Tuesday, August 20, 2013

Awal Perjalanan Rohani


Dok. internet
Aku berdiri dipinggir jalan menunggu datangnya angkutan (Kaliurang – Terban) menuju perempatan Kentungan. Hatiku mulai gelisah. Mengapa gelisah? Sebab aku harus mengirimkan satu tulisan untuk seseorang, Bapa Uskup, via email. Setidaknya kepergianku saat ini bukannya tanpa alasan, bukan tanpa kabar berita, atau dengan sengaja menghilangkan diri dari peradaban. Aku pergi untuk sejenak mengambil jarak dari hiruk pikuk dan rutinitas hidup dalam komunitas dengan menyepi di Pertapaan Rawaseneng.
Aku ingin mengirimkan refleksi perjalananku kepada Bapa Uskup. Refleksi yang mengisahkan dan mengantarku  menyepi di Pertapaan Rawaseneng selama sebulan. Agar refleksi itu bisa terkirim, aku harus mencari WARNET terdekat terlebih dulu. Memang, diam-diam aku telah menyusun rencana yang sedikit tertata agar waktu-waktu yang tersisa bisa digunakan untuk banyak hal. Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku memutuskan berangkat dengan jalan kaki. Sebelum aku naik bis, aku mampir ke warnet dulu.





Aku berangkat membawa satu tas berisi pakaian, jubah, alat mandi, bollpoint dan satu buku kosong. Barang bawaanku tidak banyak. Ku gendong tas hitam satu-satunya kepunyaanku dengan gagah, dan tidak kulupakan topi coklat kesayanganku memayungi kepalaku. Sengaja aku tidak membawa banyak barang, sebab aku tidak tahu apa yang akan dilakukan di sana. Yang jelas aku berangkat membawa diriku seadanya.
Di depan seminari, aku mampir sebentar ke WARNET Square. Aku mengambil nomer bilik 16. Bilik inilah yang harus kutempati. Sebentar kemudian aku telah duduk menyanding layar LCD, lantas mengoperasikan koneksi internet. Aku duduk sebentar menunggu koneksi jaringan internet itu. Tetapi loadingnya tidak kunjung selesai.
Aduh..lama sekali”, gumamku dalam hati. Sesekali aku melihat jam tangan. Kakiku sudah terasa tidak tenang. Bagaimana tidak sebab aku hanya melihat tulisan LOADING di tampilan layar. Cukup lama aku menunggu sampai akhirnya muncul tulisan  “error connection”.
Sialan…”, aku meluapkan kekesalan. Mengapa jaringannya error. Mukaku langsung cemberut. Otakku langsung berpikir-pikir akan rencana yang harus dilakukan. “Menunggu” atau “pindah warnet”? Aku bingung. Akhirnya aku putuskan pindah warnet, Moga-moga aku iso nemu warnet”, gumamku sembari melanjutkan perjalanan.
Setelah aku menunggu di pinggir jalan beberapa menit. Datanglah bis angkel. Dengan terburu-buru aku naik dan langsung mencari tempat duduk. Kebetulan penumpang cukup banyak sehingga terasa penuh. Aku turun di perempatan Kentungan. Mataku langsung jelalatan melihat sekitar berharap ada warnet. Sebentar aku berjalan di sekitar pom bensin Kentungan, tetapi aku tidak menemukannya (#WARNET). Akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan.
“Aduh…bagaimana aku ngirim refleksi ini, dimana ada warnet?”, hatiku gelisah sebab persoalan belum selesai. “Pokoke aku kudu ngirimke refleksi ini, mbuh kepriwe carane. Nek aku weruh warnet neng tengah dalan. Aku arep medun trus ngirimke refleksine. Oh ya, sekalian permohonan maaf nggo Hesti(kanca angkatanku pas sekolah neng van lith) sing meh mantenan, yen aku ora iso teko”, tegasku dalam hati.
Perjalanan dari Perempatan Kentungan ke Jombor tidak lama, kurang lebih 15 menit. Setibanya di Jombor, aku kembali bergerilya mencari warnet bahkan aku sempat bertanya pada tukang ojek yang mangkal di sana.
“Pak, maaf saya mau bertanya. Apakah di sekitar terminal Jombol ini ada warnet?”, tanyaku padanya.
“Wah tidak ada mas. Warnetnya jauh dari terminal”. Dia menjawab dan menjelaskan lokasi warnet yang ia maksudkan. Setelah aku mendengar penjelasannya, aku menjadi putus asa. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan saja, “Siapa tahu di tengah perjalanan, aku melihat warnet?”.
Aku naik bis dari Terminal Jombor menuju Magelang. Aku duduk di kursi paling depan di samping dua orang ibu yang bertubuh gemuk.
Asem….kecepit...kecepit...wes awake cilik digencet wong gendhut-gendhut maning. Nasib..nasib..”, gumamku.

