Monday, August 12, 2013

Keterbatasanku sebagai Manusia

Apakah aku mau melibatkan Tuhan dalam hidupku?



Ibuku sakit……
Siang itu aku kembali ke kota tempat kelahiranku, tujuannya bukan pulang ke rumah tetapi Rumah Sakit. Bukannya tanpa alasan, sebab kepulanganku hari itu membawa kegelisahan yang tumbuh di hati. Sepanjang perjalanan aku diam. Pandangan mataku tertuju ke samping kanan bis. Sekilas gambar-gambar di pinggir jalan berlalu dengan cepat tanpa menyisakan kesan apa-apa. Semua datang berganti dengan cepat tanpa sempat kutemukan yang menarik.
dok. internet
Siang itu gerimis. Aku turun dari angkutan dengan disambut hujan gerimis. Agak berlari aku menuju pinggir jalan di bawah pohon yang agak rindang, berhenti sebentar. Tidak lama kemudian, aku berjalan menuju rumah sakit di bawah gerimis yang satu persatu membasahi tubuhku. Tidak kuhiraukan tawaran abang tukang becak yang berlomba menawarkan tumpangannya. Aku terus saja berjalan dan berjalan. Entah apa yang ada dalam pikiranku. Aku ingin terus berjalan di bawah gerimis ini.
Akhirnya tibalah aku di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga tempat di mana ibuku opname. Sebentar kemudian aku menemukan ruangan itu, Ruang Cempaka no. 7. Aku masih ragu apakah di ruangan ini ibuku dirawat. Perlahan aku mengintip melalui kaca pintu dan benar kulihat ibuku di sana. Ibu sedang tidur. Pelan-pelan aku masuk mendekati ibu yang terbaring lemas. Aku duduk di kursi samping ibuku berbaring. 
Ibu terlihat lemas, tubuhnya kurus, wajahnya pucat, dan sesekali kulihat mata ibu yang sebelah kiri bergerak-gerak (seperti kedutan). Belum lama aku duduk di samping ibu, ia terbangun dari tidurnya dan bertanya padaku,
“Tri, tekan kapan, sudah lama?” Suaranya amat lirih.
“Belum lama bu, aku baru saja sampai,” jawabku pelan sembari ku usap-usap tangannya yang terasa kendur.
“Bagaimana keadaan ibu?”
“Ya, seperti ini Tri. Ibu sudah mendingan. Selama satu minggu ibu tidak bisa makan. Karena setiap kali melihat makanan rasanya mau muntah. Mungkin efek dari kondisi fisik ibu yang lelah, tapi tidak ibu perhatikan.” Ibu berusaha bercerita tentang sakitnya dengan pelan.
“Lalu sekarang ibu sudah makan?” tanyaku.
“Belum. Sekarang pun ibu belum bisa makan seperti biasanya. Ibu masih merasa mual kalau memakan sesuatu. Ibu masih dibantu dengan infus.”
“Ibu harus makan, biar cepat sembuh. Ibu harus memaksa diri untuk makan, ya,” lanjutku berusaha menyemangati ibu agar mau makan. Tetapi ibu tidak mau. Aku ambil irisan ayam goreng yang ada di meja. “Ibu harus makan!” kataku sedikit memaksa. Akhirnya ibu makan sedikit.
Uwis…cukup, perut ibu tidak kuat. Rasanya sakit. Ibu tidak mau makan lagi.” Ibu memberontak menghentikan makannya.

Pengalaman sakit,  pengalaman tidak berdaya
Siapapun pasti pernah mengalami sakit. Memang, penyakit tidak memandang latar belakang seseorang entah kaya atau miskin, tua atau muda, semuanya bisa sakit. Seorang yang sangat kaya dengan segudang harta, sederet mobil, serta berkilo-kilo emas, semua itu tidak menghindarkan dirinya dari sakit. Demikian pula seorang miskin, tidak punya apa-apa, bahkan uang untuk beli makanan saja tidak ada, merekapun mengalami sakit. Demikian penyakit ini dapat menimpa siapapun. Seseorang yang bekerja terlalu keras, tanpa memperhatikan keadaan tubuhnya dengan baik, ia bisa sakit. Seseorang yang terkena angin malam, bisa sakit. Penyakit dapat menimpa siapapun, tanpa memandang kelas, tanpa memandang RAS.
Bagiku pengalaman sakit adalah pengalaman ketidakberdayaan (keterbatasan). Pengalaman keterbatasan sebagai manusia. Orang-orang terkadang menafsirkan ini sebagai suatu teguran dari Tuhan, “Mungkin Tuhan sedang menegur kita”.
Setidaknya pengalaman sakit mengingatkanku sebagai manusia yang rapuh. Apalagi berhadapan dengan berbagai tekanan, kesulitan hidup, tuntutan kerja, mimpi diri dan lain sebagainya. Akan tetapi aku terkadang merasa heran. Ada seseorang yang begitu mengandalkan kekuatan dirinya, tanpa melibatkan Tuhan. Padahal kalau dipikir-pikir, dipertimbangkan dengan akal sehat. Apa sich yang tidak kita terima dari Tuhan. Segala sesuatu yang kita terima dan miliki berasal dariNya. Kita bernafas karena ada udara yang kita hirup, itu pemberian siapa? Kita bekerja ini dan itu karena memiliki tubuh yang sehat, itu pemberian siapa? Tuhan adalah jawabnya.
Tetapi kita terkadang menjadi sombong. Manusia menjadi takabur dengan gengsi dan kemampuan diri yang membuatnya lupa bahwa segala sesuatu diberi oleh Tuhan. Dan tidak jarang kita lupa melibatkan Tuhan dalam kehidupan kita.
Pengalaman sakit ternyata melahirkan kesadaran baru bahwa sehat itu berharga, sehat itu mahal. Tetapi apakah untuk menemukan kesadaran itu, kita harus mengalami sakit terlebih dahulu? Tentu tidak!!!

No comments:

Post a Comment