“Mommie! Thank you for not aborting me!!!”. Ungkapan ini menarik untuk kita renungkan. Ungkapan yang menyiratkan ada suatu persoalan besar. Ungkapan yang mengingatkan kita pada praktek aborsi yang kian marak di dalam masyarakat. Aku ngeri mendengar berita-berita semacam itu. Bagaimana mereka tega menggugurkan anak di dalam kandungan? Bagaimana mereka menghilangkan kehidupan yang cuma-cuma Tuhan berikan? Aku hanya geleng-geleng kepala, tidak tahu juga apa yang harus kulakukan.
Pernah suatu ketika, aku berhenti di perempatan. Aku membaca selebaran ditempel di tiang listrik, “Anda terlambat bulan? Hubungi nomor ini: 08xxxxxxx”. Awalnya aku tidak menangkap maksud kalimat itu. Hatiku tidak banyak bergulat. Tapi aku kaget saat mengetahui maksud tulisan pada selebaran itu, “Ternyata semacam praktek aborsi”.
Uedan,
mudah sekali mereka memasang iklan itu. Malah
berjajar rapi di tiang-tiang rambu lalu lintas. Satu pihak praktek semacam ini membantu bagi
sekelompok oknum. Tetapi hakekat aborsi “tidak boleh dilakukan oleh kita”. Aborsi
bukan praktek sederhana. Aborsi menyimpan persoalan moral yang tidak sederhana
apalagi bersangkut paut dengan kehidupan manusia.
Pada suatu ketika aku
berjumpa dengan salah seorang anak dampingan (saat aku berpastoral mendampingi
orang muda). Dia banyak bercerita tentang kehidupan teman-temannya sesudah aku
tidak mendampingi mereka. Ada yang bekerja di Jakarta, ada yang menjadi montir,
pedagang, kuli bangunan dan pengacara alias
pengangguran banyak acara. Cerita-cerita membahagiakan yang membuatku bahagia bernostalgia,
mengenang saat-saat bersama mereka. Tapi ada satu kisah yang membuatku terkejut.
Dia cerita tentang seorang teman yang menggugurkan kandungan. Si pelaku memang
tidak pernah cerita dengan siapapun, baik orang tua, teman maupun guru. Malahan kehamilan baru diketahui saat ia
mengalami pendarahan dampak dari usaha pengguguran. Alhasil, gugurlah bayi
dalam kandungan. Aku mendengar cerita itu sambil geleng-geleng kepala dipenuhi
rasa tidak percaya, “Ya Tuhan, mengapa dia melakukan itu?”
Aborsi?
Sejak
kapan kehidupan itu ada? Sejak kapan seseorang dikatakan sebagai pribadi?
Pertanyaan itu kiranya dapat memberi batasan yang jelas mengenai kapan
kehidupan manusia mulai ada. Ada beberapa pandangan yang berbeda satu sama lain,
tapi aku akan melihat aborsi dari sudut pandang ajaran Gereja Katolik. Gereja
memandang kehidupan manusia terjadi sejak terjadinya pertemuan sel telur dan
sel sperma, pembuahan. Sejak terjadi
pembuahan, ia sudah disebut sebagai pribadi, manusia. Manusia yang memiliki
keunikan serta hak dan kewajiban sebagaimana manusia pada umumnya. Dia memiliki
hak hidup serta nilai intrinsik sebagai manusia kendati ia masih tergantung
pada ibunya (ada dalam kandungan). Untuk itu eksistensi sebagai manusia dimulai
sejak pembuahan hingga kematiannya, “The
dignity of a person must be recognized in every human being from conception to
natural death” (Dignitatis Personae,
1). Maka segala tindakan yang meniadakan janin dalam kandungan adalah
tindakan aborsi.
Apakah aborsi itu?
Menurut pandangan medis, aborsi merupakan penghentian dan pengeluaran hasil
kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan. Pengeluaran
ini dilakukan secara sengaja oleh campur tangan manusia, baik melalui alat
mekanik, obat atau cara lain. Secara medis pengeluaran janin sebelum 20-24
minggu disebut aborsi, sedangkan sesudahnya disebut pembunuhan bayi (infanticide). Dalam dunia moral dan
hukum, tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah janin bisa hidup di luar
kandungan. Dalam buku CB. Kusmaryanto, berjudul Kontroversi Aborsi (Grasindo, 2002) dikatakan bahwa aborsi secara
moral merupakan pengeluaran janin secara sengaja, yang mengakibatkan kematian
janin, yang terjadi sejak pembuahan sampai pada kelahirannya. Dengan demikian
praktek aborsi tidak boleh dilakukan karena pada dasarnya bertentangan dengan
nilai intrinsik dan kesucian manusia itu sendiri.
