Siang
itu kami (para frater), bersebelas orang, pergi ke Tlogo Putri, Kaliurang. Di
sana, kami akan mengadakan pertemuan, sharing pengalaman liburan paskah.
Pertemuan ini memang sudah rutin dilakukan setiap bulan. Dan kali ini kami
mengadakannya di tempat yang sedikit bervariasi, sekalian refresing.
Setibanya kami di
pelataran parkiran Tlogo Putri, sayup-sayup terdengar di telingaku alunan musik
jathilan. Alunan musiknya menyebar ke mana-mana terbawa angin dingin Gunung
Merapi, Kaliurang. Aku merasa tidak asing dengan suara musik Jathilan ini.
dok.studio2klaten.internet |
“Eh, kayaknya jathilan ini pernah ada di
rumah kita, Seminari”. Aku memberitahu hal ini pada teman-teman. Memang benar. Jathilan
ini pernah ada di tempat kami. Mereka adalah sekelompok Jathilan dari Dusun
Gondoarum. Mereka tinggal mengungsi di tempat kami saat Gunung Merapi meletus
tahun 2010 kemarin. Beberapa teman di antara kami mendekati asal musik itu. Dan
tidak bisa dihindari, perjumpaan temu kangen singkat berlangsung di sana.
Beberapa penari jathilan (perempuan) langsung tersenyum dan melambaikan tangan
kepada kami. Tanpa menunggu, kami semua membalasnya dengan lambaian tangan
juga.
Hidup
dari Jathilan
Usut punya usut
ternyata mereka sedang ngamen atau
manggung di sana. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu, sehingga banyak
pengunjung (turis domestik) yang week-end di taman wisata Tlogo Putri Kaliurang
ini. Mereka menari dengan indah selaras iringan musik ritmis dan dendangan
syair lagu yang menciptakan harmoni. Telinga-telinga yang mendengarnya pasti
akan ketagihan, dan badan akan bergoyang-goyang di luar kesadaran. Aku hanya
mau mengatakan bahwa musik dan tarian jathilan memang bagus, indah dan mampu
menggetarkan seseorang untuk tenggelam dalam alunan musik itu.
Mereka, para penari,
pemain musik, dan yang terlibat di dalamnya menyandarkan hidup dari jathilan.
Mereka ngamen dari tempat satu ke
tempat lain, atau menerima tawaran manggung
untuk perayaan khitanan, manten atau yang lainnya. Melalui jathilan mereka
menyambung hidup mereka. Penghasilan yang tidak seberapa tetapi dimaknai
sebagai suatu rahmat yang istimewa. Rejeki secukupnya yang menjadi tanda berkat
dari Tuhan yang benar-benar mencintai mereka. Semangat ini sungguh menampilkan
kepasrahan batin yang menep kepada
Sang Pencipta. Dengan sebuah keyakinan hidup yang mendalam bahwa
kesulitan-kesulitan yang datang pasti akan ada jalan keluarnya.
Demikian mereka
menikmati hidup mereka sebagai seorang penari jathilan dengan hati gembira.
Kendati mereka harus berperan dobel, yakni
sebagai pelajar dan penari. Bagaimana mereka menjadi happy dengan hidup mereka.
Jathilan adalah “hidup”
mereka. Dengan menari, mereka menghibur banyak hati. Dengan menari, mereka
menunjukkan kepada dunia betapa indahnya kasih Tuhan dalam diri mereka. Sebab
perasaan hati yang mencintai kerja yang tengah dilakoni membawa kesadaran dan kebahagiaan akan besarnya kasih
Tuhan dalam kehidupan. Kerja menjadi sebentuk tanggung jawab mereka dalam menjalankan
kehidupan yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Kerja tidak sekedar cara
melangsungkan hidup saja, tetapi kerja dilihat sebagai suatu rahmat anugerah
dari Tuhan. Hidup tidak disia-siakan percuma, tetapi sungguh
dipertanggungjawabkan. Dengan memandang kerja sebagai rahmat, kita menyadari
bahwa Tuhan berkarya dalam hidup kita melalui pekerjaan-pekerjaan yang kita
lakukan, tidak memandang besar dan kecil hasil usahanya.
Mereka tidak mandeg karena situasi dan kondisi mereka
yang terbatas. Namun mereka berjuang di tengah keterbatasan untuk menjadi
pejuang-pejuang kehidupan yang mempertaruhkan kenyamanan raga dan batin. Dengan
menari, mereka menyambung kehidupan mereka dengan sepenuh hati sebagai suatu
amanat suci dari Tuhan yang telah menciptakan mereka dengan penuh cinta.
Dengan
demikian, melalui kerja manusia mewujudkan dan menyempurnakan martabat dirinya
sebagai citra Tuhan, sebab di sana kita mencerminkan kegiatan Sang Pencipta sendiri.
No comments:
Post a Comment