Monday, August 12, 2013

Pastoral Orang Muda : Memaknai Kembali “Sense Catholicus” Orang Muda


Siapa dan Bagaimana Orang Muda
Orang muda memiliki dinamika yang khas. Kekhasan mereka tampak dalam sifat dinamisnya sebagai orang muda. Orang muda adalah orang-orang yang penuh energik, idealis dan punya harapan dan cita-cita yang tinggi. Orang muda bukanlah “Jugend hat keine Tugend”[1]artinya kelompok manusia yang tidak memiliki keutamaan, tetapi lebih daripada itu mereka adalah orang-orang yang memiliki keberanian, keseriusan, suka mencari dan menemukan hal yang baru. Untuk itu, mereka senantiasa berproses, berdaya kreasi sebagai sarana yang mendorong perwujudan aktualisasi diri. Sifat dinamis itulah yang menggerakkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, dan terus berkembang. Masyarakat umumnya mengatakan, masa muda adalah masa penuh kreatifitas.
Dalam tulisan ini saya ingin menggagas soal pastoral orang muda, yakni bagaimana Gereja memperhatikan orang muda sebagai bagian dari Gereja, pewaris dan penerus Gereja kini dan yang akan datang. Ada beberapa latar belakang yang harus diperhatikan saat omong tentang pastoral orang muda, yaitu:



Pertama, saya mengutip tulisan Henry J.M. Nouwen, dalam buku “Yang terluka Yang Menyembuhkan”, Henry mengatakan, angkatan muda modern adalah angkatan yang tidak mempunyai bapak. Frase “tidak mempunyai bapak” artinya orang muda tidak kehilangan figur keteladanan. Akibatnya, orang muda gampang goyah ketika berhadapan dengan realitas yang instan, bombastis, dan bersifat sementara. Sementara pembatinan (internalisasi nilai) tidak menyala dalam hidup. Dalam proses pembentukan identitas, mereka terbantu dengan hadirnya figur teladan, yang secara tidak langsung turut membentuk arah orientasi hidup mereka. Dan hilangnya figur keteladanan dapat berpengaruh pada kaburnya orientasi hidup. Kendati hasil akhir pembentukan identitas tersebut ada sepenuhnya di tangan mereka. Harapan terpenuhinya identitas berdampak pada hidup sosial, yakni tumbuhnya intimitas relasi dengan yang lain.
Kedua, Orang muda membutuhkan lingkungan aman untuk bertumbuh dan menjadi dewasa. Mereka membutuhkan persahabatan yang baik dan komunitas yang kuat (intimitas). Kebutuhan orang muda adalah “sebagai bagian dari hasrat mereka untuk dipandang sebagai individu, orang muda yang secara instingtif ingin berpengaruh di dunia tempat mereka hidup”. Singkatnya mereka memiliki hasrat akan tujuan, arah dan signifikansi dalam hidup mereka[1].
Ketiga, Gereja melihat orang muda adalah kekuatan yang sangat penting dalam masyarakat zaman sekarang. Situasi hidup, sikap-sikap batin serta hubungan-hubungan mereka harus diperhatikan perkembangannya dengan baik dengan mengingat masa muda yang terkesan rapuh oleh situasi di sekitar mereka (AA 12). Peran orang muda begitu penting dalam kerasulan Gereja dengan tetap disemangati sikap patuh dan taat pada cinta kasih terhadap Gembala Gereja. Mereka diutus menjadi rasul ditengah lingkungan mereka sendiri sebagai orang muda, juga tetap memperhatikan lingkungan sosial mereka (AA 12).

Kemana Arah Pastoral Orang Muda?
Apabila kita mencermati dan menikmati dinamika orang muda sebenarnya sangat mengagumkan. Lihat saja bagaimana kesetiaan mereka satu sama lain sungguh pantas diacungi jempol, kekompakan mereka mengesankan, dan kebersamaan saat berkumpul diselingi canda dan tawa, saling ejek tanpa ada yang marah memberi warna-warni keindahan hidup mereka. Bahkan kisah percintaan mereka mampu membawa nuansa romantis yang bisa menjadi inspirasi novel, puisi yang indah. Namun apakah dibalik kekaguman, keceriaan dalam kebersamaan itu ada nilai yang diperjuangkan ataukah berhenti pada gelegar peristiwa sesaat tanpa meninggalkan makna?
Memang, dinamika ringan, seperti welcome party, week-end, rekreasi, ziarah dan lainnya, dapat menjadi sarana berkumpul yang efektif. Namun tetap harus digali kesadaran mereka sebagai orang muda Gereja. Disinilah peran pastoral orang muda yang sedikit banyak turut mengarahkan mereka pada kesadaran panggilannya sebagai orang beriman kristiani. Oleh karena itu dinamika lahiriah menjadi sarana untuk menumbuhkan kesadaran sebagai Gereja serta menumbuhkan kecintaan terhadap Gereja. Menurut Konferensi Para Uskup Katolik Amerika Serikat, pelayanan (kampus) itu mencakup membangun komunitas beriman, meresapkan iman, membentuk suara hati, mendidik untuk keadilan, membantu dan mendukung perkembangan pribadi, dan membangun masa depan. Rasa saya penting dicatat bahwa kesadaran sebagai orang muda “yang kristiani” haruslah hidup dalam benak masing-masing. Pendampingan-pendampingan terhadap orang mudapun hendaklah diarahkan untuk membantu orang muda dalam memaknai imannya akan Yesus Kristus.
Penghayatan orang muda “yang kristiani” dapat berkembang apabila mereka memiliki rasa memiliki yang tinggi terhadap kekristenan mereka. Oleh karena itu, pendampingan orang muda seperti FKMKKP, kemahasiswaan (Margasiswa), OMK dan lain sebagainya dapat menjadi sarana dalam membangun sense catholicus, “cita rasa sebagai orang katolik atau kekatolikan”. Amat tragis kiranya bila orang muda sampai tidak mengenal Gereja, kegiatannya, gembalanya, atau kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam Gereja Katolik. Rasa memiliki tersebut dapat ditumbuhkan melalui beberapa hal :.

