“Aku…”
“Aku
kangen…”
Mungkin
untuk kesekian kalinya aku mengatakan satu perasaan yang sama. Mungkin pula bercerita
tentang mimpi-mimpi bodoh yang singgah di dalam otak dan hatiku. Mimpi bodoh
yang membuatku sedikit “gila” tentang cinta. Kata orang ke“gila”an karena cinta
adalah suatu kisah yang bodoh untuk dikenang. Nyatanya tidak demikian bagiku.
“Gila” cinta ini adalah mimpi yang sedang ku kejar dan berharap mimpi ini
menjadi nyata.
“Cinta
tidak harus memiliki” adalah obat penenang atau “mantra” bagi sekelompok orang
yang mengalami tragedi dalam kisah cintanya, termasuk diriku. Mau tidak mau aku
harus percaya “mantra” itu. Berkata memang tidak sesulit bertindak. Dengan
ringan bisa kuucapkan, “Kamu bukan milikku. Aku sadar cinta tak harus memiliki…Bullshit”. Sekonyong-konyong hatiku
teriris perih, “Mengapa ini terjadi padaku”, sembari meneteskan air mata –meratapi
sakit di hatiku-.
Memang
tidak selalu mudah menerima dengan rendah hati, “Engkau bukan milikku”. Apalagi
saat cinta tengah menggebu-gebu di dalam hati. Bener ‘ga??!. Inilah yang kurasakan saat cinta itu datang untuk
pertama kali, atau untuk kedua kalinya. Seumur-umur aku baru dua kali jatuh
cinta..he he he. “Cinta adalah mimpi
yang semestinya menjadi milikku. Cinta adalah kepastian yang harus kumiliki.
Cinta adalah perjuangan untuk memiliki dirinya. Cinta itu harus memiliki”,
beginilah paradigma cinta yang tumbuh di dalam pikiranku.
Terkadang
aku merasa aneh, saking cintanya aku
tidak bisa jauh darinya, tidak berhenti memperhatikan dirinya, tidak mandheg menyayanginya, atau mungkin
tidak memberi kebebasan padanya. Jika aku tidak bisa melakukannya hati menjadi
sedih. Saat cinta datang hatiku seperti bergetar, meledak-ledak ingin pecah
rasanya. Apalagi kalau tidak mendengar suaranya, tidak bertemu dirinya. Dalam
situasi ini tak banyak yang bisa kulakukan, yaitu saat tempat menjadi jarak,
saat status menjadi penghalang, saat latar belakang kami tidak bisa bertemu,
dan cita-cita kami tidak lagi sejalan. Inilah penghujung cinta yang tragis.
Cinta yang setengahnya menjadi kenyataan, dan sisanya lenyap bersama datangnya
sebuah keputusan.
Konon
kata banyak orang yang sedang jatuh cinta, “Cinta membuat hidup lebih hidup,
cinta membuat kita bersemangat, cinta mengobarkan gairah, cinta menggerakkan
orang to do the best!”. Aku ingin merasakan
cinta semacam ini. Cinta yang mengobarkan semangat, cinta yang membuat hidup
lebih hidup seperti yang kerap ia katakan padaku, “Tri, tetap semangat. Jangan
lesu. Cinta tak harus memiliki”.
Inilah
kenyataan berbeda yang harus kualami. Semakin aku mengejar cinta, semakin ia
menjauh dariku. Sebaliknya ketika aku diam dan terkadang menghindar, cinta itu
mengejar tanpa henti. Akhirnya cinta adalah perjumpaan dua hati. Di dalam cinta
ada kasih, pengertian, perhatian, tanggung jawab, kesetiaan dan komitmen. Cinta
memang tidak harus memiliki.
(Calon) Imam jatuh
cinta, normal dong!!
Jatuh
cinta adalah sisi lain kehidupan seorang (calon) imam. Walau bagaimanapun
(calon) imam, atau bahkan suster, bruder, adalah manusia normal selayaknya
laki-laki dan perempuan. Manusia normal pada tahap perkembangan tertentu akan mengalami
jatuh cinta. Saat cinta itu datang kita tidak bisa menghindar. Kita tidak bisa
menolak. Dalam kacamata iman pengalaman jatuh cinta adalah rahmat. Rahmat Tuhan
yang harus disyukuri.
