Dalam
keheningan malam ini ya Tuhan, aku ingin sejenak berdiam diri bersamaMu.
Sedikit mengendapkan perjalananku sepanjang waktu ini dari pagi hingga malam
yang perlahan merangkak larut. Sebentar kuingat Rabindranath Tagore menuliskan
kata-kata ini sebelum ia berdoa:
Aku mau sendiri
Perkenankanlah
aku duduk sekejap di sini,
Kerja
yang sedang kulakukan
Biarlah
nanti kuselesaikan, Sekarang tiba waktunya
Untuk
duduk bersemadi,
Mata
berpandang mata dengan Dikau
serta
menyanyikan lagu rahmat kehidupan
Dalam
waktu senggang sunyi,
dan
melimpah banyak ini
Aku membatinkan sejenak
tulisan ini, kubiarkan ia menggema lembut di dalam hatiku, perlahan dan
kubiarkan kesadaranku tetap terjaga. Kubuka hatiku lebar-lebar, kubiarkan Dia
sendiri yang datang dan mengajakku berbincang dalam kedamaian hati yang sengaja
telah kusiapkan.
Dalam keheningan malam
ini, aku ingin membagikan kisahku tentang sebuah perjalanan hidup. Perjalanan
yang tidak selalu mulus tapi butuh ketegasan untuk terus menapakinya. Aku
menggunakan kisah ini sebagai caraku berbincang dengan hatimu masing-masing,
sebab aku percaya sebuah kisah adalah jarak terdekat antara manusia dan
kebenaran. Dan aku ingin membagikan kedekatan dan kebenaran itu denganmu.
Kisah itu bermula dari
perjumpaan sederhana antara aku dan dirinya. Aku mengenalnya sebagai seorang
wanita yang dewasa, cantik dan menarik. Saat itu kami bertukar nama, nomor dan
kami menjadi dekat. Dia sering bercerita tentang hari-harinya, kebahagiaan,
bahkan kesedihannya, demikian pula aku. Bahkan terkadang kami bertengkar, entah
karena capek, penat, atau cemburu.
Dan salah satu pihak harus menjelaskan, sejelas-jelasnya.
Sepanjang pertemanan
kami, tanpa sadar akupun menikmatinya. Saat ia getir ia mengirimkan pesan
untukku, “Dalam kehidupan yang kubutuhkan hanyalah cinta dan perhatian. Apakah
tidak ada cukup waktu untuk itu, tidak adakah cinta yang lebih daripada sekedar
bekerja lalu makan dan minum, tidak adakah cinta yang lebih daripada sekedar
hidup bersama? Manusia diciptakan karena cinta. Tanpa cinta manusia tidak bisa
hidup. Cinta mendasari kehidupan kita semua. Cinta menempati posisi teratas
dalam hidup, karena cinta membuat orang hidup bahagia”. Aku merenungkan kata-kata itu, apa
maksudnya?. Dan tak kunjung kutemukan jawabnya.
Pertemanan kami masih
berjalan. Namun pada satu ketika, aku merasa bimbang. Ketika aku harus
mengambil keputusan antara cinta dan pelayanan. Perlahan kami mulai mengambil
jarak, kendati tidak selalu mudah aku melakukannya. Dalam hatiku bergumam, “Aku
harus mengambil keputusan sebelum hatiku atau hatinya terluka semakin dalam”.
Singkatnya, aku
mengakhiri hubungan dekatku dengannya. Aku memilih pelayanan sebagai jalan
hidupku, yaitu menjadi imam. Awalnya terasa sakit. Namun aku bahagia bisa
mengambil keputusan ini dengan hati yang perlahan menjadi damai, sebagaimana
dia bahagia dan damai menerima keputusanku menjadi seorang pelayan. Kutahu
perasaan itu saat ia menuliskan pesan, “Perjuangkan masa depan untuk
kehidupanmu, semua ada di tanganmu bukan orang lain. Tunjukkan pada dunia bahwa
kamu adalah orang yang terbaik dan maksimal mampu mengisi bagiannya dalam
pelayanan untuk Tuhan”.
Kisahku ini sekedar
camilan sederhana di waktu malam. Memang tidak mudah mengambil sebuah
keputusan, apalagi keputusan itu mempengaruhi masa depan. Namun dengan
keberanian untuk terluka, aku yakin bahwa kebahagiaan akan datang. Saudaraku
pernah menuliskan begini, “Pilihan berat tapi sekaligus kemenanganmu, brother! Mungkin sekarang saatnya
membuka lembaran hidup yang baru, terarah ke depan, Step by Step, melangkah dengan MANTAP
!!!”
Memilih
dengan sadar
“Setiap pilihan hidup sepatutnya dijalani, tapi lebih baik
menjalaninya dengan penuh KESADARAN…Just do it!!! God will open your way…..”. Ungkapan ini
mengandung makna yang tidak sederhana. Dasar suatu pilihan adalah kesadaran.
Hidup ditempatkan pada suatu pilihan-pilihan, dan kita diajak untuk memilih
dari sekian pilihan itu.
Dalam konteks
panggilan, kita mengenal panggilan umum dan panggilan khusus. Panggilan khusus
dialamatkan kepada mereka yang menanggapi panggilan Tuhan dengan menjadi
seorang rohaniwan/wati. Panggilan sebagai seorang rohaniwan/wati merupakan satu
tawaran yang diberikan Tuhan dalam hati setiap orang. Siapapun bisa mengalami
panggilan ini, tanpa kecuali. Dan kita bebas dalam menanggapinya. Ia tidak
pernah memaksakan siapapun menjawab tawaranNya. Setiap pribadi diundang pada
kesadaran akan panggilan hidupnya. Dengan harapan kita bisa bertekun dan setia
menghidupi pilihan itu.
