Iman yang hidup akan Yesus Kristus mengandaikan komitmen dan keterlibatan demi pembebasan dari segala bentuk kemiskinan, penindasan. Siapa yang sungguh melibatkan diri (dan karena itu sadar akan posisi sosialnya) akan berupaya menangkap dimensi pembebasan dari misteri Yesus Kristus. Dia akan menekankan tindakan Yesus historis yang memerdekakan, karena sebagai Putra yang menjadi daging, Yesus mewartakan kabar gembira dan bersikap sedemikian sehingga tercipta suatu kondisi kebebasan yang benar-benar baru bagi umat-Nya. Pewartaan dan sikap Yesus merupakan titik tolak bagi umat Kristen dalam mengikuti Tuhannya, juga dalam suatu konteks kemiskinan, penindasan, situasi yang harus diatasi dalam suatu proses pembebasan.
Berkaca Pada Sebuah Sketsa Yang Terluka
Persoalan terdalam bagi Asia adalah kemiskinan. Kemiskinan yang memberi dampak bagi kemerosotan martabat dan tidak layak manusiawi serta maraknya pelanggaran keadilan. Mengapa kemiskinan begitu terasa di Asia? Ada beberapa jawaban sebagai berikut : pembagian tidak adil sumber-sumber bagi hidup, peluang-peluang yang tidak merata, sikap tidak bersedia menjalankan perombakan pertanahan, usaha-usaha yang menyedihkan untuk meningkatkan kemampuan baca-tulis, konsentrasi kemewahan di tangan orang-orang kaya, sosialisme negara mau tidak mau mengarah kepada korupsi, penghamburan ekonomi dan pemerintahan yang tidak beres (Konteks Asia dalam FABC).
Realitas kemiskinan, penindasan, dan penderitaan tersebut tidak akan lenyap dalam kehidupan manusia, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini. Realitas kemiskinan, penindasan, dan penderitaan datang silih berganti, bergulir mengisi hari-hari kehidupan rakyat Indonesia. Entah bencana yang melanda, musibah, kecelakaan, atau kemiskinan struktural sebagai buah ketidakadilan pihak-pihak tertentu. Gambaran ini melukiskan Indonesia yang tengah dirundung malang!. Kenaikan harga kebutuhan pokok membuat banyak rakyat menjerit. Di tengah jeritan-jeritan itu, ada simpang siur fakta yang serba kontras dan berlawanan satu sama lain. Ketika masyarakat berjuang untuk bertahan supaya bisa hidup, sebaliknya segelintir orang hidup dalam kelimpahan. Jumlah orang miskin di Indonesia tidak pernah susut, kira-kira 16,85 % dari total penduduk atau sekitar 36,8 juta jiwa hidup dalam kemiskinan, penderitaan, akibat kenakalan beberapa pihak (Indonesia Kita Benahi Bersama, diambil dari Kompas, Sabtu, 10 Mei 2008, Kolom Tajuk Rencana, 6).
Masyarakat
miskin selain mengalami kemiskinan, juga mengalami perendahan harkat dan
martabat sebagai manusia. Perlakuan tidak adil kerap ditimpakan kepada mereka.
Kebisuan dan kebekuan tutur adalah suatu jawab yang tak pernah mereka inginkan
sebelumnya. Keterbatasan memaksa mereka memasung dan meratapi hidup dalam alur
derita berkepanjangan. Demikian kemiskinan amat dekat dengan derita yang menyatu
seperti keping mata uang.
Situasi
kemiskinan, penderitaan, dan penindasan mau tidak mau menantang sampai akhirnya
melahirkan pergulatan dalam hati setiap orang. Kebebasan sebagai manusia yang
tercipta baik adanya, menyadarkan eksistensi manusia yang seharusnya ada pada
penghargaan yang sama satu dengan yang lain. Meski status, kondisi, dan
persoalan yang dialami berbeda-beda. Kebebasan mengawali sejarah manusia, mulai
dari pandangan teologis hingga humanis. Dikisahkan bahwa Tuhan memberikan
kebebasan bagi manusia pertama untuk taat kepada perintah-Nya atau menuruti
kehendak hatinya sendiri. Simbolisasinya: jangan memakan buah tentang
pengetahuan yang baik-buruk yang ada di tengah Firdaus. Kisah kebebasan ini
berlanjut hingga manusia terdampar ke bumi.
