Dok. internet |
Aku berdiri dipinggir jalan menunggu datangnya angkutan (Kaliurang – Terban) menuju perempatan Kentungan. Hatiku mulai gelisah. Mengapa gelisah? Sebab aku harus mengirimkan satu tulisan untuk seseorang, Bapa Uskup, via email. Setidaknya kepergianku saat ini bukannya tanpa alasan, bukan tanpa kabar berita, atau dengan sengaja menghilangkan diri dari peradaban. Aku pergi untuk sejenak mengambil jarak dari hiruk pikuk dan rutinitas hidup dalam komunitas dengan menyepi di Pertapaan Rawaseneng.
Aku ingin mengirimkan refleksi perjalananku kepada Bapa Uskup. Refleksi yang mengisahkan dan mengantarku menyepi di Pertapaan Rawaseneng selama sebulan. Agar refleksi itu bisa terkirim, aku harus mencari WARNET terdekat terlebih dulu. Memang, diam-diam aku telah menyusun rencana yang sedikit tertata agar waktu-waktu yang tersisa bisa digunakan untuk banyak hal. Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku memutuskan berangkat dengan jalan kaki. Sebelum aku naik bis, aku mampir ke warnet dulu.
Aku berangkat membawa
satu tas berisi pakaian, jubah, alat mandi, bollpoint dan satu buku kosong.
Barang bawaanku tidak banyak. Ku gendong tas hitam satu-satunya kepunyaanku
dengan gagah, dan tidak kulupakan topi coklat kesayanganku memayungi kepalaku.
Sengaja aku tidak membawa banyak barang, sebab aku tidak tahu apa yang akan
dilakukan di sana. Yang jelas aku berangkat membawa diriku seadanya.
Di depan seminari, aku
mampir sebentar ke WARNET Square. Aku mengambil nomer bilik 16. Bilik inilah
yang harus kutempati. Sebentar kemudian aku telah duduk menyanding layar LCD, lantas mengoperasikan koneksi internet. Aku
duduk sebentar menunggu koneksi jaringan internet itu. Tetapi loadingnya tidak
kunjung selesai.
“Aduh..lama sekali”, gumamku dalam hati. Sesekali aku
melihat jam tangan. Kakiku sudah terasa tidak tenang. Bagaimana tidak sebab aku
hanya melihat tulisan LOADING di tampilan layar. Cukup lama aku menunggu sampai
akhirnya muncul tulisan “error
connection”.
“Sialan…”, aku meluapkan kekesalan. Mengapa jaringannya error. Mukaku langsung cemberut. Otakku langsung berpikir-pikir
akan rencana yang harus dilakukan. “Menunggu” atau “pindah warnet”? Aku bingung. Akhirnya
aku putuskan pindah warnet, “Moga-moga
aku iso nemu warnet”,
gumamku sembari melanjutkan perjalanan.
Setelah aku menunggu di
pinggir jalan beberapa menit. Datanglah bis angkel.
Dengan
terburu-buru aku naik
dan langsung mencari tempat duduk. Kebetulan penumpang cukup
banyak sehingga terasa penuh. Aku turun di perempatan
Kentungan. Mataku langsung jelalatan melihat sekitar berharap ada warnet. Sebentar aku berjalan
di sekitar pom bensin Kentungan,
tetapi aku
tidak menemukannya (#WARNET). Akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan.
“Aduh…bagaimana aku ngirim
refleksi ini, dimana
ada warnet?”, hatiku gelisah
sebab persoalan belum selesai. “Pokoke aku kudu ngirimke refleksi ini, mbuh kepriwe carane. Nek aku weruh warnet neng tengah dalan. Aku arep medun trus ngirimke refleksine. Oh
ya, sekalian permohonan maaf nggo Hesti(kanca angkatanku pas sekolah neng van
lith) sing meh mantenan, yen aku ora iso teko”, tegasku dalam hati.
