Sunday, August 4, 2013

Keluarga dalam Perkembangan Imanku



“Melalui keluarga imanku bertumbuh”
“Apa artinya sebuah taman ketika mimpi yang telah mekar dalam keharuman bunga-bunga tak lagi sebatas lukisan di alam yang tak tertembus? Aku telah menggenggamnya. Tetapi taman-taman ini dan hari-hari masa silamku tak pernah bisa terlepaskan.”
Demikian Dorothea Rosa Herliany mengawali cerpennya yang berjudul “Sebuah Taman Buat Kita”. Pengalaman masa lalu tentang “taman” memberikan arti di hati. Bagaimana saat Resa (tokoh dalam cerita) membayangkan taman, seketika terlintas bangku, bunga, patung, dan dedaunan yang rontok berjatuhan ke kolam. Sebuah keindahan yang ikut menyematkan kepahitan.
Demikian keluarga bagiku. mereka mempengaruhi hidupku. Taman menganalogikan pengalamanku tentang keluarga. Keluarga bukan sekedar menjadi tempat kelahiran eksistensiku di dunia, sebagai buah rahmat Tuhan yang ditugaskan pada bapak dan ibu, tetapi keluarga-lah yang menyiapkanku berperan di dalam dunia dengan segala macam nilai, aturan, kebijaksanaan hidup. Mereka mengisi hari-hariku, membentuk dan menciptakan “taman” indah dalam hidupku. Betul-betul indah.
Aku melihat apa yang ibu alami dengan semua penderitaannya saat mengandung hingga kelahiranku. Tak terlukis betapa keletihan, kesakitan dan mungkin kemarahan telah ibu rasakan dalam mendidik. Semenjak aku masih bayi hingga beranjak dewasa dan tua nantinya, kasih ibu tidak pernah berkurang. Demikian bapak, yang bekerja sebagai pendidik, menyiapkan kami meraih masa depan, aktif di dalam kegiatan kemasyarakatan, dan setia pada iman dan kepercayaannya akan Yesus, “Gusti ora sare”. Keyakinan yang menunjukkan kepasrahannya kepada yang Ilahi, “segala sesuatu yang telah dan akan terjadi adalah rencana Tuhan”. Mereka juga mengenalkan iman kekristenan kepadaku sehingga aku mengenal Yesus yang kini kuimani.