Manusia
toh tetap memiliki kebebasan untuk percaya atau tidak kepada Tuhan. Ia
menyediakan air dan udara bagi kebaikan setiap manusia, yang percaya ataupun
tidak. Membingungkan jika kemudian ada ciptaan yang merampas kebebasan ciptaan
lainnya yang lemah, tidak memiliki daya, atau miskin.
Persoalan
kemiskinan, penderitaan, dan penindasan memiskinkan diri dan orang lain sebagai
ciptaan yang mulia. Situasi ini membuat gelisah dan menggugah ranah rasa
manusia untuk bergerak dan berbicara soal kehidupan yang semestinya. Saya tidak
memaksudkan kemiskinan sebagai obyek studi yang mesti diberantas atau
penderitaan dan penindasan sebagai peristiwa yang harus ditolak. Tetapi
bagaimana dalam situasi itu, kita mampu menemukan Allah yang berbicara terlebih
dalam kehadiran Yesus, Putra-Nya ke dunia. Selain itu, berdasarkan uraian
sketsa yang terluka tersebut, penulis ingin menampilkan bagaimana hidup Yesus
mendasari tindakan manusia untuk terlibat dalam keprihatinan sesamanya.
Bagaimanakah sikap dan perhatian Yesus terhadap situasi kemanusiaan yang
berkembang di sekitar-Nya? Bagaimana Yesus benar-benar menjadi kabar gembira
bagi orang-orang miskin, menderita, tertindas?. Secara umum semua manusia terus
mencari realitas yang mendamaikan dan menyatukan dalam hidupnya, dan sebagai
orang Kristen kita menemukannya dalam Yesus.
Jembatan
Antara Kristus dan Kita Manusia
Jika
Kristus merupakan nilai penentu bagi eksistensi, maka alasan utamanya bahwa
dalam Dia kita menemukan jawaban atas masalah-masalah dan harapan-harapan kita
sebagai manusia. Dia memberi ruang penghubung antara Allah dan manusia. Kristus
adalah penghubung itu. Iman kita, manusia, telah menemukan Allah manusia dalam
diri-Nya. Kita mengakui, bahwa dalam Kristus kita menemukan jalan sekaligus
tujuan: melalui manusia kita sampai kepada Allah, melalui Allah kita memahami
siapa manusia sesungguhnya (Lenoardo Boff, Yesus Kristus, Maumere
:Lembaga Pendidikan Berlanjut Arnold Janssen, 1999, 235, diterjemahkan oleh
Aleksius dan G. Kirchberger dari buku Leonardo Boff, edisi bahasa Jerman, Jesus
Christus, der Befreier, Freiburg im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1986). Kita telah
melihat bahwa dalam kemanusiaan-Nya, iman telah menemukan keilahian. Atas dasar
ini kemanusiaan merupakan jembatan yang menghubungkan Kristus dan manusia.
Pertama, Misteri
Inkarnasi merupakan kenosis Kristus sebagai Hamba yang menderita. Peristiwa inkarnasi
(Inkarnasi berasal dari kata Latin : in
dan caro/carnis yang berarti dalam
daging. Inkarnasi menunjuk realitas iman kristiani, bahwa pribadi Sang Sabda
Abadi (Allah Putra) mengambil bagi Diri-Nya realitas manusiawi atau kemanusiaan
untuk datang kepada citaan demi keselamatan manusia) yang mengungkapkan
solidaritas Allah kepada manusia menjadi sebentuk pertanyaan bagi kita terlebih
kepada pribadi ketiga, yaitu Yesus sendiri. Yesus adalah sabda yang telah
menjadi daging (Yoh 1: 14). Ini menunjukan Yesus adalah Allah dalam wujud
manusia. Thomas Sang murid mengungkapkan pada Yesus, "Ya Tuhanku dan
Allahku!" (Yohanes 20:28). Yesus tidak mengoreksi dia. Rasul Paulus
menggambarkan Dia sebagai, “……Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus
Kristus” (Titus 2:13). Rasul Petrus mengatakan hal yang sama, “….…Allah dan
Juruselamat kita, Yesus Kristus.” (2 Petrus 1:1). Allah Bapa adalah Saksi dari
identitas Yesus yang sepenuhnya, “Tetapi tentang Anak Ia berkata:
"Tahta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat
kerajaan-Mu adalah tongkat kebenaran.” Nubuat-nubuat mengenai Kristus dalam
Perjanjian Lama menyatakan keillahianNya, “Sebab seorang anak telah lahir untuk
kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di
atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang
Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” Dengan kata lain, Misteri inkarnasi
tersebut hendaknya dilihat dalam konteks perutusan Anak dari Bapa utuk
melaksanakan rencana keselamatan Allah, yakni mendamaikan Allah dengan manusia
(2 Kor 5:18-19)[6]. Puncak penyelamatan dan pendamaian tersebut terjadi dalam
peristiwa salib Kristus (Kol 1:20).