Akhirnya aku menemukanmu
Sesampai aku di terminal Magelang. Aku mencari bis jurusan Sukorejo. Aku duduk di kursi paling belakang dekat pintu. Aku berharap bisa melihat warnet di sepanjang perjalananku. Kali ini tepatlah rencanaku, aku menemukan warnet Cafe-net antara Magelang-Secang.
Akh warneeeeeet!!!!”, Dengan sigap aku meminta bapak kondektur menghentikan bisnya, dan berhenti pas di perempatan saat lampu rambu lalu lintas menunjuk warna merah.
Busyeeeet…warnètné kebak bocah SMP, ruame tenan”.
Kamar berapa yang kosong?”, tanyaku pada penjaga Café-net.
“No. 16 lantai atas.
“Aseeem..ik. ruangane peteng, ramai tur ambune pesingè nemen”, umpatku dalam hati sembari mencari bilik no. 16. Setelah menemukan bilik yang dimaksud, aku langsung login menggunakan Mozilla. Kutunggu dan kutunggu tetapi website yang kutuju tidak kunjung terbuka.
“Ayooo…cepat!! Cepat!!. Mengapa loadingnya lama sekali!?!”. Kegelisahan itu datang lagi. Aku seolah berkejar-kejaran dengan waktu yang terus melaju. Waktuku tidak banyak. Aku menyelesaikan dengan segera lalu melanjutkan perjalanan menuju Rawaseneng, selagi hari masih siang. Maklum angkutan dari Temanggung ke Rawaseneng hanya siang hari, paling sore jam 15.00. Kalau melewati jam itu, mlaku dechh.
Cukup lama aku menunggu loading Mozilla, tanpa hasil. Aku membuka Opera, dan alhamdulillah, pelan-pelan mulai terbuka. Akhirnya, aku bisa mengirimkan email untuk Bapa Uskup sekaligus permohonan maaf atas pembatalan tugas kotbah di hari pernikahan Hesti (Hesti menikah pada tanggal 09 Juli 2011 di Jakarta. Jelas aku tidak bisa ke Jakarta, sebab praktis aku tidak boleh meninggalkan pertapaan selama sebulan ke depan).
Semua kupastikan telah terkirim. Hatiku lebih santai dan lebih siap memasuki hidup menyepi di pertapaan.
Akh…akhirnya aku berhasil mengirimkan refleksi dan permohonan maafku, tidak mudah tapi berbuah kelegaan, “ “Ya Tuhan, terimakasih.
Perlombaanku dengan waktu telah usai, hati telah dibuat kalang kabut karenanya. Kini aku bisa melanjutkan perjalanan dengan tenang, “Semoga aku masih bisa naik angkot ke pertapaan”, aku berdoa dalam hati sambil menunggu kedatangan bis jurusan Magelang -  Wonosobo (Sukorejo).
Ini adalah untuk yang pertama kalinya aku ke Pertapaan Rawaseneng. Aku tidak mengenal kota ini (Temanggung maupun Rawaseneng), maka untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak direncanakan, aku berpesan pada bapak Kondektur, “Bapak, saya minta tolong. Saya nanti turun di terminal lama Temanggung. Saya tolong diberitahu ya pak”, demikian pintaku kepada bapak kondektur.
Di Temanggung, aku ganti bis dengan angkutan desa warna merah No. 3. Angkutan inilah yang akan mengantarku sampai desa Rawaseneng. Untuk beberapa waktu aku menunggu angkutan desa yang tidak kunjung datang. Tiba-tiba aku merasa sangat haus, Uuedan..ngelake”. Tanpa berpikir lama aku pergi ke toko di seberang jalan itu.
Ehm…kok tidak ada softdrink”, aku bingung memilih-milih minuman di dalam kulkas. Aku ingin beli softdrink tapi tidak ada sebab yang terpajang hanya Jelly dan Yogurt.
Aduh..sial nemen. Meh ngombe opo iki?”, akhirnya aku membeli Yogurt tiga botol. Ya, lumayan untuk membasahi tenggorokanku yang kering kerontang.
Akhirnya angkutan merah No. 3 datang. Aku duduk paling depan - kebetulan kursi depan kosong – dengan harapan bisa melihat situasi perjalanan dengan leluasa. Setelah melewati Kandangan, aku mendengar seorang ibu bertanya kepada sopir
“Pak, panjenengan mangke dugi ngRawa?”
Mugi-mugi mawon nggih bu”
“Tapi nek penumpange sithik paling namung dugi Cek dam mawon. Dalane sing teng Rawaseneng niku rusak. Rugi kula bu!!”, demikian ia menjelaskan jalan menuju desa Rawaseneng yang rusak.
Dan benar, dia tidak mengantar kami ke desa Rawaseneng. Penumpang hanya tersisa dua. Akhirnya aku turun di Cekdam (desa terakhir sebelum desa Rawaseneng). Hampir 2 jam aku menunggu angkutan dari Cekdam ke Rawaseneng, tapi tidak ada. Malah beberapa tukang ojek datang menawarkan jasanya.
Mau kemana mas?, tanya salah seorang tukang ojek
Saya mau ke Pertapaan Rawaseneng mas?”, jawabku
Naik ojek saja. Kalau sudah sore begini, angkutan yang ke Rawaseneng sudah tidak ada.
Oh begitu ya pak. Baik terimakasih pak. Saya akan menunggu untuk beberapa waktu lagi. Semoga masih ada angkutan ke sana.” Detik berganti menit, menit berganti jam, pantatku sudah mulai panas, tubuh merasa lelah, dan hari beranjak sore.
Wah..wis jam 15.00 WIB. Ya sudah, aku naik ojek saja”.
Mas, berapa ongkos ojek ke Pertapaan Rawaseneng?”, tanyaku
“Rp. 10.000, mas”.
Akhirnya aku naik ojek. Dalam perjalanan aku baru tahu mengapa para sopir tidak mau mengantar penumpang sampai ke desa Rawaseneng.
Gila dalane rusak banget. Motor wae ora iso milih-milih dalan. Meh separo dalan rusak. 
 Tidak lama kemudian, aku sampai di desa Rawaseneng, bahkan aku diantar tepat di pelataran Pertapaan Rawaseneng.
Alhamdulillah…akhirnya aku sampai juga di pertapaan”, aku bernafas lega.
Untuk beberapa waktu, aku hanya berdiri sendiri dan memandang sekeliling pertapaan yang asing dan sunyi.

No comments:

Post a Comment