Sunday, August 25, 2013

"Ia semakin besar, aku semakin kecil"


“Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu! Sebab Aku berkata kepadamu, ‘Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat” – Luk 13: 23-24 –

Setiap orang mempunyai mimpi, cita-cita atau harapan. Kita berusaha mewujudkan semua itu dengan berbagai usaha jerih lelah kita setiap hari agar keberhasilan-kesuksesan diraih dengan gemilang. Seorang ayah mempunyai mimpi, cita-cita agar ia bisa menjadi ayah yang bertanggungjawab, ayah yang mampu memenuhi kebutuhan keluarga dengan baik, ayah yang mengalami karir cemerlang. Seorang ibu memiliki mimpi, cita-cita menjadi seorang istri yang setia, bisa ngemong anak-anaknya dengan baik, mendidik mereka dengan hangat. Sebuah keluarga baru memiliki mimpi dan cita-cita membangun keluarga yang sejahtera dan bahagia dengan dua atau tiga anak. Mereka ingin memiliki tabungan yang banyak agar kebutuhan-kebutuhan mendesak dan mendadak tidak menyulitkan hidup di kemudian hari. Ini mimpi. Ini cita-cita atau lebih tepatnya harapan yang mengobarkan semangat dalam menjalani kehidupan.

Wednesday, August 21, 2013

Tuhan, bangunkan aku pagi ini


“Aduh aku harus bagaimana. Apa aku tidak usah tidur saja”, kataku dalam hati.
“Aku takut besok pagi ngga bisa bangun pagi, 03.00 WIB. Guiiillaa…aku harus bangun jam 03.00 WIB”
“Aku tidak membawa weker atau sejenisnya. Sial, mengapa aku tidak membawa weker??!!, umpatku dalam hati setelah melihat jadwal harian “horarium” di Pertapaan Rawaseneng ini. Oh ya, ini adalah malam pertamaku. Malam pertama tidur di Pertapaan Rawaseneng. Rasanya masih aneh. Rasanya masih asing. Maklum, untuk pertama kali inilah aku tinggal di pertapaan kendati sebelumnya (dulu) pernah dolan ke pertapaan ini, tidak menginap.

PRAYER


 say only that prayer is the gateway of the immense favours the Lord has granted me -Theresia Avilla-


Sejak saat itu aku berdoa
Guliran manik-manik rosario mengalir ritmis di tangannya yang halus. Posisi duduknya terkadang bersila di atas kursi panjang. Matanya terpejam dengan tenang. Ia tekun mengunjungi Bunda Maria yang memangku Putranya (Pieta), dengan tiga lilin menyala. Apa yang ia lakukan di sana? Berdoa.
Hampir setiap hari ia berada di situ selama setengah sampai satu jam untuk berdoa. Ia sangat percaya dengan kekuatan doa. Pada suatu ketika dia bercerita, “Aku pernah mengalami peristiwa hidup yang sangat berat. Seluruh hati, budi, dan pikirku tak pernah merasa damai dengan persoalan yang aku alami. Aku berontak pada Tuhan, Mengapa kisah sedih ini menimpa diriku?” demikian ia mengawali kisahnya sembari meneteskan air mata.
Ia melanjutkan kisahnya, “Hingga pada suatu hari aku bertemu seorang pendoa. Ia menegurku melalui sapaan kasih yang membuatku terhenyak dan terjaga dari tidur panjang kesedihanku. Ia mengatakan, “Untuk apa berkutat dengan kesedihan. Berdoalah, mintalah kekuatan padaNya, serahkan semua beban berat itu kepadaNya”. Sejak saat itu, setiap kali ada persoalan ataupun tidak, aku selalu lari kepada Tuhan. Aku mohon kekuatanNya. Doa adalah caraku berkomunikasi denganNya. Aku meluangkan waktu setiap hari, aku berdoa padaNya, melalui devosi Bunda Maria (Rosario) dan Bapa kami. Dengan berdoa, aku menimba kekuatan dariNya. Dengan berdoa aku dikuatkanNya. Melalui doa, aku menyerahkan hidupku padaNya.