Benih iman sebagai buah keteladanan keluarga
Masih segar dalam ingatanku saat mengikuti ibadat di stasi-stasi. Aku melihat, mendengar serta terlibat dalam pelayanan bapak sebagai seorang prodiakon. Ia berdiri di depan, mewartakan sabda, melayani umat dengan tanpa lelah. Sementara ibu selalu setia berada di sampingnya. Situasi dan kondisi medan pastoral yang sulit tidak menyurutkan pelayanan bapak dan ibu. Jarak yang jauh, jalan yang jelek, motor yang terkadang macet adalah bentuk totalitasnya melayani Tuhan. Semua mereka lakoni.
Aku ingat juga peristiwa natal bersama di gereja. Kami mengikuti natal satu keluarga. Ada satu peristiwa yang masih kuingat. Ibu mengajariku berdoa. Ia mengajariku membuat tanda salib, berdoa Bapa Kami, Salam Maria. Mereka melibatkanku dalam devosi mereka. Melalui proses keterlibatan itu aku menjadi akrab dengan doa-doa itu. Inilah salah satu tanda adanya pewarisan iman di dalam keluarga. Bagaimana orang tua bertanggung jawab atas pendidikan iman anak-anaknya.
Di dalam konteks kekristenan awal, tradisi pewarisan iman telah berlangsung lama. Dalam tradisi Yahudi, ayah sebagai kepala keluarga, wajib mewariskan tradisi iman mereka kepada anak-anaknya. Pewarisan iman terjadi melalui ibadat, pengajaran maupun upacara keagamaan. Orang tua mengenalkan bentuk-bentuk doa serta peribadatan kepada anak-anak serta melibatkan mereka di dalamnya. Apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terjadi di dalam Perayaan Paskah Yahudi. Tradisi yang dibuat, “anak wajib bertanya kepada orang tua (ayah) tentang peribadatan yang sedang dilakukan, apa maksud dan tujuan ibadat itu dibuat, serta sejarah perkembangannya”. Inilah salah satu cara pewarisan iman yang dilakukan orang Yahudi. Demikian orang tuaku memiliki metode dalam mewariskan iman akan Yesus kepadaku.
Pendidikan serta komunikasi di dalam keluarga adalah sarana yang baik untuk mendaratkan kepercayaan, sikap, nilai dan perilaku yang baik. Aku diajari berdoa, membedakan yang baik dan yang buruk, menumbuhkan kasih dan cinta, solidaritas merupakan bentuk komunikasi yang berlangsung sejak kecil hingga saat ini.
Proses belajar dan perkembangan iman anak membutuhkan pengajaran yang benar dari orang tua, membutuhkan keteladanan yang baik sehingga anak mampu menginternalisasikan sikap-sikap beriman yang baik. Meskipun orang tua belum bertindak atau berbicara, anak telah belajar melihat contoh. Anak-anak lebih mudah meniru, imitasi atau identifikasi. Untuk itu, keteladanan punya pengaruh besar terhadap perkembangan iman anak. Tanpa teladan orang tua, anak mudah mengimitasikan orang lain yang menurutnya ideal. Syukur-syukur pribadi yang ditiru baik, kalau tidak?
Selain itu, pola pengajaran dan pendampingan harus berdasarkan cinta kasih, baik orang tua kepada anak maupun sebaliknya. Dengan demikian anak terbiasa hidup dalam kasih dan mempunyai kehendak membagikan kasih itu kepada yang lain. Apabila kesadaran akan kasih itu telah dimiliki, anak dibiasakan untuk setia pada komitmen. Kesetiaan iman yang tangguh yang mencerminkan stabilitas komitmen pribadi berhadapan dengan arus negatif yang berkembang di dalam masyarakat. 
Salah satu contoh misalnya pola pendidikan yang diterapkan oleh orang tuaku, mereka mendidikku dengan disiplin, tegas dan keras. Mereka tidak akan sungkan-sungkan menegur dan memarahi kami jika melihat kami malas-malasan sementara rumah terlihat kotor. Mereka membiasakan kami untuk hidup mandiri. Dalam belajar mereka tidak selalu memerintah atau mengingatkan kami untuk belajar/mengerjakan tugas sekolah. Seingatku bapak baru mengatakan sekali dalam hidupku, “sinau ra sinau, kamu sendiri yang akan menikmati”.
Ada teori yang ditulis Dr. Willeam Sears. Ia mengatakan kesuksesan orang tua dalam mendidik anak setidaknya didasari tiga hal, yaitu, komitmen orang tua di dalam kehidupan yang berpusat kepada Tuhan, komitmen hidup pernikahan yang mantap dan stabil, serta komitmen orang tua sebagai pemimpin rohani bagi keluarga. Orang tua berperan membangun serta menciptakan atmosfer yang sehat bagi pertumbuhan iman anak kepada Tuhan. Orang tua membantu mengarahkan anak-anak mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam praktek kehidupan sehari-hari secara tepat dan benar.
Orang tua memberi pengaruh penting dalam pengenalan dan perkembangan iman anak. Ingat dalam penerimaan baptis, baptis bayi maupun baptis dewasa. Wali baptis beserta orang tua bertanggung jawab penuh atas perkembangan iman anak yang telah dimateraikan menjadi anggota Gereja. Baptis memasukkan anak sebagai anggota Gereja, anak-anak Tuhan, di mana perkembangan iman mereka masih membutuhkan pendampingan.

Iman seperti Biji Sesawi
Dalam surat pastoralnya kepada jemaat di Roma (Rm 10:17), Paulus menjelaskan, “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus”. Dalam keluarga aku mendengar ungkapan, istilah, bentuk doa, macam-macam dosa, Kitab Suci, Gereja, imam, Tuhan dan lain sebagainya. Aku mendengar, mendengar, dan mendengar, sebagaimana pewartaan terjadi dan ditangkap melalui pendengaran. Begitulah pewartaan sampai kepada semua orang.
Iman pun berhubungan dengan pengetahuan. Pengetahuan memperkuat iman agar bisa dipertanggung jawabkan dengan benar. Iman bukanlah keyakinan kosong yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Iman adalah keyakinan yang mengantar kita pada kebenaran sejati, Tuhan sendiri.
Untuk mencapai kebenaran sejati, keluarga menjadi tempat penting sebagai persemaian imanku. Keluarga mengajari berdoa, menggereja, sekolah minggu, agar aku tumbuh dan berbuah melimpah. Demikian iman itu seperti biji sesawi yang bertunas, bertumbuh, berkembang, dan berbuah. Orang tua harus memahami panggilannya sebagai sebuah keluarga, yakni ambil bagian dalam karya penciptaan Allah: mempunyai keturunan dan mencintainya dalam kasih. Selain itu kewajiban utama orang tua adalah membantu agar pribadi (anak) itu sungguh mampu hidup sepenuhnya sebagai manusia. Sebagai keluarga beriman sudah sewajarnya untuk mendidik dengan dasar cinta kasih dan sikap hormat kepada Allah dan orang lain.
Keluarga menjadi awal perjumpaanku dengan Tuhan, awal pengalamanku terhadap apa yang baik dan yang buruk. Keluarga adalah “guru pertama dalam iman”. Keluarga adalah sekolah pertama bagi keutamaan-keutamaan sosial dan iman.  

No comments:

Post a Comment