Tuesday, August 20, 2013

Apa itu OCSO?


         Seolah-olah ada sesuatu yang menggerakkanku untuk membaca tulisan-tulisan Rm. Pius Budiwijaya, OCSO. Padahal aku tidak pernah tertarik sebelumnya. Ketika mulai membaca bukunya, aku cukup terkesan dengan isi tulisannya, sederhana tapi mendalam. Salah satu buku yang kubaca berjudul “Gumolonging Ati”. Meski berbahasa jawa, tetapi aku cukup mengerti apa yang dimaksud beliau dalam tulisannya.
Dok. Salamdamai.Internet
Aku datang ke Pertapaan Rawaseneng dengan bekal informasi yang terbatas. Aku tidak tahu tidak mengenal baik Pertapaan Rawaseneng ini. Yang kutahu, tempat ini bernama OCSO. Apa itu OCSO, aku kurang mengenal secara mendalam. Yang bisa kupastikan bahwa ada seorang teman angkatanku (KPA Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan) masuk ke pertapaan ini, “Denger-denger dia sudah menjadi pertapa/trappist.”
Ketidaktahuan itu mengantarku pada sebuah pencarian awal. Apa itu OCSO? Sejenak aku membuka-buka buku yang tersedia di atas meja kamarku di pertapaan ini. Buku yang berjudul “Berziarah Setengah Abad: Kumpulan Catatan tentang Pertapaan Rawaseneng 1953-2003”, yang ditulis oleh Romo Frans Harjawiyata, OCSO. Buku yang relatif tebal dengan kisah sejarah OCSO yang panjang. Karena ingin tahu, maka pelan-pelan kubaca buku itu selembar demi selembar.



                             OCSO, Apa itu?
OCSO merupakan kependekkan dari Ordo Cisterciensis Strictioris (Ketat). Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Ordo Cisterciensis Observansi Ketat atau lebih dikenal dengan Ordo Trappist. Jika melihat lebih jauh sejarah awal OCSO, kita akan menemukan kata “Cisterciensis”. Kata ini berasal dari kata “Cîteaux ”, yaitu nama sebuah dusun kecil di Negara Prancis yang menjadi terkenal, sebab pada tahun 1098 di situ didirikan biara yang mana dalam perjalanan waktu berkembang menjadi biara induk bagi biara-biara lain yang dikenal sebagai biara-biara Ordo Cisterciensis.
Dalam perkembangan sejarah, biara ini mengalami pasang surut termasuk Biara La Trappe (di Prancis). Abas yang memimpin komunitas saat itu adalah Dom de Rancé (1664-1700). Dalam kepemimpinannya, biara mengalami pembaruan yang diikuti oleh biara-biara Cisterciensis lain, terutama di Prancis. Biara-biara itu lantas disebut biara-biara “Trappist”.
Saat Revolusi Prancis (abad 18) meletus, banyak biara dibubarkan. Syukurlah ada beberapa anggota Trappist yang selamat. Di pengungsian mereka mendirikan lagi biara-biara Trappist (abad 19). Pada tahun 1982 biara-biara Cisterciensis yang mengikuti La Trappe membentuk ordo mandiri, Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae dan dikenal Ordo Trappist. Sejak saat itulah ada dua ordo Cisterciensis, S.O. Cist (Sacer Ordo Cisterciensis) dan OCSO, yang sama-sama memandang para pendiri Biara Cîteaux sebagai leluhurnya.
Para pendiri Cîteaux sebenarnya merupakan suatu kelompok anggota biara Molesme, yang bersama dengan abasnya, St. Robertus, ingin menjalani hidup monastik (= hidup kerahiban) yang menghidupi kaul mereka, yaitu menjalani tata kehidupan monastik menurut Peraturan Santo Benediktus.

Siapakah Benediktus?
Santo Benediktus adalah seorang italia yang hidup sekitar tahun 480-547. Di masa mudanya ia meninggalkan studi untuk menjadi rahib yang bertapa seorang diri. Dalam perjalanan waktu semakin banyak orang mengikuti cara hidupnya. Jumlah yang kian banyak itu membuat dia menjadi abas atau pemimpin komunitas rahib itu, tepatnya di Monte Cassino, dekat kota Napoli, Italia. Untuk mengatur kehidupan bersama para rahibnya, ia menyusun suatu peraturan yang lantas dijadikan pegangan bagi sebagian besar para rahib Eropa Barat.

Dalam peraturannya St. Benediktus menerapkan tradisi tata kehidupan monastik yang berkembang dari tokoh-tokoh monastik sebelumnya, akhir abad ketiga. Ia tidak hanya mengambil ilham dari para tokoh monastik dari Eropa Barat saja, melainkan juga tokoh-tokoh dari Eropa Timur dan dari pusat-pusat monastik di Timur Tengah, khususnya Mesir dan Asia Kecil. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh St. Benediktus kemudian menjadi “pegangan klasik” bagi para rahib di Gereja Barat.
Inti peraturan St. Benediktus adalah hidup di dalam suatu komunitas di bawah suatu peraturan dan seorang abas. Siapa pun juga yang ingin bergabung harus sungguh-sungguh mencari Allah dan mau bertobat terus-menerus dalam suatu komunitas yang berada di bawah suatu peraturan dan seorang abas. Hidup hariannya terdiri dari rangkaian acara ibadat harian, bacaan rohani dan kerja. Sikap taat, diam diri dan rendah hati adalah sikap dasar seorang rahib. Melalui tata kehidupan semacam itu para rahib mengambil bagian dalam hidup, sengsara dan kebangkitan Yesus Kristus.

Menimba Inspirasi Rohani
Hidup tidak melulu kerja dan kerja. Hidup diseimbangkan dengan doa. Para trappist hidup dengan berdoa dan bekerja sebagai satu kesatuan integral. Mereka tidak terlalu berpusing-pusing memikirkan kehidupan luar, terlibat aktif di tengah umat. Mereka justru menjadi pendoa bagi kita, bagi dunia. Hidup doa dan kerja yang integral menjadi sarana mereka menemukan Tuhan. Doa dan kerja bukan dua hal yang terpisah.
Spritualitas monastik menjadi bekal karya. Tidak sedikit para imam merasa kesulitan atau lupa untuk berdoa. Mengapa? Sibuk berkarya, berpastoral dan lain sebagainya. Padahal mereka adalah rohaniwan/religius, pendoa”. Demikian Romo Abas memberikan sedikit gambaran tentang pentingnya keseimbangan hidup doa dan karya melalui semangat hidup monastik.
Tidak bisa kupungkiri hidup sebagai seorang imam, diosesan atau religius, yang hidup di tengah umat, hidup bersama umat harus memiliki kedisiplinan rohani. Imam sebagai pemimpin rohani memberi keteladanan rohani untuk para umatnya. Jika imam sendiri mengalami kekeringan, bagaimana ia bisa membawa jiwa-jiwa pada keselamatan. Bagaimana imam sebagai gembala menemani domba-dombanya pada Tuhan? 

No comments:

Post a Comment