Bagi
seorang rohaniwan/wati (imam, suster, bruder, frater) jatuh cinta adalah
pengalaman manusiawi. Dalam masa formatio (pendidikan) seorang rohaniwan/wati
diberi kesempatan untuk mengolah pengalaman jatuh cinta. Mengolah berarti tidak
menolak melainkan keterbukaan untuk menerima, menimbang dalam refleksi, serta
memutuskan sesuatu yang penting untuk dirinya (diskresi). Pengolahan ini bisa bersifat personal maupun
terbimbing. Seorang rohaniwan/wati biasanya mempunyai seorang pembimbing
rohani. Dalam kesempatan bimbingan inilah, pengalaman jatuh cinta diolah. Jika
tidak dengan pembimbing kita minimal bisa berbagi dengan rekan sepanggilan
(rekan imam, suster, bruder, atau frater) yang kita percaya. Yang jelas
pengalaman jatuh cinta bukanlah pengalaman tabu atau perbuatan salah yang harus
dihindari. Jatuh cinta adalah pengalaman rahmat yang harus disyukuri yang
mengajak kita dewasa dalam menghargai, menghormati, dan menyayangi sesama dan
Tuhan.
“Jatuh cinta
adalah pengalaman rahmat yang harus disyukuri yang mengajak kita dewasa dalam
menghargai, menghormati, dan menyayangi sesama dan Tuhan”
Demikian
pengalaman jatuh cinta yang kualami adalah rahmat. Aku bersyukur boleh menerima
cinta dan mengalami cinta. Aku bersyukur boleh mencicipi bagaimana rasanya
jatuh cinta dengan segala suka duka dan pahit getirnya. Jatuh cinta mengajariku
dewasa. Dewasa dalam arti kematangan dalam menerima, mengolah dan mengambil
keputusan sesuai dengan status pribadinya. Rohaniwan/wati yang memutuskan
menjadi pelayan-pelayan Tuhan terutama berkaitan dengan hidup selibat hendaknya
memiliki kedewasaan dalam menerima pengalaman jatuh cinta.
Pertanyaan
yang bisa kita refleksikan, “Untuk apa aku di sini (menjadi rohaniwan/wati)?
Apa yang sedang kulakukan di sini? Apa yang akan kulakukan selanjutnya?”.
Pertanyaan-pertanyaan itu setidaknya menyadarkan kembali eksistensi atau
statusku sebagai seorang (calon) imam. Pertanyaan yang mengajakku untuk
mengolah dan memutuskan pilihan hidup yang akan kujalani selanjutnya. Hidup menawarkan
banyak pilihan. Kita diundang untuk memilih salah satunya. Demikian panggilan
menjadi rohaniwan/wati atau berkeluarga adalah pilihan. Kita harus memilih satu
di antara dua. Kita tidak bisa memilih keduanya. Inilah kedewasaan seorang
(calon) imam yang berani memilih di antara dua pilihan. Masing-masing memiliki
arti, fungsi, tanggung jawab, dan konsekuensinya masing-masing. Tinggal kita
mau memilih yang mana, dan bersetia dengan pilihan itu.
Cinta tak harus
memiliki
Akhirnya
aku menerima “mantra” ini, “Cinta tak harus memiliki”. Kesadaran dan
keterbukaan menerima pengalaman jatuh cinta membuka cakrawala refleksiku
tentang cinta. Cinta yang universal, cinta yang dipersembahkan untuk semakin
banyak orang. Cinta yang tidak harus memiliki (posesif). Cinta seorang rohaniwan/wati adalah cinta universal.
Cinta yang mengalir dari kasih Tuhan kepada manusia. Cinta yang memandang sama
semua manusia. Pengalaman cinta universal ini mengalir dari pengalaman Tuhan
yang lebih dulu mencintai. Karena Tuhan mencintai kita diundang untuk
membagikan cinta itu kepada sesama yang kita layani.
Demikianlah
cinta tak harus memiliki. Yesus sendiri mengajari kita cinta yang tak berbatas.
Yesus mengajari kita cinta yang tak memilih. Yesus mengajari kita cinta yang
mengembangkan. Yesus mengajari kita cinta yang memanusiakan manusia, Yesus
mengajari kita cinta yang sehabis-habisnya melalui hidup, karya, penderitaan,
dan wafatNya di kayu salib. Itu adalah cinta paling nyata dariNya. Cinta yang
“sehabis-habisnya” untuk kita. Bagaimana dengan kita? Maukah kita mencintaiNya
dengan “sehabis-habisnya”?
“Pengalaman
cinta universal ini mengalir dari pengalaman Tuhan yang lebih dulu mencintai
kita”
No comments:
Post a Comment