Monday, August 12, 2013

Saat Cinta Itu Datang



“Aku…”
“Aku kangen…”
Mungkin untuk kesekian kalinya aku mengatakan satu perasaan yang sama. Mungkin pula bercerita tentang mimpi-mimpi bodoh yang singgah di dalam otak dan hatiku. Mimpi bodoh yang membuatku sedikit “gila” tentang cinta. Kata orang ke“gila”an karena cinta adalah suatu kisah yang bodoh untuk dikenang. Nyatanya tidak demikian bagiku. “Gila” cinta ini adalah mimpi yang sedang ku kejar dan berharap mimpi ini menjadi nyata.
“Cinta tidak harus memiliki” adalah obat penenang atau “mantra” bagi sekelompok orang yang mengalami tragedi dalam kisah cintanya, termasuk diriku. Mau tidak mau aku harus percaya “mantra” itu. Berkata memang tidak sesulit bertindak. Dengan ringan bisa kuucapkan, “Kamu bukan milikku. Aku sadar cinta tak harus memiliki…Bullshit”. Sekonyong-konyong hatiku teriris perih, “Mengapa ini terjadi padaku”, sembari meneteskan air mata –meratapi sakit di hatiku-.
Memang tidak selalu mudah menerima dengan rendah hati, “Engkau bukan milikku”. Apalagi saat cinta tengah menggebu-gebu di dalam hati. Bener ‘ga??!. Inilah yang kurasakan saat cinta itu datang untuk pertama kali, atau untuk kedua kalinya. Seumur-umur aku baru dua kali jatuh cinta..he he he. “Cinta adalah mimpi yang semestinya menjadi milikku. Cinta adalah kepastian yang harus kumiliki. Cinta adalah perjuangan untuk memiliki dirinya. Cinta itu harus memiliki”, beginilah paradigma cinta yang tumbuh di dalam pikiranku.
Terkadang aku merasa aneh, saking cintanya aku tidak bisa jauh darinya, tidak berhenti memperhatikan dirinya, tidak mandheg menyayanginya, atau mungkin tidak memberi kebebasan padanya. Jika aku tidak bisa melakukannya hati menjadi sedih. Saat cinta datang hatiku seperti bergetar, meledak-ledak ingin pecah rasanya. Apalagi kalau tidak mendengar suaranya, tidak bertemu dirinya. Dalam situasi ini tak banyak yang bisa kulakukan, yaitu saat tempat menjadi jarak, saat status menjadi penghalang, saat latar belakang kami tidak bisa bertemu, dan cita-cita kami tidak lagi sejalan. Inilah penghujung cinta yang tragis. Cinta yang setengahnya menjadi kenyataan, dan sisanya lenyap bersama datangnya sebuah keputusan.
Konon kata banyak orang yang sedang jatuh cinta, “Cinta membuat hidup lebih hidup, cinta membuat kita bersemangat, cinta mengobarkan gairah, cinta menggerakkan orang to do the best!”. Aku ingin merasakan cinta semacam ini. Cinta yang mengobarkan semangat, cinta yang membuat hidup lebih hidup seperti yang kerap ia katakan padaku, “Tri, tetap semangat. Jangan lesu. Cinta tak harus memiliki”.
Inilah kenyataan berbeda yang harus kualami. Semakin aku mengejar cinta, semakin ia menjauh dariku. Sebaliknya ketika aku diam dan terkadang menghindar, cinta itu mengejar tanpa henti. Akhirnya cinta adalah perjumpaan dua hati. Di dalam cinta ada kasih, pengertian, perhatian, tanggung jawab, kesetiaan dan komitmen. Cinta memang tidak harus memiliki.