Apa maksud semua itu? Bagi umat Kristiani, Yesus
adalah pusat iman. Yesus adalah Allah yang mau merendahkan diri dengan
mengambil rupa manusia, sebagai ungkapan kerahiman Allah yang mencintai
umatnya. Misteri penjelmaan Allah tersebut hadir dalam rupa Yesus yang hadir ke
dunia untuk melaksanakan perutusan Bapa. Pemberian diri Allah dalam misteri
inkarnasinya merupakan tanda dan sarana perjumpaan manusia dengan misteri
Kerajaan yang datang. Yesus yang mengambil rupa manusia, yang penuh dengan
kelemahan dan keterbatasan. Dan peritiwa ini merupakan peristiwa pengosongan
diri Allah yang sangat total bagi manusia. Pengosongan diri itu diungkapkan
pula oleh Paulus dalam suratnya kepada umat di Fillipi yaitu:
“Hendaklah
kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga
dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan
telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi
sama dengan manusia, dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan
diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib…..”
Allah menjadi manusia tanpa berhenti menjadi Allah.
Allah –manusia ini bernama Yesus Kristus. Yesus yang mencintai, dan
menyelamatkan manusia. Bentuk pengosongan inilah yang dilakukan Allah dalam dan
melalui Yesus. Dalam diri-Nyalah, Allah menghadirkan diriNya dekat dengan
manusia. Inilah misteri inkarnasi. Misteri inkarnasi ini hendaknya dilihat
dalam konteks sejarah keselamatan manusia. Allah yang sungguh-sungguh sudi
menjadi manusia adalah untuk keselamatan manusia. Hal itu terlukiskan dalam
surat Paulus kepada jemaat di Korintus yang berbunyi, “Karena kamu telah
mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus bahwa Ia yang oleh kamu menjadi
miskin sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya (2
Kor 8:9).
Inilah gambaran Allah yang sungguh mengambil rupa
manusia. Dengan segala kemanusiaanya, Yesus merasakan dirinya sebagai manusia
pada umumnya, dimana penderitaan dialami-Nya. Pengosongan ini menggambarkan
Allah sungguh melepaskan atribut keilahianNya dan mengosongkan diri. Ia adalah
hamba dari segala hamba.
Akhirnya, Misteri Inkarnasi merupakan luapan cinta
Allah yang berlimpah. Karena Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), maka “Allah ingin
menjelma untuk memberi kesaksian kepada manusia tentang persahabatan-Nya. Ia
rindu turun sendiri ke dalam dunia supaya dunia dapat naik ke surga. Allah yang
turun menjadi manusia memiliki tujuan supaya manusia dapat ambil bagian alam
hidup ilahi, dan karenanya punya relasi dengan diri-Nya. Yang paling kelihatan
dari cinta Allah adalah salib. Pengurbanan diri yang radikal, di mana Yesus
merangkul dosa dan penderitaan manusia, adalah penebusan sengsara menjadi
belaskasih. Inkarnasi adalah kenosis Kristus yang menjelma sebagai hamba yang
menderita.
Kedua,
Yesus Kristus sungguh Allah dan sungguh Manusia. Dalam misteri inkarnasi Allah
menjadi manusia. Umat Kristiani percaya bahwa Yesus Kristus-sabda Allah yang berinkarnasi
itu- adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Namun, tidak bisa dilupakan
bahwa pemahaman sungguh Allah, sungguh manusia inipun menimbulkan pro-kontra.
