“Melalui
keluarga imanku bertumbuh”
“Apa
artinya sebuah taman ketika mimpi yang telah mekar dalam keharuman bunga-bunga
tak lagi sebatas lukisan di alam yang tak tertembus? Aku telah menggenggamnya.
Tetapi taman-taman ini dan hari-hari masa silamku tak pernah bisa terlepaskan.”
Demikian Dorothea Rosa
Herliany mengawali cerpennya yang berjudul “Sebuah Taman Buat Kita”. Pengalaman
masa lalu tentang “taman” memberikan arti di hati. Bagaimana saat Resa (tokoh
dalam cerita) membayangkan taman, seketika terlintas bangku, bunga, patung, dan
dedaunan yang rontok berjatuhan ke kolam. Sebuah keindahan yang ikut
menyematkan kepahitan.
Demikian keluarga
bagiku. mereka mempengaruhi hidupku. Taman menganalogikan pengalamanku tentang
keluarga. Keluarga bukan sekedar menjadi tempat kelahiran eksistensiku di dunia,
sebagai buah rahmat Tuhan yang ditugaskan pada bapak dan ibu, tetapi
keluarga-lah yang menyiapkanku berperan di dalam dunia dengan segala macam
nilai, aturan, kebijaksanaan hidup. Mereka mengisi hari-hariku, membentuk dan
menciptakan “taman” indah dalam hidupku. Betul-betul indah.
Aku melihat apa yang ibu alami dengan semua
penderitaannya saat mengandung hingga kelahiranku. Tak terlukis betapa
keletihan, kesakitan dan mungkin kemarahan telah ibu rasakan dalam mendidik.
Semenjak aku masih bayi hingga beranjak dewasa dan tua nantinya, kasih ibu
tidak pernah berkurang. Demikian bapak, yang bekerja sebagai pendidik,
menyiapkan kami meraih masa depan, aktif di dalam kegiatan kemasyarakatan, dan
setia pada iman dan kepercayaannya akan Yesus, “Gusti ora sare”. Keyakinan yang menunjukkan kepasrahannya kepada
yang Ilahi, “segala sesuatu yang telah dan akan terjadi adalah rencana Tuhan”.
Mereka juga mengenalkan iman kekristenan kepadaku sehingga aku mengenal Yesus
yang kini kuimani.
Benih
iman sebagai buah keteladanan keluarga
Masih
segar dalam ingatanku saat mengikuti ibadat di stasi-stasi. Aku melihat,
mendengar serta terlibat dalam pelayanan bapak sebagai seorang prodiakon. Ia
berdiri di depan, mewartakan sabda, melayani umat dengan tanpa lelah. Sementara
ibu selalu setia berada di sampingnya. Situasi dan kondisi medan pastoral yang
sulit tidak menyurutkan pelayanan bapak dan ibu. Jarak yang jauh, jalan yang
jelek, motor yang terkadang macet adalah bentuk totalitasnya melayani Tuhan.
Semua mereka lakoni.
Aku ingat juga
peristiwa natal bersama di gereja. Kami mengikuti natal satu keluarga. Ada satu
peristiwa yang masih kuingat. Ibu mengajariku berdoa. Ia mengajariku membuat tanda
salib, berdoa Bapa Kami, Salam Maria. Mereka melibatkanku dalam devosi mereka.
Melalui proses keterlibatan itu aku menjadi akrab dengan doa-doa itu. Inilah
salah satu tanda adanya pewarisan iman di dalam keluarga. Bagaimana orang tua
bertanggung jawab atas pendidikan iman anak-anaknya.
Di dalam konteks
kekristenan awal, tradisi pewarisan iman telah berlangsung lama. Dalam tradisi
Yahudi, ayah sebagai kepala keluarga, wajib mewariskan tradisi iman mereka
kepada anak-anaknya. Pewarisan iman terjadi melalui ibadat, pengajaran maupun
upacara keagamaan. Orang tua mengenalkan bentuk-bentuk doa serta peribadatan
kepada anak-anak serta melibatkan mereka di dalamnya. Apa yang dilakukan oleh
orang-orang Yahudi terjadi di dalam Perayaan Paskah Yahudi. Tradisi yang
dibuat, “anak wajib bertanya kepada orang tua (ayah) tentang peribadatan yang
sedang dilakukan, apa maksud dan tujuan ibadat itu dibuat, serta sejarah perkembangannya”.
Inilah salah satu cara pewarisan iman yang dilakukan orang Yahudi. Demikian orang
tuaku memiliki metode dalam mewariskan iman akan Yesus kepadaku.
Pendidikan serta
komunikasi di dalam keluarga adalah sarana yang baik untuk mendaratkan kepercayaan,
sikap, nilai dan perilaku yang baik. Aku diajari berdoa, membedakan yang baik
dan yang buruk, menumbuhkan kasih dan cinta, solidaritas merupakan bentuk
komunikasi yang berlangsung sejak kecil hingga saat ini.
