Seolah-olah ada sesuatu yang menggerakkanku untuk membaca tulisan-tulisan Rm. Pius Budiwijaya, OCSO. Padahal aku tidak pernah tertarik sebelumnya. Ketika mulai membaca bukunya, aku cukup terkesan dengan isi tulisannya, sederhana tapi mendalam. Salah satu buku yang kubaca berjudul “Gumolonging Ati”. Meski berbahasa jawa, tetapi aku cukup mengerti apa yang dimaksud beliau dalam tulisannya.
Dok. Salamdamai.Internet |
Aku datang ke Pertapaan Rawaseneng dengan bekal informasi yang terbatas. Aku tidak tahu tidak mengenal baik Pertapaan Rawaseneng ini. Yang kutahu, tempat ini bernama OCSO. Apa itu OCSO, aku kurang mengenal secara mendalam. Yang bisa kupastikan bahwa ada seorang teman angkatanku (KPA Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan) masuk ke pertapaan ini, “Denger-denger dia sudah menjadi pertapa/trappist.”
Ketidaktahuan itu mengantarku pada sebuah pencarian awal. Apa itu OCSO? Sejenak aku membuka-buka buku yang tersedia di atas meja kamarku di pertapaan ini. Buku yang berjudul “Berziarah Setengah Abad: Kumpulan Catatan tentang Pertapaan Rawaseneng 1953-2003”, yang ditulis oleh Romo Frans Harjawiyata, OCSO. Buku yang relatif tebal dengan kisah sejarah OCSO yang panjang. Karena ingin tahu, maka pelan-pelan kubaca buku itu selembar demi selembar.
OCSO,
Apa itu?
OCSO merupakan kependekkan dari Ordo Cisterciensis Strictioris (Ketat). Dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan dengan Ordo Cisterciensis Observansi Ketat atau lebih
dikenal dengan Ordo Trappist. Jika melihat lebih jauh sejarah awal OCSO, kita
akan menemukan kata “Cisterciensis”. Kata ini berasal dari kata “Cîteaux ”,
yaitu nama sebuah dusun kecil di Negara Prancis yang menjadi terkenal, sebab
pada tahun 1098 di situ didirikan biara yang
mana dalam perjalanan waktu berkembang
menjadi biara induk bagi biara-biara lain yang dikenal sebagai biara-biara Ordo
Cisterciensis.
Dalam perkembangan sejarah, biara ini mengalami
pasang surut termasuk Biara La Trappe (di Prancis). Abas yang memimpin komunitas saat
itu adalah Dom de Rancé (1664-1700). Dalam kepemimpinannya, biara mengalami
pembaruan yang diikuti oleh biara-biara Cisterciensis lain, terutama di
Prancis. Biara-biara itu lantas disebut biara-biara “Trappist”.
Saat Revolusi Prancis (abad 18) meletus, banyak biara
dibubarkan. Syukurlah ada beberapa anggota Trappist yang selamat. Di pengungsian
mereka mendirikan lagi biara-biara Trappist (abad 19). Pada tahun 1982
biara-biara Cisterciensis yang mengikuti La Trappe membentuk ordo mandiri, Ordo
Cisterciensis Strictioris Observantiae dan dikenal Ordo Trappist. Sejak saat
itulah ada dua ordo Cisterciensis, S.O. Cist (Sacer Ordo Cisterciensis) dan
OCSO, yang sama-sama memandang para pendiri Biara Cîteaux sebagai leluhurnya.
Para pendiri Cîteaux sebenarnya merupakan suatu
kelompok anggota biara Molesme, yang bersama dengan abasnya, St. Robertus, ingin
menjalani hidup monastik (= hidup kerahiban) yang menghidupi kaul mereka, yaitu
menjalani tata kehidupan monastik menurut Peraturan Santo Benediktus.
Siapakah Benediktus?
Santo Benediktus adalah seorang italia yang hidup
sekitar tahun 480-547. Di masa mudanya ia meninggalkan studi untuk menjadi
rahib yang bertapa seorang diri. Dalam perjalanan waktu semakin banyak orang
mengikuti cara hidupnya. Jumlah yang kian banyak itu membuat dia menjadi abas
atau pemimpin komunitas rahib itu, tepatnya di Monte Cassino, dekat kota
Napoli, Italia. Untuk mengatur kehidupan bersama para rahibnya, ia menyusun
suatu peraturan yang lantas dijadikan pegangan bagi sebagian besar para rahib
Eropa Barat.
Dalam peraturannya St. Benediktus menerapkan tradisi
tata kehidupan monastik yang berkembang dari tokoh-tokoh monastik sebelumnya,
akhir abad ketiga. Ia tidak hanya mengambil ilham dari para tokoh monastik dari
Eropa Barat saja, melainkan juga tokoh-tokoh dari Eropa Timur dan dari
pusat-pusat monastik di Timur Tengah, khususnya Mesir dan Asia Kecil.
Peraturan-peraturan yang dibuat oleh St. Benediktus kemudian menjadi “pegangan
klasik” bagi para rahib di Gereja Barat.
Inti peraturan St. Benediktus adalah hidup di dalam
suatu komunitas di bawah suatu peraturan dan seorang abas. Siapa pun juga yang
ingin bergabung harus sungguh-sungguh mencari Allah dan mau bertobat
terus-menerus dalam suatu komunitas yang berada di bawah suatu peraturan dan
seorang abas. Hidup hariannya terdiri dari rangkaian acara ibadat harian,
bacaan rohani dan kerja. Sikap taat, diam diri dan rendah hati adalah sikap
dasar seorang rahib. Melalui tata kehidupan semacam itu para rahib mengambil
bagian dalam hidup, sengsara dan kebangkitan Yesus Kristus.
Menimba Inspirasi Rohani
Hidup tidak melulu kerja dan kerja. Hidup
diseimbangkan dengan doa. Para trappist hidup dengan berdoa dan bekerja sebagai
satu kesatuan integral. Mereka tidak terlalu berpusing-pusing memikirkan kehidupan luar, terlibat aktif di
tengah umat. Mereka justru menjadi pendoa bagi kita, bagi dunia. Hidup doa dan
kerja yang integral menjadi sarana mereka menemukan Tuhan. Doa dan kerja bukan
dua hal yang terpisah.
“Spritualitas
monastik menjadi bekal karya. Tidak sedikit para imam merasa kesulitan atau
lupa untuk berdoa. Mengapa? Sibuk
berkarya, berpastoral dan lain sebagainya. Padahal mereka adalah
rohaniwan/religius, pendoa”. Demikian Romo Abas memberikan sedikit gambaran tentang pentingnya
keseimbangan hidup doa dan karya melalui semangat hidup monastik.
Tidak bisa kupungkiri hidup sebagai seorang imam,
diosesan atau religius, yang hidup di tengah umat, hidup bersama umat harus memiliki kedisiplinan
rohani. Imam sebagai pemimpin rohani memberi keteladanan rohani untuk para
umatnya. Jika imam sendiri mengalami kekeringan, bagaimana ia bisa membawa
jiwa-jiwa pada keselamatan. Bagaimana imam sebagai gembala menemani
domba-dombanya pada Tuhan?
No comments:
Post a Comment