Tidak setiap keputusan menarik untuk dibicarakan. Tidak setiap keputusan membuat hati kita senang. Tidak setiap keputusan selalu mudah kita terima. Reaksi manusiawi dalam menerima keputusan bisa bermacam-macam. Ada yang senang, ada yang kecewa, ada yang bahagia, ada yang sedih, ada yang kaget, ada yang biasa saja. Setiap orang berbeda-beda satu dengan yang lain. Bayangkan kalau tiba-tiba kita diputus cinta? Bisa kaget, biasa, sedih, marah dan lain sebagainya. Bagaimana kalau keputusan itu adalah berwisata ke dufan, atau ke luar negeri…haha? Bisa kaget, biasa, sedih, bahagia, atau bingung.
Ada banyak reaksi yang bisa kita tunjukan saat kita menerima suatu keputusan tertentu. Dalam kehidupan berkomunitas, ada pemimpin-anggota, putus-memutuskan adalah suatu hal yang biasa. Seorang pemimpin harus memutuskan sesuatu untuk anggotanya. Dalam kehidupan menggereja misalnya seorang uskup. Ia berhak untuk memberikan keputusan-keputusan tugas bagi para imam yang menjadi tanggungjawabnya.
Tidak jauh berbeda
seperti yang kurasakan. Dulu saat aku akan menjalani Tahun Orientasi Pastoral,
aku menerima surat keputusan bahwa aku harus berpastoral di Paroki St. Petrus
Pekalongan. Saat itu aku sangat terkejut, bingung, pokoke gado-gado. Aku menerima keputusan harus
tinggal di Pertapaan Rawaseneng selama satu
bulan. Keputusan
ini membuatku terkejut,
kecewa, bingung, dan pokoke gado-gado
maneh rasane!. Keputusan ini tidak kutanggapi dengan bahagia, justru sebaliknya. Inilah salah satu reaksi yang bisa
muncul dalam menerima keputusan.
Tidak mudah menerima keputusan yang tidak
sesuai dengan kehendak hati. Tetapi sebagai seminaris
yang sedang diformat, aku menyadari arti pentingnya keputusan itu, tanpa
harus memungkiri kekesalan hatiku. Ini bukan masalah yang harus
dibesar-besarkan. Kini yang bisa kurenungkan adalah menemukan rahmat-rahmat di dalamnya, blessing
in disguise. Tidak perlu lagi meratapi, tidak perlu lagi berkeluh
kesah, tidak perlu lagi menyesali apa yang telah dilakukan. Semua pengalaman toh bisa menjadi guru yang baik untuk hidup.
Yang jelas konteks hidup kita akan mengajari kita untuk beradaptasi dalam
menghadapi berbagai situasi. Keputusan-keputusan bukan suatu momok. Keputusan yang ditimpakan kepada
kita menjadi saat pembuktian bahwa kita bisa berkembang, bahwa kita bisa melakukannya
dengan baik. Sebagai calon imam, sikap siapsedia menjadi sikap penting yang
tidak bisa ditanggalkan. Siap sedia dalam menjalankan perutusan, siap sedia
menerima berbagai keputusan, bahkan yang pahit sekalipun. Kesiapsediaan kita
menerima keputusan mengajari kita siapsedia menghadapi tantangan. Dan hidup
menjadi lebih hidup karenanya.
No comments:
Post a Comment