Perjalanan dari
Perempatan Kentungan ke Jombor tidak lama, kurang lebih 15 menit. Setibanya di
Jombor, aku kembali bergerilya mencari warnet bahkan aku sempat bertanya pada
tukang ojek yang mangkal di sana.
“Pak, maaf saya mau bertanya. Apakah di sekitar terminal
Jombol ini ada warnet?”,
tanyaku padanya.
“Wah tidak ada mas. Warnetnya jauh dari terminal”. Dia menjawab dan menjelaskan lokasi warnet yang ia maksudkan. Setelah
aku mendengar penjelasannya, aku menjadi putus asa. Aku memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan saja, “Siapa tahu di tengah perjalanan, aku melihat warnet?”.
Aku naik bis dari Terminal Jombor
menuju Magelang. Aku duduk di kursi paling depan di samping dua orang ibu yang
bertubuh gemuk.
“Asem….kecepit...kecepit...wes awake
cilik digencet wong gendhut-gendhut maning. Nasib..nasib..”, gumamku.
Akhirnya
aku menemukanmu
Sesampai aku di terminal Magelang. Aku mencari bis jurusan
Sukorejo. Aku duduk di kursi paling belakang dekat pintu. Aku berharap bisa melihat
warnet di sepanjang perjalananku. Kali ini tepatlah rencanaku, aku menemukan
warnet Cafe-net antara Magelang-Secang.
“Akh warneeeeeet!!!!”,
Dengan sigap
aku meminta bapak kondektur menghentikan bisnya, dan berhenti pas di perempatan saat lampu rambu lalu
lintas menunjuk warna merah.
“Busyeeeet…warnètné
kebak bocah SMP, ruame tenan”.
”Kamar berapa yang kosong?”, tanyaku pada
penjaga Café-net.
“No. 16 lantai atas.”
“Aseeem..ik.
ruangane peteng, ramai tur ambune pesingè nemen”,
umpatku dalam hati sembari mencari bilik no. 16. Setelah menemukan bilik yang
dimaksud,
aku langsung login
menggunakan Mozilla. Kutunggu dan kutunggu tetapi website yang kutuju tidak
kunjung terbuka.
“Ayooo…cepat!! Cepat!!.
Mengapa loadingnya lama sekali!?!”. Kegelisahan itu datang lagi. Aku seolah berkejar-kejaran dengan waktu yang terus
melaju. Waktuku tidak banyak. Aku menyelesaikan dengan segera lalu melanjutkan perjalanan
menuju Rawaseneng, selagi hari masih siang. Maklum angkutan dari Temanggung ke
Rawaseneng hanya siang hari, paling sore jam 15.00. Kalau melewati jam itu, mlaku dechh.
Cukup lama aku
menunggu loading Mozilla, tanpa hasil. Aku membuka Opera, dan alhamdulillah, pelan-pelan mulai terbuka.
Akhirnya, aku bisa mengirimkan email untuk Bapa Uskup sekaligus permohonan maaf
atas pembatalan tugas kotbah di hari pernikahan Hesti (Hesti menikah pada
tanggal 09 Juli 2011 di Jakarta. Jelas aku tidak bisa ke Jakarta, sebab praktis
aku tidak boleh meninggalkan pertapaan selama sebulan ke depan).
Semua kupastikan telah terkirim. Hatiku lebih santai dan lebih siap memasuki hidup menyepi di
pertapaan.
“Akh…akhirnya aku berhasil mengirimkan refleksi dan
permohonan maafku, tidak mudah tapi berbuah kelegaan, “ “Ya Tuhan, terimakasih.”
Perlombaanku dengan
waktu telah usai, hati telah dibuat kalang kabut karenanya. Kini aku bisa melanjutkan perjalanan dengan tenang, “Semoga aku masih bisa naik angkot ke pertapaan”, aku berdoa
dalam hati
sambil menunggu kedatangan bis
jurusan Magelang - Wonosobo (Sukorejo).
