Ibuku sakit……
Siang
itu aku kembali ke kota tempat kelahiranku, tujuannya bukan pulang ke rumah
tetapi Rumah Sakit. Bukannya tanpa alasan, sebab kepulanganku hari itu membawa
kegelisahan yang tumbuh di hati. Sepanjang perjalanan aku diam. Pandangan
mataku tertuju ke samping kanan bis. Sekilas gambar-gambar di pinggir jalan
berlalu dengan cepat tanpa menyisakan kesan apa-apa. Semua datang berganti
dengan cepat tanpa sempat kutemukan yang menarik.
dok. internet |
Siang itu gerimis. Aku
turun dari angkutan dengan disambut hujan gerimis. Agak berlari aku menuju
pinggir jalan di bawah pohon yang agak rindang, berhenti sebentar. Tidak lama
kemudian, aku berjalan menuju rumah sakit di bawah gerimis yang satu persatu
membasahi tubuhku. Tidak kuhiraukan tawaran abang tukang becak yang berlomba
menawarkan tumpangannya. Aku terus saja berjalan dan berjalan. Entah apa yang
ada dalam pikiranku. Aku ingin terus berjalan di bawah gerimis ini.
Akhirnya tibalah aku di
Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga tempat di mana ibuku opname. Sebentar kemudian aku menemukan ruangan itu, Ruang Cempaka
no. 7. Aku masih ragu apakah di ruangan ini ibuku dirawat. Perlahan aku
mengintip melalui kaca pintu dan benar kulihat ibuku di sana. Ibu sedang tidur.
Pelan-pelan aku masuk mendekati ibu yang terbaring lemas. Aku duduk di kursi
samping ibuku berbaring.
Ibu terlihat lemas,
tubuhnya kurus, wajahnya pucat, dan sesekali kulihat mata ibu yang sebelah kiri
bergerak-gerak (seperti kedutan).
Belum lama aku duduk di samping ibu, ia terbangun dari tidurnya dan bertanya
padaku,
“Tri, tekan kapan, sudah lama?” Suaranya amat lirih.
“Belum lama bu, aku
baru saja sampai,” jawabku pelan sembari ku usap-usap tangannya yang terasa
kendur.
“Bagaimana keadaan
ibu?”
“Ya, seperti ini Tri.
Ibu sudah mendingan. Selama satu
minggu ibu tidak bisa makan. Karena setiap kali melihat makanan rasanya mau
muntah. Mungkin efek dari kondisi fisik ibu yang lelah, tapi tidak ibu
perhatikan.” Ibu berusaha bercerita tentang sakitnya dengan pelan.
“Lalu sekarang ibu
sudah makan?” tanyaku.
“Belum. Sekarang pun
ibu belum bisa makan seperti biasanya. Ibu masih merasa mual kalau memakan
sesuatu. Ibu masih dibantu dengan infus.”
“Ibu harus makan, biar
cepat sembuh. Ibu harus memaksa diri untuk makan, ya,” lanjutku berusaha
menyemangati ibu agar mau makan. Tetapi ibu tidak mau. Aku ambil irisan ayam
goreng yang ada di meja. “Ibu harus makan!” kataku sedikit memaksa. Akhirnya
ibu makan sedikit.
“Uwis…cukup, perut ibu tidak kuat. Rasanya sakit. Ibu tidak mau
makan lagi.” Ibu memberontak menghentikan makannya.
Pengalaman sakit, pengalaman tidak berdaya
Siapapun
pasti pernah mengalami sakit. Memang, penyakit tidak memandang latar belakang
seseorang entah kaya atau miskin, tua atau muda, semuanya bisa sakit. Seorang
yang sangat kaya dengan segudang harta, sederet mobil, serta berkilo-kilo emas,
semua itu tidak menghindarkan dirinya dari sakit. Demikian pula seorang miskin,
tidak punya apa-apa, bahkan uang untuk beli makanan saja tidak ada, merekapun
mengalami sakit. Demikian penyakit ini dapat menimpa siapapun. Seseorang yang
bekerja terlalu keras, tanpa memperhatikan keadaan tubuhnya dengan baik, ia
bisa sakit. Seseorang yang terkena angin malam, bisa sakit. Penyakit dapat
menimpa siapapun, tanpa memandang kelas, tanpa memandang RAS.
Bagiku pengalaman sakit
adalah pengalaman ketidakberdayaan (keterbatasan). Pengalaman keterbatasan
sebagai manusia. Orang-orang terkadang menafsirkan ini sebagai suatu teguran
dari Tuhan, “Mungkin Tuhan sedang menegur kita”.
Setidaknya pengalaman
sakit mengingatkanku sebagai manusia yang rapuh. Apalagi berhadapan dengan
berbagai tekanan, kesulitan hidup, tuntutan kerja, mimpi diri dan lain
sebagainya. Akan tetapi aku terkadang merasa heran. Ada seseorang yang begitu
mengandalkan kekuatan dirinya, tanpa melibatkan Tuhan. Padahal kalau dipikir-pikir,
dipertimbangkan dengan akal sehat. Apa sich
yang tidak kita terima dari Tuhan. Segala sesuatu yang kita terima dan miliki
berasal dariNya. Kita bernafas karena ada udara yang kita hirup, itu pemberian
siapa? Kita bekerja ini dan itu karena memiliki tubuh yang sehat, itu pemberian
siapa? Tuhan adalah jawabnya.
Tetapi kita terkadang
menjadi sombong. Manusia menjadi takabur
dengan gengsi dan kemampuan diri yang membuatnya lupa bahwa segala sesuatu
diberi oleh Tuhan. Dan tidak jarang kita lupa melibatkan Tuhan dalam kehidupan
kita.
Pengalaman sakit
ternyata melahirkan kesadaran baru bahwa sehat itu berharga, sehat itu mahal.
Tetapi apakah untuk menemukan kesadaran itu, kita harus mengalami sakit
terlebih dahulu? Tentu tidak!!!
No comments:
Post a Comment