Monday, August 12, 2013

Belajar Menerima Keputusan




Tidak setiap keputusan menarik untuk dibicarakan. Tidak setiap keputusan membuat hati kita senang. Tidak setiap keputusan selalu mudah kita terima. Reaksi manusiawi dalam menerima keputusan bisa bermacam-macam. Ada yang senang, ada yang kecewa, ada yang bahagia, ada yang sedih, ada yang kaget, ada yang biasa saja. Setiap orang berbeda-beda satu dengan yang lain. Bayangkan kalau tiba-tiba kita diputus cinta? Bisa kaget, biasa, sedih, marah dan lain sebagainya. Bagaimana kalau keputusan itu adalah berwisata ke dufan, atau ke luar negeri…haha? Bisa kaget, biasa, sedih, bahagia, atau bingung.
Ada banyak reaksi yang bisa kita tunjukan saat kita menerima suatu keputusan tertentu. Dalam kehidupan berkomunitas, ada pemimpin-anggota, putus-memutuskan adalah suatu hal yang biasa. Seorang pemimpin harus memutuskan sesuatu untuk anggotanya. Dalam kehidupan menggereja misalnya seorang uskup. Ia berhak untuk memberikan keputusan-keputusan tugas bagi para imam yang menjadi tanggungjawabnya.




Tidak jauh berbeda seperti yang kurasakan. Dulu saat aku akan menjalani Tahun Orientasi Pastoral, aku menerima surat keputusan bahwa aku harus berpastoral di Paroki St. Petrus Pekalongan. Saat itu aku sangat terkejut, bingung, pokoke gado-gado. Aku menerima keputusan harus tinggal di Pertapaan Rawaseneng selama satu bulan. Keputusan ini membuatku terkejut, kecewa, bingung, dan pokoke gado-gado maneh rasane!. Keputusan ini tidak kutanggapi dengan bahagia, justru sebaliknya. Inilah salah satu reaksi yang bisa muncul dalam menerima keputusan.
Tidak mudah menerima keputusan yang tidak sesuai dengan kehendak hati. Tetapi sebagai seminaris yang sedang diformat, aku menyadari arti pentingnya keputusan itu, tanpa harus memungkiri kekesalan hatiku. Ini bukan masalah yang harus dibesar-besarkan. Kini yang bisa kurenungkan adalah menemukan rahmat-rahmat di dalamnya, blessing in disguise. Tidak perlu lagi meratapi, tidak perlu lagi berkeluh kesah, tidak perlu lagi menyesali apa yang telah dilakukan. Semua pengalaman toh bisa menjadi guru yang baik untuk hidup. Yang jelas konteks hidup kita akan mengajari kita untuk beradaptasi dalam menghadapi berbagai situasi. Keputusan-keputusan bukan suatu momok. Keputusan yang ditimpakan kepada kita menjadi saat pembuktian bahwa kita bisa berkembang, bahwa kita bisa melakukannya dengan baik. Sebagai calon imam, sikap siapsedia menjadi sikap penting yang tidak bisa ditanggalkan. Siap sedia dalam menjalankan perutusan, siap sedia menerima berbagai keputusan, bahkan yang pahit sekalipun. Kesiapsediaan kita menerima keputusan mengajari kita siapsedia menghadapi tantangan. Dan hidup menjadi lebih hidup karenanya.

No comments:

Post a Comment