Monday, August 12, 2013

Terimakasih untuk Natal yang Indah

(Duduk bersama dan berbagi dari hati ke hati)


Kebekuan yang ingin kucairkan
Rasanya lama sekali aku tidak berbagi pergulatan dan perasaan dengan bapak serta ibu. Selama rentang waktu yang cukup lama, aku bergelut dalam kesendirian. Kegelisahan yang ada dalam batin kubiarkan bergemuruh, tidak kuredam dan tidak kubuang. Pertanyaan dan kecemasan batin tersusun rapi dalam kebisuan bibir dan sikap-sikapku saat berada di rumah. Setiap aku pulang ke rumah, ada perasaan asing. Heran, aku terasing di rumah sendiri. Mungkin perasaan ini terlalu berlebihan, tetapi inilah yang kurasakan.
 Pada bulan Desember ini, aku telah menuntaskan segala tugas studi dengan lancar. Kendati proses yang kulewati harus tertatih. Aku bersyukur kepada Tuhan. Tuhan tetap memberi kekuatan untuk menuntaskan semuanya dengan baik. Perjalanan panggilan terus kutapaki meski dibumbui dengan pergulatan-pergulatan kecil. Di tengah perasaan syukur itu, aku berniat membagikan semua pergulatan dan kegelisahan kepada mereka, bapak dan ibu. Dan ini telah kurencanakan jauh-jauh hari sebelumnya.

Sampai akhirnya libur telah tiba.

Di teras rumah kami bercerita
Rumah kami memiliki teras di bagian samping belakang. Tembok-temboknya dihiasi beberapa lukisan tokoh pewayangan: Dewaruci, Semar, dan lukisan pemandangan alam. Di teras inilah aku bercerita dengan bapak dan ibu. Ditemani suara dedaunan bambu yang tertiup angin, serta semilirnya angin siang itu membuat hatiku sedikit tenang, tidak kemrungsung. Aku memang tidak terbiasa bercerita, maka kuurutkan saja seperti ini.
Pertama, aku bercerita tentang perjalanan panggilanku sebagai calon imam. Pengalaman jatuh bangun dan kesetiaan untuk bergelut di dalamnya. Aku bersyukur untuk semua pengalaman itu. Khususnya orang-orang yang hadir, yang mencintai dan mendoakan dengan penuh ketulusan. Melalui pengalaman-pengalaman itu aku diteguhkan.
Kedua, aku ngudarasa mengenai suasana di dalam keluarga. Beberapa tahun ini, keluarga kami mengalami paceklik - kesulitan hidup. Lebih-lebih pasca pilkades (tahun 2007) yang berbuntut panjang. Suasana hangat berganti dingin, suasana akrab perlahan renggang. Sekali lagi ini adalah pengalamanku yang pertama untuk berbagi unek-unek dengan bapak dan ibu. Batinku bergetar, tanpa terasa aku bercerita sembari mrebes mili, kendati air mata telah kutahan sekuat tenaga. Tapi ia tetap lolos bahkan berhasil membasahi wajahku. Perlahan serentetan kegelisahan runtut keluar dari bibir dan sikapku yang selama ini diam. Di balik itu ada secercah harapan yang (semoga) memberi pencerahan dalam hidupku maupun kami sekeluarga. 
Bapak dan ibu menanggapi kegelisahan dan pergulatanku dengan tenang dan terbuka. Dan di teras rumah inilah awal perubahan hati kami mulai terasa. Hati yang beku perlahan mencair karena kasih, kehangatan yang pernah hilang kini perlahan kembali, serta kedamaian yang beberapa waktu tenggelam perlahan muncul.
Bapak menanggapi kegelisahanku dengan berkata, “Ini adalah ujian dari Tuhan. Bapak belajar memaknai peristiwa-peristiwa sulit dalam keluarga sebagai ujian dari Tuhan. Justru melalui peristiwa sulit ini, bapak dan ibu diajari nrima apa wae pemberian Tuhan. Bapak dan ibu juga semakin mikir urip dengan lebih baik. Intinya, bapak dan ibu tetap bersyukur, sebab Tuhan memberi jalan terang. Tuhan tidak meninggalkan bapak dan ibu, dan kami masih setia berdoa kepadaNya”.
Aku mendengarkan cerita bapak dengan seksama, batinku benar-benar gemetar. Apalagi saat bapak mengatakan, “Memang berat tetapi kami belajar memaknai hidup dengan lebih baik. Tuhan sedang menguji kami”.
  