Ada pandangan yang berbeda mengenai Yesus Kristus sungguh Allah, sungguh
manusia, pihak pertama, mereka yang menolak Yesus Kristus yang berinkarnasi
dalam manusia historis Yesus. Kedua, mereka yang tidak menerima bahwa Yesus
adalah sungguh-sungguh manusia. Kedua pandangan ini bertolak belakang satu sama
lain. Gereja secara tegas, dalam proses, menolak kedua pandangan ini. Gereja,
dalam Konsili Kalsedon sejak 451 mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah
sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Dua sifat ini berada dalam
satu pribadi Yesus Kristus tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pembagian
dan tanpa pemisahan (F. Gions, OFM, Karl Rahner Tentang Yesus Kristus: Sebagai Jawaban Atas Pertanyaan
Dasariah Manusia, Yogyakarta, Yayasa Pustaka Nusatama, 2006, 136-137).
Ketiga,Yesus
Kepenuhan Janji Allah. Misteri inkarnasi merupakan pemenuhan janji Allah yang
berpangkal dari Perjanjian Lama, yang mencatat ide mesias dan kerajaan mesianik.
Kerajaan Mesianik merupakan tradisi yang berkembang di Israel yang banyak
dihubungkan dengan keturunan Daud (2 Sam 7) [14]. Namun harapan itu pupus
manakala raja-raja duniawi tidak seperti yang mereka harapkan. Harapan itu
berganti yakni Mesias yang digambarkan sebagai yang ilahi (Dan 7:13)[15].
Kepenuhan janji Allah terwujud dalam kehadiran
Yesus. Kehadiran Yesus ini tidak bisa lepas dari konteks perjanjian yang
terjadi antara Allah dengan bangsa Israel. Peristiwa perjanjian antara Allah
dengan bangsa Israel adalah saat bangsa Israel menantikan kedatangan Sang
Mesias, nubuat para nabi Perjanjian Lama, yang kini terpenuhi dengan kehadiran
Yesus. Demikian semua Injil memperkenalkan Yesus sebagai Mesias (dalam bahasa
Yunani : Kristus), orang yang diurapi dari keturunan Daud.
Kehadiran Yesus merupakan pemenuhan harapan mesianis
Yesaya (Luk 4:16-21) serta jawaban atas pertanyaan murid-murid Yohanes (Mat
11:1-6), dimana Yesus dilihat sebagai utusan Allah yang mengangkat serta
memulihkan keadilan dan banyak berpihak kepada orang miskin, lemah dan
tersingkir.
Keempat,
Yesus mewartakan Kerajaan Allah. Kehadiran Yesus ke dunia dalam rangka
perutusan Bapa adalah untuk mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah kepada
manusia. Kerajaan Allah inilah yang menjadi pokok pewartaan Yesus (Mrk 1:15;
Mat 4:17; Luk 4:18-30). Pokok pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah adalah
warta asli, historis, bukan merupakan hasil refleksi, pengolahan para penginjil
atau jemaat perdana. Pewartaan Yesus mengenai kabar gembira Kerajaan Allah
dihadirkan dan dialamatkan kepada seluruh umat manusia, dan diteruskan oleh
para murid serta generasi-generasi selanjutnya.
Kerajaan Allah sebagai kekhasan warta Yesus
merupakan kehadiran dan kegiatan Allah yang menyapa manusia untuk membawa
manusia kepada keselamatan, menyelamatkan manusia dari dunia, dalam dan melalui
karya Yesus (Guido Tisera, SVD, Seperti
Apakah Kerajaan Allah itu?, 6). Allah sendiri yang datang, hadir di tengah
umat-Nya dan bertindak menyelamatkan umat-Nya.
Gagasan Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus
tidak bersifat politis. Namun, sifat religious Kerajaan Allah sungguh tersirat
di dalamnya, yakni tentang tindakan Allah yang hadir di tengah-tengah umat-Nya
dengan penuh kebebasan untuk membawa manusia kepada keselamatan (E.
Martasudjita, Pr, Mencintai Yesus Kristus,
Kanisius : Yogyakarta, 81).
Isi
Pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah
Isi
pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah lahir dari relasi yang dekat dan khas
diri-Nya dengan Allah. Allah hadir serta tampil sebagai yang penuh kasih. Allah
bukanlah Allah yang menghakimi, menilai manusia tetapi menawarkan keselamatan
kepda manusia. Dasar perutusan Yesus ke dunia adalah berkat intimitas relasi
tersebut. Untuk itu, perutusan yang dilakukan oleh Yesus selalu dalam kerangka
perutusan Allah yang penuh kasih, dan ketaatan total adalah tanggapan-Nya.