(Calon) Imam jatuh cinta, normal dong!!
Jatuh cinta adalah sisi lain kehidupan seorang (calon) imam. Walau bagaimanapun (calon) imam, atau bahkan suster, bruder, adalah manusia normal selayaknya laki-laki dan perempuan. Manusia normal pada tahap perkembangan tertentu akan mengalami jatuh cinta. Saat cinta itu datang kita tidak bisa menghindar. Kita tidak bisa menolak. Dalam kacamata iman pengalaman jatuh cinta adalah rahmat. Rahmat Tuhan yang harus disyukuri.
Bagi seorang rohaniwan/wati (imam, suster, bruder, frater) jatuh cinta adalah pengalaman manusiawi. Dalam masa formatio (pendidikan) seorang rohaniwan/wati diberi kesempatan untuk mengolah pengalaman jatuh cinta. Mengolah berarti tidak menolak melainkan keterbukaan untuk menerima, menimbang dalam refleksi, serta memutuskan sesuatu yang penting untuk dirinya (diskresi). Pengolahan ini bisa bersifat personal maupun terbimbing. Seorang rohaniwan/wati biasanya mempunyai seorang pembimbing rohani. Dalam kesempatan bimbingan inilah, pengalaman jatuh cinta diolah. Jika tidak dengan pembimbing kita minimal bisa berbagi dengan rekan sepanggilan (rekan imam, suster, bruder, atau frater) yang kita percaya. Yang jelas pengalaman jatuh cinta bukanlah pengalaman tabu atau perbuatan salah yang harus dihindari. Jatuh cinta adalah pengalaman rahmat yang harus disyukuri yang mengajak kita dewasa dalam menghargai, menghormati, dan menyayangi sesama dan Tuhan.

“Jatuh cinta adalah pengalaman rahmat yang harus disyukuri yang mengajak kita dewasa dalam menghargai, menghormati, dan menyayangi sesama dan Tuhan”

Demikian pengalaman jatuh cinta yang kualami adalah rahmat. Aku bersyukur boleh menerima cinta dan mengalami cinta. Aku bersyukur boleh mencicipi bagaimana rasanya jatuh cinta dengan segala suka duka dan pahit getirnya. Jatuh cinta mengajariku dewasa. Dewasa dalam arti kematangan dalam menerima, mengolah dan mengambil keputusan sesuai dengan status pribadinya. Rohaniwan/wati yang memutuskan menjadi pelayan-pelayan Tuhan terutama berkaitan dengan hidup selibat hendaknya memiliki kedewasaan dalam menerima pengalaman jatuh cinta.
Pertanyaan yang bisa kita refleksikan, “Untuk apa aku di sini (menjadi rohaniwan/wati)? Apa yang sedang kulakukan di sini? Apa yang akan kulakukan selanjutnya?”. Pertanyaan-pertanyaan itu setidaknya menyadarkan kembali eksistensi atau statusku sebagai seorang (calon) imam. Pertanyaan yang mengajakku untuk mengolah dan memutuskan pilihan hidup yang akan kujalani selanjutnya. Hidup menawarkan banyak pilihan. Kita diundang untuk memilih salah satunya. Demikian panggilan menjadi rohaniwan/wati atau berkeluarga adalah pilihan. Kita harus memilih satu di antara dua. Kita tidak bisa memilih keduanya. Inilah kedewasaan seorang (calon) imam yang berani memilih di antara dua pilihan. Masing-masing memiliki arti, fungsi, tanggung jawab, dan konsekuensinya masing-masing. Tinggal kita mau memilih yang mana, dan bersetia dengan pilihan itu.

Cinta tak harus memiliki
Akhirnya aku menerima “mantra” ini, “Cinta tak harus memiliki”. Kesadaran dan keterbukaan menerima pengalaman jatuh cinta membuka cakrawala refleksiku tentang cinta. Cinta yang universal, cinta yang dipersembahkan untuk semakin banyak orang. Cinta yang tidak harus memiliki (posesif). Cinta seorang rohaniwan/wati adalah cinta universal. Cinta yang mengalir dari kasih Tuhan kepada manusia. Cinta yang memandang sama semua manusia. Pengalaman cinta universal ini mengalir dari pengalaman Tuhan yang lebih dulu mencintai. Karena Tuhan mencintai kita diundang untuk membagikan cinta itu kepada sesama yang kita layani.
Demikianlah cinta tak harus memiliki. Yesus sendiri mengajari kita cinta yang tak berbatas. Yesus mengajari kita cinta yang tak memilih. Yesus mengajari kita cinta yang mengembangkan. Yesus mengajari kita cinta yang memanusiakan manusia, Yesus mengajari kita cinta yang sehabis-habisnya melalui hidup, karya, penderitaan, dan wafatNya di kayu salib. Itu adalah cinta paling nyata dariNya. Cinta yang “sehabis-habisnya” untuk kita. Bagaimana dengan kita? Maukah kita mencintaiNya dengan “sehabis-habisnya”?

“Pengalaman cinta universal ini mengalir dari pengalaman Tuhan yang lebih dulu mencintai kita”

No comments:

Post a Comment