Saat Tuhan sedang menguji hidup,
Apakah kita lulus uji ?
Acap kali kita memberontak setiap kita mendapat kesulitan hidup, kegagalan, atau kesialan-kesialan sederhana yang menjengkelkan kita. Perusahaan yang mengalami bangkrut dengan buntut hutang sekian milyar, usaha dagang yang gagal karena merugi terus-menerus bahkan harus nombok, gaji PNS yang tidak lagi utuh diterima setiap bulannya sementara hutang mencekik setiap harinya, penghasilan tukang becak yang kembang-kempis sementara kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan anak terus merongrong. Lihat juga pengalaman sederhana para remaja dengan hasil studi -nilai yang selalu jelek-, relasi -putus cinta karena selingkuh, tidak punya teman dekat dan lain sebagainya-. Pengalaman itu bisa membuat kita patah semangat bahkan menyalahkan Tuhan. Jelas lagi dalam berita-berita surat kabar, siaran televisi banyak memberitakan orang mati bunuh diri karena stress, remaja gantung diri karena putus cinta -takut dimarahi karena nilainya jelek, orang tua membuang anaknya karena tidak mampu membiayai hidupnya-.
Di tengah-tengah kesulitan hidup itu tidak jarang muncul ungkapan, “Aduh Gusti, kok ya ora rampung-rampung, urip rekasa kaya ngéné”, “Tuhan mengapa tidak kunjung usai hidup sulit seperti ini?”. Dan, litani kata mengapa, mengapa, dan mengapa mungkin akan terus kita ucapkan kepada Tuhan.
Kita bisa belajar dari kisah Ayub yang mengalami cobaan hidup sangat berat. Ayub yang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan dalam hidupnya. Dilihat dari kemapanan hidupnya, ia termasuk orang yang mapan, orang berkecukupan dengan segala kekayaan yang ia miliki seperti kambing domba, unta, lembu, keledai betina dan budak. Kesempurnaan hidupnya semakin lengkap dengan lahirnya tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan.
Kesalehan, kejujuran, kesejahteraan hidupnya menunjukan ia orang yang diberkati Tuhan. Ayub adalah pribadi yang saleh dan jujur. Pribadi yang setia dan takut akan Allah serta menjauhi segala kejahatan. Oleh karena itu, ia selalu hidup bahagia. Akan tetapi gerak iblis sangatlah cerdik. Dalam perbincangan iblis dengan Tuhan, iblis mengajukan tantangan kepada Tuhan untuk melepaskan segala yang dimiliki oleh Ayub. Apakah Ayub akan tetap saleh saat ia tidak memiliki apa-apa dalam hidupnya? Iblis menambahkan, “Niscaya Ayub akan mengutuki Engkau di hadapanMu” (Ayub 1:8-11). Dan benar, pada saat segala sesuatu yang “dicintai” Ayub satu per satu hilang dari padanya, mulai dari keluarga, sahabat, kesehatan, dan kekayaannya, Ayub sungguh berkabung dengan hidup yang sedang dialaminya. Tidak banyak kata yang terucap. Ia hanya membisu dalam keterguncangan batinnya yang tidak dapat menerima kenyataan yang tengah ia alami.
Pengalaman Ayub adalah cermin pengalaman kita, dalam penderitaan. Entah karena penyakit yang mengakibatkan tekanan batin mendalam, kegagalan usaha, kehilangan orang yang tersayang, atau pada masa tertentu kita merasa jauh dengan Tuhan. Menurut bahasa kita, apa yang dialami Ayub adalah ujian. Ayub sedang diuji. Dan persis saat itulah ia dihadapkan pada kenyataan yang sulit, ada keinginan menjadi dekat dengan Tuhan, sekaligus muncul keraguan dan ketakutan terhadapNya, karena Tuhan terasa jauh dan mengancam. Pergumulan ini dialami oleh Ayub manakala penderitaan itu merongrong hidupnya dengan bertubi-tubi.

Di tengah penderitaan, Tuhan pasti datang!!
Di tengah penderitaan Ayub, Tuhan hadir dengan penuh kasih. Berkat kasih Tuhan inilah, hati Ayub menjadi lega. Ayub menemukan keyakinan bahwa Tuhan memberikan jalan terang dalam hidupnya. Ayub menemukan imannya kepada Tuhan justru semakin mendalam. Berkat iman yang ia miliki, ia mampu menerima berbagai kemungkinan yang dapat menimpa hidupnya. Iman Ayub terungkap dalam sikap rendah hati dan kepasrahannya kepada Tuhan, “hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau (Ayub 42:5).
Kasih Allah yang menyapa hidupnya yang tengah berada dalam penderitaan mampu memperdalam imannya kepada Tuhan. Hatinya justru kian peka dan terbuka terhadap segala rancangan Tuhan sebab Tuhan tetap memberi jalan terang.
Kepekaan dan keterbukaan terhadap segala rancangan Tuhan, serta keberanian mengambil jarak atas realitas penderitaan akan mengantar kita pada penemuan makna hidup yang mendalam. Tuhan pasti berkarya dalam hidup kita, dan pada akhirnya Ia selalu mempunyai rencana indah untuk hidup kita.
Akhirnya, pertama, penderitaan adalah suatu masa di mana Tuhan menguji iman kita kepadaNya. Apakah kita benar-benar mampu rendah hati menerima serta memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Kisah Ayub mampu menguatkan kita betapa penting berjalan bersama Tuhan, menikmati hidup bersamaNya. Hal senada diungkapkan Paulus saat ia merefleksikan penderitaannya. Paulus menggunakan istilah penderitaannya, “duri dalam dagingku”, yaitu iblis yang menggocoh dirinya (2 Kor 12:7). Namun, Tuhan berbicara kepadanya, “cukuplah karuniaKu bagimu, sebab dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna”. Kedua, penderitaan toh ada batasnya.  Penderitaan pasti akan berakhir, kendati kita tidak pernah bisa memastikan waktunya. Tuhan pasti akan datang, Tuhan pasti akan merangkul, Tuhan pasti akan memeluk kita dengan erat dalam pelukan kasihNya yang hangat.
Sebagaimana Yesus alami saat puncak penderitaanNya di kayu salib dan berteriak, “Ya TuhanKu dan AllahKu, mengapa Kau tinggalkan Aku”. Penderitaan yang Yesus alami –untuk sesaat- membuatNya jauh dari Tuhan. Namun, Yesus tahu bahwa Ia diutus untuk melakukan kehendakNya. Inilah yang mendekatkan diriNya dengan Tuhan. Ia memasrahkan segala nafas hidupNya ke dalam tangan Tuhan, “Ya Tuhan, ke dalam tanganMu, Kuserahkan nyawaKu”. Penyerahan dan kepasrahan Yesus yang mengagumkan. Semoga kita bisa menemukan kepasrahan dan keyakinan yang mendalam kepadaNya.

No comments:

Post a Comment