Bukti ketaatan total Yesus kepada Allah berpuncak pada peristiwa derita, dan
wafat-Nya di kayu salib.
Allah yang ditampilkan Yesus adalah Allah yang penuh
belas kasih dan murah hati. Allah adalah Bapa yang suka mengampuni dan
bersukacita karena pertobatan satu orang yang berdosa (Luk 15:7). Gagasan Allah
yang penuh belas kasih dan murah hati terlihat pula dalam tindakan-karya, dan
pengajaran yang Yesus lakukan. Yesus sendiri mencerminkan Allah yang penuh
belas kasih dan pengampunan.
Kerajaan
Allah hadir bagi orang-orang miskin
a. Palestina sebagai Konteks Hidup Yesus
Penduduk
Palestina adalah Yahudi. Mereka hidup mengembara (Ul 26:5) dengan tata
kehidupan yang sederhana. Awalnya, relasi miskin dan kaya berlangsung baik.
Namun, setelah masyarakat semakin maju dengan adanya pertanian, kepemilikan
tanah dll, suasana solidaritas, kebersamaan, saling bergantung perlahan
memudar. Masyarakat menjadi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok miskin (petani),
dan kelompok tuan tanah. Perbedaan ini menyebabkan ketegangan relasi di dalamnya.
Yesus hadir dalam suasana semacam ini. Ia datang
pada rakyat jelata (the people of the land, “am haarest”, atau rakyat jelata) (Guido
Tisera, SVD, Seperti Apakah Kerajaan
Allah itu?, 72). Mereka kerap dianggap sebagai orang miskin yang kurang
beragama karena kurang mengetahui seluk-beluk hokum yang telah dikuasai dan
dipersulit oleh kaum farisi. Kedatangan Yesus tepat di tengah masyarakat
Yahudi. Dia menantang struktur masyarakat Yahudi, praktek-praktek ekonomi,
keagamaan yang mapan dan terasing dari rakyat miskin. Secara khusus, Yesus
memperhatikan yang miskin dan susah (Mat 6:34). Sikap dan cara hidup Yesus
menunjukan penghargaan terhadap nilai-nilai kemiskinan. Yesus adalah orang
gunung Galilea, daerah pinggiran dan semi kafir.
Kemiskinan Yesus merupakan pilihan fundamental-Nya
yang nyata dalam inkarnasi. Yesus menerima dan mengalami kerapuhan serta
kelemahan sebagai manusia. Dia solider, “tidak menganggap kesetaraan dengan
Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan
diri-Nya sendiri” (Flp 2:6-7).
b. Kabar baik Kerajaan untuk yang Miskin
Pada
awal pewartaan-Nya, Yesus menggunakan kata-kata Yesaya yaitu, “menyampaikan
kabar baik bagi orang-orang miskin....” (Yes 61:1-2). Rupanya orang miskin
mendapat tempat pertama dalam tugas dan sasaran perutusan. Dalam teks Sabda
Bahagia, Yesus mengatakan, “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah
yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar,
karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis,
karena kamu akan tertawa” (Luk 6:20b-21).
Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus tidak
semata untuk orang-orang miskin, lapar dan tersingkir dalam arti sesungguhnya.
Tetapi sikap hidup yang dapat dimiliki oleh seseorang yang beriman secara
sungguh-sungguh kepada Allah. Yang berbahagia adalah mereka yang terbuka
menerima kehadiran Allah sebagai satu-satunya raja yang menguasai hidup mereka (Yosef
Lalu, Pr, Warta dan Gerakan Kerajaan
Allah, Yogyakarta : Lembaga Pengembangan Kateketik Pusat, 1998, 18). Hidup
dalam pengharapan kepada Allah membuka peluang hadirnya Kerajaan Allah dalam
hidup mereka. Keterbukaan hati dan pengosongan diri atas segala sesuatu yang
mereka miliki, termasuk hati yang utuh untuk hidup dalam diri-Nya menempatkan
mereka sebagai milik Allah. Allah yang berkarya dan manusia menyambutnya dengan
tangan terbuka. Dengan kata lain “Orang miskin dalam roh adalah mereka yang
menemukan keamanan mereka di dalam pengetahuan mereka mengenai Allah yang
benar-benar mengasihi hidup mereka dan akan menyelamatkan mereka bukan dari apa
yang mereka miliki” (Dikutip dari John Fuellenbach, SVD, Kerajaan Allah : Pesan Inti Ajaran Yesus Bagi Dunia Modern
terjemahan dari The Kingdom of God The Central Message of Jesus’ Teaching in
the Light of the Modern World, 204)
c. Kerajaan Allah yang Membebaskan
Yesus
mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang-orang kecil, hina, dan miskin: “Sebab
ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus, kamu memberi Aku
minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan,ketiak Aku
telanjang, kamu member Aku pakaian, ketika Aku sakit, kamu melawat Aku ….dst”
(Mat 25:35-36). Selain itu, bertolak dari teks 25:31-46, Kristus hadir dan
turut bekerja dalam setiap perjuangan untuk membela keadilan dan kebenaran.
