(Tahun Orientasi Pastoral)
Tiba giliranku
dipanggil.
“Fr. Tri Kusuma
menjalani tahun orientasi pastoral di Paroki Tegal”
“Horree….”, sontak
suara tepuk tangan dan sorak sorai memeriahkan suasana kapel St. Paulus pagi
itu. Tetapi tidak bagiku. Saat mendengar pengumuman itu aku merasa kaget.
Mataku melotot, hatiku seperti shock tidak
percaya dengan apa yang baru kudengar.
“Aku tugas pastoral di
Paroki Tegal??” tanda tanya masih terbesit dalam hati sembari kuterima ucapan
selamat dari para romo dan teman-temanku. Kendati hatiku masih diselimut rasa
tidak percaya, sempat terbesit keyakinan dan kepastian untuk tetap menjalankan
perutusan dengan sukacita dan sungguh-sungguh. Ya, mungkin aku butuh waktu
untuk menerima keputusan itu.
“Selamat ya..selamat…”
“Wah di Torsa-kan (Torsa:
Tahun Orientasi Rohani Santo Agustinus) kie, haha…,” ucap seorang frater
meledekku.
Sesudah misa pelantikan
lektor dan akolit serta perutusan tahun orinteasi pastoral itu selesai, suasana
komunitas kami menjadi sangat hangat. Beberapa frater dari Keuskupan Purwokerto
pun kaget dengan tugas perutusanku ini. Setidaknya baru tahun ini ada frater
TOPer praja di Paroki MSC Tegal.
Belum dingin
pembicaraan komunitas seputar perutusan tahun pastoral, tiba-tiba ada seseorang
berbisik kepadaku.
“Bener Tri, kamu tugas
pastoral di Tegal?”
“Iya, betul. Romo
rektor tadi menyebutkannya dengan jelas dan banyak teman yang mendengarnya kok,” aku menjadi sedikit ragu.
“Coba kamu tanyakan
kembali kepada Rm. Parjono, atau kepada Bapa Uskup. Apakah benar kamu tugas
pastoral di Tegal!”
“Oh… begitu,” aku jadi
agak bingung.
“Ketoke kamu tahun pastoral di Paroki St. Petrus Pekalongan.”
“Ha…Pekalongan?”, aku
semakin terkejut setelah mendengar kata Pekalongan. Bagaimana tidak kaget.
Bagiku Pekalongan bukanlah kota yang asing, apalagi orang-orangnya pernah
kujumpai. Dan kakakku pernah menjalani tahun orientasi pastoral di sana.
“Masa sich,” aku
sungguh tidak percaya. Maka dengan semangat empat lima aku menuliskan email kepada
Bapa Uskup dan Rm. Parjono mengenai tempat pastoralku. Keesokan harinya, satu
hari setelah misa perutusan pastoral itu. Aku mendapat jawabannya.
“Fr. Tri, berdasarkan
rapat kuria. Per 15 Juli 2008 s/d 15 Julil 2009, Frater Tri menjalani Tahun
Orientasi Pastoral di Paroki St. Petrus Pekalongan”
“……huft!!” aku menghela
nafas panjang.
“Aku tugas di
Pekalongan.”
Ketakutanku kini
menjadi kenyataan.
“Mengapa aku tugas di sana?”, dalam hati berkata demikian. Terus terang aku sedikit ragu berpastoral di sana. Kakakku pernah tugas pastoral di sana, dan pasti beberapa umat masih mengingat dirinya. Bayang-bayang kakakku untuk sementara menjadi ketakutanku saat aku masuk dan tinggal bersama umat di Pekalongan. Tetapi apa boleh buat. Inilah tugas yang harus kuemban. Aku harus belajar berpastoral di Paroki St. Petrus Pekalongan, dan aku harus menjalankannya dengan baik.
Ite misa est
“Pergilah, kita diutus…..”. Inilah yang
mengingatkanku sebagai seorang pribadi yang dipanggil olehNya dan harus siap
untuk diutus olehNya. Kemanapun aku diutus, aku harus pergi. Rasanya semangat
“siap sedia” dan kerendahan hati harus menjadi keutamaan yang diperjuangkan.
Apalagi hidup sebagai seorang pelayan Tuhan yang hidup dalam suatu komunitas
tertentu.
Keutamaan inilah yang
hendak kuperjuangkan. Aku belajar menerima dan melaksanakan perutusan itu dengan
baik. Kendati perutusan itu tidak selalu berkenan di hati.
Apa yang harus
kupersiapkan dan apa yang harus kulakukan di dalam menjalankan perutusan itu?
Hal paling dasar yang harus kupegang adalah bagaimana hidupku meneladan hidup
Kristus sendiri. Bagaimana menjadikan Dia sumber dan tujuan dari hidup dan
karyaku di medan karya. Kesediaan untuk menjawab panggilanNya, tinggal
bersamaNya, dan menjadi akrab denganNya harus disertai dengan kesiapsediaan
menjalankan perutusan dariNya dan mewartakan diriNya ke seluruh dunia.
Semangat ini terangkum
dalam motto angkatan kami, “Pray, Live, and love the Gospel”. Motto yang selalu
mengingatkan dan menyemangati kami dalam menjalankan perutusan kami di tempat
medan karya. Tugas dan tanggung jawab kami yang paling utama adalah untuk
berdoa dari Sabda, menghidupi Sabda serta mencintai SabdaNya. Yesus, yang hadir
dalam Sabda-lah yang harus kami
wartakan bukan kami sendiri.
Semoga tidak sekedar
menjadi slogan manis yang menyisakan kenangan tanpa makna, namun dapat kuhidupi
dalam hidup sehari-hari. Semoga Tuhan membantuku.
No comments:
Post a Comment