Proses belajar dan
perkembangan iman anak membutuhkan pengajaran yang benar dari orang tua,
membutuhkan keteladanan yang baik sehingga anak mampu menginternalisasikan
sikap-sikap beriman yang baik. Meskipun orang tua belum bertindak atau
berbicara, anak telah belajar melihat contoh. Anak-anak lebih mudah meniru,
imitasi atau identifikasi. Untuk itu, keteladanan punya pengaruh besar terhadap
perkembangan iman anak. Tanpa teladan orang tua, anak mudah mengimitasikan
orang lain yang menurutnya ideal. Syukur-syukur pribadi yang ditiru baik, kalau
tidak?
Selain itu, pola
pengajaran dan pendampingan harus berdasarkan cinta kasih, baik orang tua
kepada anak maupun sebaliknya. Dengan demikian anak terbiasa hidup dalam kasih
dan mempunyai kehendak membagikan kasih itu kepada yang lain. Apabila kesadaran
akan kasih itu telah dimiliki, anak dibiasakan untuk setia pada komitmen.
Kesetiaan iman yang tangguh yang mencerminkan stabilitas komitmen pribadi
berhadapan dengan arus negatif yang berkembang di dalam masyarakat.
Salah satu contoh
misalnya pola pendidikan yang diterapkan oleh orang tuaku, mereka mendidikku
dengan disiplin, tegas dan keras. Mereka tidak akan sungkan-sungkan menegur dan
memarahi kami jika melihat kami malas-malasan sementara rumah terlihat kotor.
Mereka membiasakan kami untuk hidup mandiri. Dalam belajar mereka tidak selalu
memerintah atau mengingatkan kami untuk belajar/mengerjakan tugas sekolah.
Seingatku bapak baru mengatakan sekali dalam hidupku, “sinau ra sinau, kamu sendiri yang akan menikmati”.
Ada teori yang ditulis
Dr. Willeam Sears. Ia mengatakan kesuksesan orang tua dalam mendidik anak
setidaknya didasari tiga hal, yaitu, komitmen
orang tua di dalam kehidupan yang berpusat kepada Tuhan, komitmen hidup
pernikahan yang mantap dan stabil, serta komitmen orang tua sebagai pemimpin
rohani bagi keluarga. Orang tua berperan membangun serta menciptakan atmosfer
yang sehat bagi pertumbuhan iman anak kepada Tuhan. Orang tua membantu
mengarahkan anak-anak mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam praktek
kehidupan sehari-hari secara tepat dan benar.
Orang tua memberi
pengaruh penting dalam pengenalan dan perkembangan iman anak. Ingat dalam
penerimaan baptis, baptis bayi maupun baptis dewasa. Wali baptis beserta orang
tua bertanggung jawab penuh atas perkembangan iman anak yang telah dimateraikan
menjadi anggota Gereja. Baptis memasukkan anak sebagai anggota Gereja,
anak-anak Tuhan, di mana perkembangan iman mereka masih membutuhkan
pendampingan.
Iman
seperti Biji Sesawi
Dalam surat pastoralnya
kepada jemaat di Roma (Rm 10:17), Paulus menjelaskan, “Iman timbul dari
pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus”. Dalam keluarga aku mendengar
ungkapan, istilah, bentuk doa, macam-macam dosa, Kitab Suci, Gereja, imam,
Tuhan dan lain sebagainya. Aku mendengar, mendengar, dan mendengar, sebagaimana
pewartaan terjadi dan ditangkap melalui pendengaran. Begitulah pewartaan sampai
kepada semua orang.
Iman pun berhubungan dengan pengetahuan.
Pengetahuan memperkuat iman agar bisa dipertanggung jawabkan dengan benar. Iman
bukanlah keyakinan kosong yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Iman adalah
keyakinan yang mengantar kita pada kebenaran sejati, Tuhan sendiri.
Untuk mencapai
kebenaran sejati, keluarga menjadi tempat penting sebagai persemaian imanku.
Keluarga mengajari berdoa, menggereja, sekolah minggu, agar aku tumbuh dan
berbuah melimpah. Demikian iman itu
seperti biji sesawi yang bertunas, bertumbuh, berkembang, dan berbuah. Orang
tua harus memahami panggilannya sebagai sebuah keluarga, yakni ambil bagian
dalam karya penciptaan Allah: mempunyai keturunan dan mencintainya dalam kasih.
Selain itu kewajiban utama orang tua adalah membantu agar pribadi (anak) itu
sungguh mampu hidup sepenuhnya sebagai manusia. Sebagai keluarga beriman sudah
sewajarnya untuk mendidik dengan dasar cinta kasih dan sikap hormat kepada
Allah dan orang lain.
Keluarga menjadi awal
perjumpaanku dengan Tuhan, awal pengalamanku terhadap apa yang baik dan yang
buruk. Keluarga adalah “guru pertama dalam iman”. Keluarga adalah sekolah
pertama bagi keutamaan-keutamaan sosial dan iman.
No comments:
Post a Comment