Monday, August 12, 2013

“Njathil” di Tlogo Putri



Siang itu kami (para frater), bersebelas orang, pergi ke Tlogo Putri, Kaliurang. Di sana, kami akan mengadakan pertemuan, sharing pengalaman liburan paskah. Pertemuan ini memang sudah rutin dilakukan setiap bulan. Dan kali ini kami mengadakannya di tempat yang sedikit bervariasi, sekalian refresing.
Setibanya kami di pelataran parkiran Tlogo Putri, sayup-sayup terdengar di telingaku alunan musik jathilan. Alunan musiknya menyebar ke mana-mana terbawa angin dingin Gunung Merapi, Kaliurang. Aku merasa tidak asing dengan suara musik Jathilan ini.
dok.studio2klaten.internet
“Eh, kayaknya jathilan ini pernah ada di rumah kita, Seminari”. Aku memberitahu hal ini pada teman-teman. Memang benar. Jathilan ini pernah ada di tempat kami. Mereka adalah sekelompok Jathilan dari Dusun Gondoarum. Mereka tinggal mengungsi di tempat kami saat Gunung Merapi meletus tahun 2010 kemarin. Beberapa teman di antara kami mendekati asal musik itu. Dan tidak bisa dihindari, perjumpaan temu kangen singkat berlangsung di sana. Beberapa penari jathilan (perempuan) langsung tersenyum dan melambaikan tangan kepada kami. Tanpa menunggu, kami semua membalasnya dengan lambaian tangan juga.

Hidup dari Jathilan
Usut punya usut ternyata mereka sedang ngamen atau manggung di sana. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu, sehingga banyak pengunjung (turis domestik) yang week-end di taman wisata Tlogo Putri Kaliurang ini. Mereka menari dengan indah selaras iringan musik ritmis dan dendangan syair lagu yang menciptakan harmoni. Telinga-telinga yang mendengarnya pasti akan ketagihan, dan badan akan bergoyang-goyang di luar kesadaran. Aku hanya mau mengatakan bahwa musik dan tarian jathilan memang bagus, indah dan mampu menggetarkan seseorang untuk tenggelam dalam alunan musik itu.
Mereka, para penari, pemain musik, dan yang terlibat di dalamnya menyandarkan hidup dari jathilan. Mereka ngamen dari tempat satu ke tempat lain, atau menerima tawaran manggung untuk perayaan khitanan, manten atau yang lainnya. Melalui jathilan mereka menyambung hidup mereka. Penghasilan yang tidak seberapa tetapi dimaknai sebagai suatu rahmat yang istimewa. Rejeki secukupnya yang menjadi tanda berkat dari Tuhan yang benar-benar mencintai mereka. Semangat ini sungguh menampilkan kepasrahan batin yang menep kepada Sang Pencipta. Dengan sebuah keyakinan hidup yang mendalam bahwa kesulitan-kesulitan yang datang pasti akan ada jalan keluarnya.
Demikian mereka menikmati hidup mereka sebagai seorang penari jathilan dengan hati gembira. Kendati mereka harus berperan dobel, yakni sebagai pelajar dan penari. Bagaimana mereka menjadi happy dengan hidup mereka.
Jathilan adalah “hidup” mereka. Dengan menari, mereka menghibur banyak hati. Dengan menari, mereka menunjukkan kepada dunia betapa indahnya kasih Tuhan dalam diri mereka. Sebab perasaan hati yang mencintai kerja yang tengah dilakoni membawa kesadaran dan kebahagiaan akan besarnya kasih Tuhan dalam kehidupan. Kerja menjadi sebentuk tanggung jawab mereka dalam menjalankan kehidupan yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Kerja tidak sekedar cara melangsungkan hidup saja, tetapi kerja dilihat sebagai suatu rahmat anugerah dari Tuhan. Hidup tidak disia-siakan percuma, tetapi sungguh dipertanggungjawabkan. Dengan memandang kerja sebagai rahmat, kita menyadari bahwa Tuhan berkarya dalam hidup kita melalui pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan, tidak memandang besar dan kecil hasil usahanya.
Mereka tidak mandeg karena situasi dan kondisi mereka yang terbatas. Namun mereka berjuang di tengah keterbatasan untuk menjadi pejuang-pejuang kehidupan yang mempertaruhkan kenyamanan raga dan batin. Dengan menari, mereka menyambung kehidupan mereka dengan sepenuh hati sebagai suatu amanat suci dari Tuhan yang telah menciptakan mereka dengan penuh cinta.
Dengan demikian, melalui kerja manusia mewujudkan dan menyempurnakan martabat dirinya sebagai citra Tuhan, sebab di sana kita mencerminkan kegiatan Sang Pencipta sendiri

No comments:

Post a Comment