Kebekuan
yang ingin kucairkan
Rasanya
lama sekali aku tidak berbagi pergulatan dan perasaan dengan bapak serta ibu.
Selama rentang waktu yang cukup lama, aku bergelut dalam kesendirian.
Kegelisahan yang ada dalam batin kubiarkan bergemuruh, tidak kuredam dan tidak
kubuang. Pertanyaan dan kecemasan batin tersusun rapi dalam kebisuan bibir dan
sikap-sikapku saat berada di rumah. Setiap aku pulang ke rumah, ada perasaan
asing. Heran, aku terasing di rumah sendiri. Mungkin perasaan ini terlalu
berlebihan, tetapi inilah yang kurasakan.
Pada bulan Desember
ini, aku telah menuntaskan segala tugas studi dengan lancar. Kendati proses
yang kulewati harus tertatih. Aku bersyukur kepada Tuhan. Tuhan tetap memberi
kekuatan untuk menuntaskan semuanya dengan baik. Perjalanan panggilan terus
kutapaki meski dibumbui dengan pergulatan-pergulatan kecil. Di tengah perasaan
syukur itu, aku berniat membagikan semua pergulatan dan kegelisahan kepada
mereka, bapak dan ibu. Dan ini telah kurencanakan jauh-jauh hari sebelumnya.
Sampai akhirnya libur
telah tiba.
Di teras rumah kami bercerita
Rumah
kami memiliki teras di bagian samping belakang. Tembok-temboknya dihiasi
beberapa lukisan tokoh pewayangan: Dewaruci, Semar, dan lukisan pemandangan
alam. Di teras inilah aku bercerita dengan bapak dan ibu. Ditemani suara
dedaunan bambu yang tertiup angin, serta semilirnya angin siang itu membuat
hatiku sedikit tenang, tidak kemrungsung.
Aku memang tidak terbiasa bercerita, maka kuurutkan saja seperti ini.

Kedua,
aku ngudarasa mengenai suasana di
dalam keluarga. Beberapa tahun ini, keluarga kami mengalami paceklik - kesulitan hidup. Lebih-lebih
pasca pilkades (tahun 2007) yang berbuntut panjang. Suasana hangat berganti
dingin, suasana akrab perlahan renggang. Sekali lagi ini adalah pengalamanku
yang pertama untuk berbagi unek-unek
dengan bapak dan ibu. Batinku bergetar, tanpa terasa aku bercerita sembari mrebes mili, kendati air mata telah
kutahan sekuat tenaga. Tapi ia tetap lolos bahkan berhasil membasahi wajahku.
Perlahan serentetan kegelisahan runtut keluar dari bibir dan sikapku yang
selama ini diam. Di balik itu ada secercah harapan yang (semoga) memberi
pencerahan dalam hidupku maupun kami sekeluarga.
Bapak dan ibu
menanggapi kegelisahan dan pergulatanku dengan tenang dan terbuka. Dan di teras
rumah inilah awal perubahan hati kami mulai terasa. Hati yang beku perlahan
mencair karena kasih, kehangatan yang pernah hilang kini perlahan kembali,
serta kedamaian yang beberapa waktu tenggelam perlahan muncul.
Bapak menanggapi kegelisahanku
dengan berkata, “Ini adalah ujian dari Tuhan. Bapak belajar memaknai
peristiwa-peristiwa sulit dalam keluarga sebagai ujian dari Tuhan. Justru
melalui peristiwa sulit ini, bapak dan ibu diajari nrima apa wae pemberian Tuhan. Bapak dan ibu juga semakin mikir urip dengan lebih baik. Intinya,
bapak dan ibu tetap bersyukur, sebab Tuhan memberi jalan terang. Tuhan tidak
meninggalkan bapak dan ibu, dan kami masih setia berdoa kepadaNya”.
Aku mendengarkan cerita
bapak dengan seksama, batinku benar-benar gemetar. Apalagi saat bapak
mengatakan, “Memang berat tetapi kami belajar memaknai hidup dengan lebih baik.
Tuhan sedang menguji kami”.
Saat
Tuhan sedang menguji hidup,
Apakah
kita lulus uji ?