Saat Kehidupan itu Ada,
kita harus membelanya
Pada
dasarnya kehidupan harus dibela dan diperjuangkan. Kehidupan yang kita terima
adalah rahmat Tuhan yang cuma-cuma. Kita tidak perlu membayar mahal untuk dapat
hidup. Tuhan menjadikan kita istimewa sebagai manusia. Karena kita menerima
rahmat kehidupan dengan cuma-cuma kita mempunyai tanggung jawab untuk
memelihara kehidupan itu dengan sebaik-baiknya.
Walau bagaimanapun dan dalam bentuk apapun, tindakan meniadakan
kehidupan sama artinya tidak menghargai kehidupan yang diberikan Allah. Gereja
sangat menentang tindakan-tindakan itu karena Allah menciptakan kita baik
adanya. Selain kesadaran kita sebagai manusia yang tercipta, kita diundangnya
untuk mencintai sesama kita manusia. Cinta itu dapat berwujud melalui
perjuangan kita dalam membela kehidupan, menjaga kehidupan, “Cintailah orang
lain seperti mencintai dirimu sendiri.”
Setiap mahluk, apalagi
manusia, memiliki hak hidup. Hidup
manusia harus dibela, dipelihara, dan diperjuangkan. Apakah artinya?
Pertama,
Hak untuk hidup merupakan hak yang paling asasi. Ini sesuai dengan hakekatnya
manusia sebagai pribadi manusia. Hak asasi dihubungkan dengan statusnya sebagai
manusia, yang menyatu lekat dengan martabatnya sebagai manusia, bukan pemberian
dari orang lain. Ada bersama dengan “adanya” manusia, dan berakhir dengan “berakhirnya”
hidup manusia. Hidup adalah sine qua non
(syarat mutlak, harus ada). Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB pada
tanggal 10 Desember 1948 dikatakan, “setiap orang mempunyai hak untuk hidup,
bebas dan keamanan pribadi.”
Kedua,
nilai intrinsik hidup manusia. Intrinsik berarti menyatu dengan keberadaan
manusia. Ada secara kodrati, unik, dan bukan pemberian orang lain. Ketiga, Nilai dan martabat manusia di
hadapan Allah. Dalam ajaran Kristiani ditegaskan konsep manusia bukan hanya
puncak Karya Penciptaan Allah dan diciptakan menurut gambar Allah dan rupa Allah (Kej 1: 27), tetapi manusia
dijunjung lebih tinggi lagi dengan inkarnasi dan penebusan Kristus sehingga
mengangkat kodrat manusia menjadi anak-anak Allah dan menawarkan pengharapan
akan keselamatan kepada umat manusia, “Manusia
diberi martabat yang sangat luhur, berdasarkan ikatan mesra yang
mempersatukannya dengan Sang Pencipta: dalam diri manusia terpancarlah gambar
Allah sendiri” (EV[1]
34). “Martabat hidup manusia itu
dikaitkan bukan hanya dengan asal usulnya saja yang berasal dari Allah, tetapi
juga dengan tujuan akhir hidupnya yaitu persatuan dengan Allah dalam
pengetahuan dan kasih denganNya” (EV 38). Sebagai kesimpulan, Evangelium Vitae menegaskan bahwa “Hidup itu selalu merupakan harta yang tak
ternilai.” (EV 34).
Dengan demikian,
dapatlah dipahami mengapa hidup itu sungguh bernilai dan harus dikembangkan
ketika berhadapan dengan berbagai kendala yang dapat menghambat perkembangan
pribadinya sebagai manusia yang bermartabat di hadapan Allah. Keempat, Nilai kesucian hidup manusia.
Titik pangkal kesucian manusia berkaitan dengan asal dan sumber pencipta
manusia itu sendiri. Manusia diciptakan oleh Allah. Menurut asal-usulnya,
ciptaan Allah itu suci dan baik adanya sebab melibatkan karya penciptaan Allah,
“Hidup manusia adalah suci sebab sejak
permulaannya sudah menyangkut karya penciptaan Allah dan akan tetap demikian
selamanya dalam hubungan yang khusus dengan Sang Pencipta yang adalah
satu-satunya tujuan akhir hidupnya (Donum
Vitae, 5). Untuk itu, sebab penciptanya adalah Allah, maka yang mempunyai
hak dan berhak untuk mengambil hidup manusia adalah Allah sendiri. Manusia bukanlah pemilik absolut hidupnya, ia
hanya sekedar penjaga dan administrator yang mengatur dan memelihara
hidupnya.
Semoga kita digerakkan
untuk senantiasa membela dan memperjuangkan kehidupan itu.
[1] Evangelius Vitae =
Ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII yang berbicara tentang kemanusiaan.
No comments:
Post a Comment