Monday, August 12, 2013

(Se)Kantong Kasih Untukmu, Saudaraku

Aku lebih suka mensyukuri apa yang bisa aku lakukan, 
daripada meratapi apa yang tidak bisa aku lakukan 
(Lena Maria)


 Gentar rasanya berhadapan dengan sebuah kenyataan yang mengerikan, terlebih bersangkut paut dengan hidup dan mati. Abu, hujan pasir, dan lahar dingin Merapi membuat gentar semua yang berada di sekitarnya.
- Sejak tanggal 5 November 2010, Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan menjadi tempat pengungsian korban Merapi lebih dari 900-an orang. Mereka  (pengungsi) datang dari berbagai daerah di sekitar Pakem (lereng Merapi). Efek letusan yang dahsyat membuat orang-orang harus mengungsi. Apalagi ditambah informasi jangkauan radius bahaya Merapi diperluas dari 15 km menjadi 20 km dari puncak Merapi. Sejak saat itulah, Seminari menjadi Posko Pengungsi. Para romo, frater, relawan bahu membahu melayani para pengungsi. Lantas pada tanggal 25 November 2010 posko Merapi Happy ditutup. Para pengungsi kembali ke tempat mereka masing-masing untuk memulai hidup yang baru -.
Ada banyak kisah di balik peristiwa Merapi ini. Ada kisah sedih, kehilangan, kecewa, bingung, tanpa pengharapan, dan kosong…… Semua kisah itu terbalut dalam satu bingkai “bencana”. Dan inilah salah satu kisah yang diambil dari bingkai “bencana” itu, kisah yang terangkai dari serentetan pengalaman bersama para pengungsi, kisah yang tersemat di balik tebalnya debu-debu Merapi.
Pada suatu petang, di tengah meriahnya dinamika anak-anak pengungsi bersama tim trauma healing, seorang gadis remaja, bertanya padaku,
“Loh frater yang ngepel gang dan membuang sampah-sampah itu to, aku kira cleaning service,” tanyanya sembari tersenyum.
“Haha…Betul sekali, itu aku. Wah udah pantes ya jadi cleaning service,” jawabku dengan tertawa kecil.
“Hebat frater, nanti makannya yang banyak frater, biar ngepelnya kuat hehehe,” candanya sedikit mengejek. Dia adalah Vita. Dulu dia menjadi muridku, saat aku berpastoral mengajar di salah satu SMK. Ia anak yang pendiam, tapi pandai. Sebenarnya aku sedikit lupa, sebab lama tidak bertemu, kurang lebih 5 tahun. Ingatanku kembali muncul, saat ia asyik bercerita kenangan belajar di kelas dulu. Ya barulah kuingat dirinya. Masa-masa mengajar yang membahagiakan. Pikirku melayang sembari mengingat kenakalan dan kreatifnya murid-muridku.
Perjumpaan singkat yang lantas menyisakan tanya dan kegelisahan dalam hatiku. Dan aku heran mengapa aku harus mempertanyakan atau gelisah terhadap pekerjaanku saat ini, cleaning service??