Di tengah-tengah
kesulitan hidup itu tidak jarang muncul ungkapan, “Aduh Gusti, kok ya ora rampung-rampung, urip rekasa kaya ngéné”,
“Tuhan mengapa tidak kunjung usai hidup sulit seperti ini?”. Dan, litani kata
mengapa, mengapa, dan mengapa mungkin akan terus kita ucapkan kepada Tuhan.
Kita bisa belajar dari kisah
Ayub yang mengalami cobaan hidup sangat berat. Ayub yang saleh dan jujur, takut
akan Allah dan menjauhi kejahatan dalam hidupnya. Dilihat dari kemapanan
hidupnya, ia termasuk orang yang mapan, orang berkecukupan dengan segala
kekayaan yang ia miliki seperti kambing domba, unta, lembu, keledai betina dan
budak. Kesempurnaan hidupnya semakin lengkap dengan lahirnya tujuh anak
laki-laki dan tiga anak perempuan.
Kesalehan, kejujuran,
kesejahteraan hidupnya menunjukan ia orang yang diberkati Tuhan. Ayub adalah
pribadi yang saleh dan jujur. Pribadi yang setia dan takut akan Allah serta
menjauhi segala kejahatan. Oleh karena itu, ia selalu hidup bahagia. Akan
tetapi gerak iblis sangatlah cerdik. Dalam perbincangan iblis dengan Tuhan, iblis
mengajukan tantangan kepada Tuhan untuk melepaskan segala yang dimiliki oleh
Ayub. Apakah Ayub akan tetap saleh saat ia tidak memiliki apa-apa dalam
hidupnya? Iblis menambahkan, “Niscaya
Ayub akan mengutuki Engkau di hadapanMu” (Ayub 1:8-11). Dan benar, pada
saat segala sesuatu yang “dicintai” Ayub satu per satu hilang dari padanya,
mulai dari keluarga, sahabat, kesehatan, dan kekayaannya, Ayub sungguh
berkabung dengan hidup yang sedang dialaminya. Tidak banyak kata yang terucap.
Ia hanya membisu dalam keterguncangan batinnya yang tidak dapat menerima
kenyataan yang tengah ia alami.

Di
tengah penderitaan, Tuhan pasti datang!!
Di
tengah penderitaan Ayub, Tuhan hadir dengan penuh kasih. Berkat kasih Tuhan
inilah, hati Ayub menjadi lega. Ayub menemukan keyakinan bahwa Tuhan memberikan
jalan terang dalam hidupnya. Ayub menemukan imannya kepada Tuhan justru semakin
mendalam. Berkat iman yang ia miliki, ia mampu menerima berbagai kemungkinan
yang dapat menimpa hidupnya. Iman Ayub terungkap dalam sikap rendah hati dan
kepasrahannya kepada Tuhan, “hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang
Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau (Ayub 42:5).
Kasih Allah yang
menyapa hidupnya yang tengah berada dalam penderitaan mampu memperdalam imannya
kepada Tuhan. Hatinya justru kian peka dan terbuka terhadap segala rancangan
Tuhan sebab Tuhan tetap memberi jalan terang.
Kepekaan dan keterbukaan
terhadap segala rancangan Tuhan, serta keberanian mengambil jarak atas realitas
penderitaan akan mengantar kita pada penemuan makna hidup yang mendalam. Tuhan
pasti berkarya dalam hidup kita, dan pada akhirnya Ia selalu mempunyai rencana
indah untuk hidup kita.
Akhirnya, pertama, penderitaan adalah suatu masa
di mana Tuhan menguji iman kita kepadaNya. Apakah kita benar-benar mampu rendah
hati menerima serta memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Kisah Ayub mampu
menguatkan kita betapa penting berjalan bersama Tuhan, menikmati hidup
bersamaNya. Hal senada diungkapkan Paulus saat ia merefleksikan penderitaannya.
Paulus menggunakan istilah penderitaannya, “duri dalam dagingku”, yaitu iblis
yang menggocoh dirinya (2 Kor 12:7). Namun, Tuhan berbicara kepadanya,
“cukuplah karuniaKu bagimu, sebab dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna”.
Kedua, penderitaan toh ada batasnya. Penderitaan pasti akan berakhir, kendati kita
tidak pernah bisa memastikan waktunya. Tuhan pasti akan datang, Tuhan pasti akan
merangkul, Tuhan pasti akan memeluk kita dengan erat dalam pelukan kasihNya
yang hangat.
Sebagaimana Yesus alami
saat puncak penderitaanNya di kayu salib dan berteriak, “Ya TuhanKu dan
AllahKu, mengapa Kau tinggalkan Aku”. Penderitaan yang Yesus alami –untuk
sesaat- membuatNya jauh dari Tuhan. Namun, Yesus tahu bahwa Ia diutus untuk
melakukan kehendakNya. Inilah yang mendekatkan diriNya dengan Tuhan. Ia
memasrahkan segala nafas hidupNya ke dalam tangan Tuhan, “Ya Tuhan, ke dalam
tanganMu, Kuserahkan nyawaKu”. Penyerahan dan kepasrahan Yesus yang
mengagumkan. Semoga kita bisa menemukan kepasrahan dan keyakinan yang mendalam
kepadaNya.
No comments:
Post a Comment