Ini adalah untuk yang
pertama kalinya aku ke Pertapaan Rawaseneng. Aku
tidak mengenal kota ini (Temanggung
maupun Rawaseneng),
maka untuk mengantisipasi
kemungkinan yang tidak direncanakan, aku
berpesan pada bapak Kondektur, “Bapak, saya minta tolong. Saya nanti turun di
terminal lama Temanggung. Saya tolong diberitahu
ya pak”, demikian pintaku kepada bapak kondektur.
Di Temanggung, aku
ganti bis dengan angkutan desa warna merah No. 3. Angkutan inilah yang akan
mengantarku sampai desa Rawaseneng. Untuk
beberapa waktu aku menunggu angkutan desa yang tidak kunjung datang. Tiba-tiba aku merasa sangat
haus, “Uuedan..ngelake”. Tanpa berpikir
lama aku pergi ke toko di seberang jalan itu.
“Ehm…kok
tidak ada softdrink”, aku bingung
memilih-milih minuman di dalam kulkas. Aku ingin beli softdrink tapi tidak ada sebab yang terpajang
hanya Jelly dan Yogurt.
“Aduh..sial nemen. Meh ngombe opo
iki?”,
akhirnya aku membeli Yogurt tiga botol. Ya, lumayan untuk membasahi
tenggorokanku yang kering kerontang.
Akhirnya angkutan merah No. 3 datang. Aku duduk paling depan - kebetulan
kursi depan kosong – dengan harapan bisa melihat situasi perjalanan dengan leluasa. Setelah melewati Kandangan, aku mendengar seorang ibu bertanya kepada
sopir
“Pak,
panjenengan mangke dugi ngRawa?”
“Mugi-mugi mawon nggih bu”
“Tapi
nek penumpange sithik paling namung dugi Cek dam mawon. Dalane sing teng Rawaseneng niku rusak. Rugi kula bu!!”, demikian ia
menjelaskan jalan menuju desa Rawaseneng yang rusak.
Dan benar, dia tidak mengantar kami ke desa Rawaseneng. Penumpang hanya tersisa dua. Akhirnya aku turun di Cekdam (desa terakhir sebelum desa Rawaseneng). Hampir 2 jam aku menunggu
angkutan dari Cekdam ke Rawaseneng, tapi tidak ada. Malah beberapa tukang ojek
datang menawarkan jasanya.
“Mau kemana mas?, tanya salah seorang tukang ojek
“Saya mau ke Pertapaan Rawaseneng mas?”, jawabku
“Naik ojek saja.
Kalau sudah sore begini, angkutan yang ke Rawaseneng
sudah tidak ada.”
“Oh begitu ya pak. Baik terimakasih pak. Saya akan menunggu untuk beberapa
waktu lagi. Semoga masih ada angkutan ke sana.” Detik berganti menit, menit berganti jam, pantatku sudah mulai panas,
tubuh merasa lelah, dan hari beranjak sore.
“Wah..wis jam 15.00 WIB.
Ya sudah, aku naik ojek
saja”.
“Mas, berapa ongkos ojek
ke Pertapaan Rawaseneng?”, tanyaku
“Rp. 10.000, mas”.
Akhirnya aku naik ojek.
Dalam perjalanan aku baru tahu mengapa para sopir tidak mau mengantar penumpang sampai ke desa
Rawaseneng.
“Gila dalane rusak banget. Motor wae ora iso
milih-milih dalan. Meh separo
dalan rusak”.
Tidak lama kemudian, aku sampai di desa Rawaseneng,
bahkan aku diantar tepat di pelataran Pertapaan Rawaseneng.
“Alhamdulillah…akhirnya aku sampai juga di pertapaan”, aku bernafas lega.
Untuk beberapa
waktu, aku hanya berdiri sendiri dan memandang sekeliling pertapaan yang asing
dan sunyi.
No comments:
Post a Comment