a.      Pendampingan Personal : Cura Personalis
Orang muda adalah pribadi-pribadi unik yang terus berkembang. Mereka tidak membutuhkan pengatur untuk hidup mereka, tidak membutuhkan penasehat ulung yang senantiasa menggurui, tidak membutuhkan pengawas yang super ketat. Mereka hanya membutuhkan teman-sahabat dalam masa perkembangan mereka. Inilah peran pendamping pastoral, dimana pendamping tidak hadir sebagai penasehat, pengamat, pemantau tetapi teman-sahabat. Dalam pendampingan pastoral tersebut, masing-masing pribadi mesti diperhatikan secara utuh dan personal. Dengan demikian komunikasi yang terbangun antara pendamping dan orang muda (timbal-balik) menjadi dialogis dan konstruktif tanpa mengabaikan keunikan masing-masing pribadi. Pendampingan personal menjadi cara efektif dalam menyisipkan kesadaran, pembangunan nilai, serta penanaman nilai kristiani dalam hidup orang muda.

b.      Melibatkan orang muda dalam kegiatan menggereja
Selama ini kegiatan Gereja banyak didominasi kaum tua, sesepuh. Orang muda kurang mendapat tempat dengan alasan mereka belum mampu, matang, pantas dan lain sebagainya. Selain itu kegiatan Gereja kurang hidup. Bagi orang muda kegiatan Gereja yang ada membosankan. Inilah yang melahirkan kurangnya minat terhadap kegiatan-kegiatan konvensional. Memang ada kecenderungan mereka mencari dan menemukan kegiatan yang bersifat rekreatif-kualitatif semata. Dalam menanggapi situasi semacam itu, sebenarnya dapat diatasi dengan mulai melibatkan orang muda dalam kegiatan gereja. Mereka diajak untuk melihat, berpikir dan melakukan suatu dinamika kegiatan yang menjawab kebutuhan orang muda, misalnya panitia paskah, diskusi rohani, week end, out bound dan lain sebagainya. Tentu saja gerak mereka harus didukung oleh banyak pihak entah imam, keluarga, pendamping orang muda, mahasiswa dan lain sebagainya.

c.       Penanaman Kesadaran Spiritualitas Yesus Kristus yang mendalam
Gereja dalam Dekrit Apostolicam Actuositatem art 33 mengatakan, “orang muda dipanggil untuk menanggapi sapaan Kristus dan mengundang mereka untuk mengikuti dorongan Roh Kudus dan menyambut-Nya dengan kegembiraan dan kebesaran jiwa”. Panggilan orang muda adalah untuk menyambut sapaan Kristus dan mengikuti dorongan Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang menjadi spiritualitas orang muda kristiani. Mereka mengalirkan hidup mereka dengan bersumber dari Kristus sendiri. Kesadaran sebagai murid Kristus kiranya memberi dorongan dan arah yang tepat bagi orang muda dalam membangun kecintaannya kepada Gereja dan masyarakat tempat mereka hidup. Nilai spiritual inilah yang hendaknya dihidupi dalam benak masing-masing.

d.      Refleksi yang berdaya sapa dan berdaya ubah
Kegiatan orang muda tidak jauh dari gegap gempita yang terkadang bersifat sementara. Oleh karena itu, agar kegiatan orang muda tidak sia-sia, tanpa membawa makna. Para pendamping perlu membiasakan suatu pola refleksi (salah satu cara). Refleksi menjadi sesuatu yang relevan karena berdaya sapa dan berhubungan dengan pengalaman sehari-hari. Selain itu, refleksi mendorong daya ubah dalam membangun suatu nilai yang lebih dalam. Kesadaran sebagai orang muda kristiani, yang senantiasa menimba inspirasinya dari Yesus Kristus harus senantiasa dikembangkan dengan daya refleksi seperti itu. Ada seorang muda mengatakan, “setiap kami selesai membuat kegiatan bersama, kami selalu berrefleksi. Kami sungguh merasakan buah-buah yang baik dari refleksi”[1]. Refleksi menjadi media yang tepat untuk mengendapkan butir-butir pengalaman dan mengasup nilai-nilai yang positif yang memantapkan kecintaan orang muda kepada Kristus dan Gereja-Nya.

Kehadiran kelompok-kelompok orang muda (remaja-mahasiswa) menjadi tempat yang nyaman untuk mengekspresikan diri dengan merdeka, menjadi medan perjumpaan yang mendukung dalam menanggai harapan dan kecemasan Gereja dan masyarakat melalui kegiatan kebersamaan. Selain itu, pastoral orang muda turut serta terlibat mempersiapkan sumber daya manusia yang mempunyai kepribadian dan berkarakter kristiani yang memiliki sense catholicus mendalam. Oleh karena itu, teruslah bergerak dalam menjaring makna mendalam dari eksistensi orang muda bagi Gereja dan masyarakat.

Dimuat dalam majalah Mediator

No comments:

Post a Comment