengendapkan butir-butir pengalaman dan
mengasup nilai-nilai yang positif yang memantapkan kecintaan orang muda kepada
Kristus dan Gereja-Nya.
Kehadiran
kelompok-kelompok orang muda (remaja-mahasiswa) menjadi tempat yang nyaman
untuk mengekspresikan diri dengan merdeka, menjadi medan perjumpaan yang
mendukung dalam menanggai harapan dan kecemasan Gereja dan masyarakat melalui
kegiatan kebersamaan. Selain itu, pastoral orang muda turut serta terlibat
mempersiapkan sumber daya manusia yang mempunyai kepribadian dan berkarakter
kristiani yang memiliki sense catholicus
mendalam. Oleh karena itu, teruslah bergerak dalam menjaring makna mendalam
dari eksistensi orang muda bagi Gereja dan masyarakat.
Dimuat
dalam majalah Mediator
No comments:
Post a Comment