Berkembang
berkat perjumpaan
Penghayatan
hidup panggilan terus bergejolak dan bertumbuh manakala mengalami perjumpaan
dengan semakin banyak orang. Perjumpaan-perjumpaan itu memberikan peneguhan, kekuatan
sebagai proses pemurnian panggilan. Meski tidak jarang perjumpaan melahirkan
kegelisahan yang memikat seseorang untuk berefleksi lebih dalam. Disposisi
batin seperti ini biasa kita kenal dengan pengalaman krisis. Pengalaman krisis
bukan peristiwa yang harus dihindari atau ditolak. Pengalaman krisis menjadi
saat mengolah dan mengendapkan diri di hadapan Tuhan. Pengalaman krisis menjadi
kesempatan kita menggali kesungguhan kita dalam menghidupi keputusan.
Pengalaman
krisis bukan peristiwa yang harus dihindari atau ditolak. Pengalaman krisis
menjadi saat mengolah dan mengendapkan diri di hadapan Tuhan.
Pengalaman
krisis menjadi kesempatan kita menggali kesungguhan kita dalam menghidupi
keputusan.
Penghayatan imamat
terus berkembang selaras dengan dinamika perjumpaan umat. Perjumpaan-perjumpaan
itu mewarnai dan membentuk gambaran imamat pribadi, yang ditempatkan dalam
gambaran imamat Kristus yang ideal sekaligus harapan-harapan umat terhadap
pribadi seorang imam. Tidak jarang, ada benturan di dalamnya. Benturan antara
idealisme pribadi tentang imamat dan idealisme umat terhadap imamat seorang
imam. Saat inilah aku mengalami pemurnian-pemurnian yang menjernihkan semangat
imamatku sebagai calon imam dan imam.
Aku sebagai seorang
calon imam terus memurnikannya. Satu pertanyaan yang selalu mengingatkanku, “Untuk
apa atau mengapa menjadi imam?”. Dalam Kitab Imamat aku menemukan panggilan
pada kekudusan adalah keintiman dengan Tuhan, cinta tanpa pamrih terhadap gereja
dan jiwa-jiwa. Panggilan imamat yang tengah kuhidupi merupakan panggilan terhadap
kekudusan itu, sebagaimana mengalir dari sakramen imamat (Im 19:2, PDV 33).
Dalam penghayatan inilah seorang imam, dan aku sebagai calon imam, diangkat
oleh Tuhan untuk menjumpai, mengenal dan mencintai Kristus dalam pelayananNya
dan senantiasa mengusahakan keselarasan dengan diriNya.
Akhirnya, imamat
menjadi suatu proses mencinta. Bagaimana aku terus-menerus mencintai Yesus
Kristus dan berusaha selalu mengidentikkan diri dengan-Nya. Segala sesuatu yang
kuperbuat adalah seperti yang Yesus perbuat. Dengan cara inilah hidup Kristus
sungguh hadir kepada umat sehingga keselamatan dari Allah dialami semua orang.
Inilah gema imamat yang hidup bahwa imamat adalah proses mencinta, dan
pengindetikkan diri pada Yesus Kristus Sang Gembala utama.
Komitmen adalah pintu kesetiaan
Just do it !!!
God will open your way membuka ruang
dan kesempatan yang luas bagi kita dalam mengembangkan diri dalam keputusan
yang kupilih. Apapun yang kuputuskan adalah baik adanya, jika keputusan yang kupilih
sungguh mengarahkan diri pada Tuhan. Tantangannya, Bagaimana komitmen itu
dihidupi dengan penuh kesadaran? Bagaimana setia terhadap keputusan?.
Tentu saja komitmen
bukan terutama pada bagaimana mengadakan, membuat, menciptakan, melainkan
bagaimana menepatinya. Sejauh pengalamanku, tidak mudah kita setia pada janji,
menepati janji, dan tidak gampang kita menepati komitmen yang telah kita buat.
Meski demikian, aku percaya bahwa komitmen mestinya menjadi awal dari kesetiaan
yang siap diperjuangkan. Seseorang yang berani menyatakan komitmen berarti
berani setia terhadap komitmen.
Komitmen yang kita buat
ibarat pintu. Sekali kita melewati pintu itu, kita telah memasuki ruang baru,
yakni kesetiaan. Seseorang yang mengambil keputusan berarti telah menginjak
ranah komitmen tertentu. Misalnya keputusanku dalam memilih pelayanan sebagai
cara hidup. Melalui keputusan itu, aku telah membuat komitmen tertentu.
Komitmen menyangkut
waktu yang lampau dan yang akan datang. Komitmen membingkai gerak hidup
seseorang dalam menjalani keputusan. Dan kesetiaan berhubungan dengan kekinian,
masa kini. Bagaimana komitmen itu teruji dapat dilihat dari kesetiannya dalam
menghidupi keputusan. Apa yang telah dan sedang dibuat adalah wujud kesetiaan
terhadap komitmen hidup. Dan kesetiaan mengajak kita untuk tidak menjadi mandeg terhadap komitmen. Setia berarti
bertekun dengan komitmen, duc in altum
dengan hidup yang kita lakoni.
No comments:
Post a Comment