Gengsi Gedhe-Gedhe-an
Memang benar, aku bertugas untuk membersihkan lingkungan posko seminari dan pengungsi. Awal ngepel gang rasanya ada pergulatan. “Gengsi rasanya, masa ngepel???” Begitulah hatiku bergumam. Padahal ngepel sudah menjadi pekerjaan biasa di seminari. Tetapi mengapa masih bergulat? Aku bertanya pada diriku sendiri. Berbagai rasionalisasi muncul menguatkan gengsi yang sudah bercokol di hati. Entah dengan alasan sedikit teman-sedikit relawan yang mau membantu, atau yang lainnya. Dalam situasi perasaan seperti itu pekerjaan menjadi terasa berat dan membosankan. Aku merasakan disposisi batin yang tidak pantas. Batinku sendiri memberontak, hati berperang antara ingin melayani sepenuh hati dan gengsi.
“Wah aku egois sekali,” gumamku dalam hati.
“Mengapa aku tidak melakukannya dengan sukacita. Ini adalah bentuk pelayananku pada mereka. Ya benar. Aku…” Pergulatan-pergulatan kecil itu mendidih di tengah pekerjaan yang sedang kulakukan, hingga pada satu perjumpaan tanpa sengaja dengan seorang perempuan tua, dan realitas lingkungan yang tidak sewajarnya, aku berbenah.
Pengalaman gengsi gedhe-gedhean itu berubah manakala aku menjumpai seorang perempuan tua berada di tengah gundukan sampah di belakang seminari. Perempuan itu memakai baju lengan panjang, masker sederhana, dan bertopi. Di sekitarnya lalat beterbangan, bau tidak sedap menusuk hidung.
Betah sekali ibu itu,” gumamku dalam hati. Lain waktu aku melihat sampah-sampah yang berserakan, tong sampah yang isinya hampir tumpah. Hatiku gelisah, hatiku tidak “jenak”. Dan keputusan yang kuambil adalah “aku mengambil kantong plastik hitam besar, dan kuambil sampah-sampah itu, sendiri”. Aku berpindah dari tong satu ke tong yang lain, hingga kedua tanganku tak lagi mampu membawa semua kantong berisi sampah itu. Saat itu, aku merasa lebih nyaman, aku tidak merasa gengsi, dan aku menikmatinya. Entah mengapa, perasaan gengsi itu perlahan luntur. Aku tidak peduli lagi dengan rasa gengsi itu, aku tidak peduli lagi pada kesendirian tugasku, yang jelas aku ingin melakukannya dengan sukacita. Aku bergumam dalam hati, “Inilah yang bisa kuberikan untukmu, saudaraku. Kantong-kantong kasih sederhana untuk menghibur hatimu yang sedih, bimbang karena bencana. Tidak bisa kuberikan yang lain, tapi inilah hati sukacitaku, untukmu”. Akhirnya aku menemukan makna di balik semua peristiwa ini. Seorang Lena Maria, seorang cacat yang tegar hati meneguhkanku, “Aku lebih suka mensyukuri apa yang bisa kulakukan, daripada meratapi apa yang tidak bisa aku lakukan”.

Hati yang mencintai dan tangan yang melayani
Kebahagiaanku dalam melayani lahir dari perjumpaan fisik, dialog batin dan rasa dari sekian peristiwa. Memaknai pelayanan bukan sebagai prestise, pelayanan lahir dari sebuah kasih, cinta yang mendalam. Keterlibatan serta perjuangan untuk kehidupan banyak orang adalah bukti dari cinta. Tangan yang melayani sebagai perpanjangan hati yang mencintai adalah dasar dari sukacita pelayanan itu. Aku menemukan makna dalam pelayananku saat ini. Pelayanan sederhana yang kulakukan dengan sukacita. Maka, untuk apa mempertanyakan kegelisahan diri sendiri yang cenderung membawa pada egoisme, mengapa harus mempersoalkan prestise? Mengapa memikirkan gengsi? Ini adalah pelayanan. Mereka membutuhkan kasih yang tulus, bukan kasih yang pilih-pilih, bukan kasih yang setengah-setengah, kasih yang “lamis”.
Hatiku terbingkai dalam satu kata “Cinta” yang membuatku indah memaknai setiap peristiwa. Pekerjaan tidak lagi berat, tidak lagi membosankan. Semakin hari terlihat olehku tangan-tangan kasih yang bahu membahu membantu. “Fantastik…. teman-temanku, para relawan… kalian semua hebat”. Hatiku gemetar manakala merasakan cinta yang begitu dalam terbagikan. Cinta yang terbagi dari sekian hati serta tangan yang sungguh terlibat melayani.
Inilah kisahku, kisah sederhana yang tertimbun debu-debu Merapi. Kisah yang meneguhkanku sebagai seorang calon imam. Bagaimana menempatkan “hati dan tangan” dalam pelayanan, dalam karya pastoral di tengah umat yang sedang kulayani. Inilah sisi-sisi transformasi yang membawa pengubahan batin dalam diriku. Kian mendalam kurasakan betapa indah dan mengagumkan memaknai setiap peristiwa dari kemurnian kacamata iman. Inilah esensi kemuridan, bagaimana roh Allah sendiri mengaliri setiap hati dan tangan, bukan semata aktivitas manusiawi tanpa makna. Seorang rohaniwan J.H. Arnold mengatakan, “Discipleship is not a question of our own doing; it is a matter of making room for God,  so that He can live in us.
Demikian kisah ini terjadi menjadi sejarah yang tidak akan hilang. Kisah yang mungkin akan diceritakan dari generasi ke generasi sebagai sebuah pewarisan yang menarik untuk dibagikan. Inilah kisah di balik (se)kantong kasih untukmu, saudaraku.

No comments:

Post a Comment