Perjuangan sosial dan pembelaan terhadap orang-orang yang diperlakukan tidak
adil dan tertindas merupakan bentuk kehadiran Kristus. Inilah yang dimaksud
dengan pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah merupakan pewartaan pembebasan,
yang terutama menyentuh orang miskin dan tertindas. Ia hadir memperjuangkan
keadilan dan kebenaran, yakni untuk memberikan damai sejahtera bagi semua
orang.
Relevansi:
Meneladan
Hidup Yesus Yang Membebaskan
Inilah
bentuk keteladanan yang bisa kita ambil dari hidup Yesus yang merendahkan diri
dengan menjadi seorang hamba. Kehadiran-Nya adalah untuk memberikan pembebasan
bagi mereka yang tertindas, miskin, dan tersingkir. Kita sebagai umat beriman
yang percaya kepada-Nya, beriman akan Yesus Kristus mengandaikan komitmen dan
keterlibatan demi pembebasan dari segala bentuk penindasan, kemiskinan yang
hadir dalam lingkungan sekitar kita. Keterlibatan aktif dengan mengikuti
keteladanan Yesus yang memberikan pembebasan bagi orang miskin akan memampukan
kita untuk melahirkan kebebasan itu bagi diri dan orang lain.
Keterlibatan kita dalam masyarakat memang tidak
harus bersifat social ekonomi, tetapi dengan menghadirkan Kristus yang
mewartakan Kabar gembira Kerajaan Allah bagi semua orang pun merupakan cara
menggemakan iman kita kepada Yesus yang membebaskan. Pewartaan dan sikap Yesus
merupakan titik tolak bagi umat Kristen dalam mengikuti Tuhannya, juga dalam
suatu konteks penindasan, situasi yang harus diatasi dalam suatu proes
pembebasan.
Kristus meresapi segala sesuatu, mengambil bentuk
konkret dalam Yesus dari Nazaret, karena sejak keabadian Dia sudah dipikirkan
dan direncanakan untuk menjadi pusatnya, di dalam-Nya Allah memperlihatkan diri
secara penuh di tengah ciptaan. Manifestasi diri Allah berarti Dia dan manusia
saling meresap secara sempurna, bahwa mereka membentuk kesatuan yang tak
terpisahkan dan tak dapat ditukar dan bahwa ini merupakan tujuan akhir ciptaan,
tujuan yang diintegrasikan dalam misteri Trinitas. Yesus tampil sebagai contoh
dan model dari apa yang akan terjadi dengan kita dan dengan segenap ciptaan.
Yesus merupakan kenyataan interpretative dan menerangi segala sesuatu di masa
lalu, masa kini dan masa depan. Dalam Dia menjadi jelas bahwa kosmos dan
teristimewa manusia tak dapat mencapai kesempurnaanya jikalau mereka tidak
diilahikan dan dikenakan oleh Allah. Allah menjadi “semua dalam semua” (1 Kor
15:28) (Lenoardo Boff, Yesus Kristus,
Maumere :Lembaga Pendidikan Berlanjut Arnold Janssen, 1999, 265, diterjemahkan
oleh Aleksius dan G. Kirchberger dari buku Leonardo Boff, edisi bahasa Jerman,
Jesus Christus, der Befreier, Freiburg im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1986).
Akhirnya, realitas kemiskinan, penindasan, maupun
penderitaan mendorong kita semua untuk menciptakan satu budaya yang
menyelamatkan semua pihak.
No comments:
Post a Comment