Realitas Kemiskinan : Jembatan melihat Kristus



Iman yang hidup akan Yesus Kristus mengandaikan komitmen dan keterlibatan demi pembebasan dari segala bentuk kemiskinan, penindasan. Siapa yang sungguh melibatkan diri (dan karena itu sadar akan posisi sosialnya) akan berupaya menangkap dimensi pembebasan dari misteri Yesus Kristus. Dia akan menekankan tindakan Yesus historis yang memerdekakan, karena sebagai Putra yang menjadi daging, Yesus mewartakan kabar gembira dan bersikap sedemikian sehingga tercipta suatu kondisi kebebasan yang benar-benar baru bagi umat-Nya. Pewartaan dan sikap Yesus merupakan titik tolak bagi umat Kristen dalam mengikuti Tuhannya, juga dalam suatu konteks kemiskinan, penindasan, situasi yang harus diatasi dalam suatu proses pembebasan.

Berkaca Pada Sebuah Sketsa Yang Terluka
Persoalan terdalam bagi Asia adalah kemiskinan. Kemiskinan yang memberi dampak bagi kemerosotan martabat dan tidak layak manusiawi serta maraknya pelanggaran keadilan. Mengapa kemiskinan begitu terasa di Asia? Ada beberapa jawaban sebagai berikut : pembagian tidak adil sumber-sumber bagi hidup, peluang-peluang yang tidak merata, sikap tidak bersedia menjalankan perombakan pertanahan, usaha-usaha yang menyedihkan untuk meningkatkan kemampuan baca-tulis, konsentrasi kemewahan di tangan orang-orang kaya, sosialisme negara mau tidak mau mengarah kepada korupsi, penghamburan ekonomi dan pemerintahan yang tidak beres (Konteks Asia dalam FABC).

"Ngaca dulu deh"


Kalau "Kerajaan Allah itu seperti tuan rumah mencari pekerja-pekerja kebun anggurnya". Sejatinya kita adl pekerja-pekerja itu. Kita dicari (dipanggil) olehNya utk masuk dlm Kerajaan Allah. Akan tetapi, sebelum kita menjawab panggilanNya, mari kita jernihkan dulu alasan kita bekerja di kebun anggurNya.

Ketika kita memutuskan diri menjadi "pekerja kebun anggurNya" kita sadari bahwa apa yg kita lakukan semata-mata karena "cinta dan pengabdian". Jangan berharap untung atas pelayanan, jangan berharap dihargai atas pengabdian. Jika dalam kehidupan menggereja ada persoalan antar pribadi, antar kelompok, "jangan-jangan" masih ada ketidakberesan dlm diri kita sendiri. "Ngaca dulu deh" untuk apa kita bekerja di kebun anggurNya sbb ketika kita bnyak berkorban demi pelayanan semakin kita tak mendapat "apa-apa" selain sukacita bersamaNya.

-sgl sst ada batas, sgl sst utk Tuhan-

Tuesday, August 20, 2013

Apa itu OCSO?


         Seolah-olah ada sesuatu yang menggerakkanku untuk membaca tulisan-tulisan Rm. Pius Budiwijaya, OCSO. Padahal aku tidak pernah tertarik sebelumnya. Ketika mulai membaca bukunya, aku cukup terkesan dengan isi tulisannya, sederhana tapi mendalam. Salah satu buku yang kubaca berjudul “Gumolonging Ati”. Meski berbahasa jawa, tetapi aku cukup mengerti apa yang dimaksud beliau dalam tulisannya.
Dok. Salamdamai.Internet
Aku datang ke Pertapaan Rawaseneng dengan bekal informasi yang terbatas. Aku tidak tahu tidak mengenal baik Pertapaan Rawaseneng ini. Yang kutahu, tempat ini bernama OCSO. Apa itu OCSO, aku kurang mengenal secara mendalam. Yang bisa kupastikan bahwa ada seorang teman angkatanku (KPA Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan) masuk ke pertapaan ini, “Denger-denger dia sudah menjadi pertapa/trappist.”
Ketidaktahuan itu mengantarku pada sebuah pencarian awal. Apa itu OCSO? Sejenak aku membuka-buka buku yang tersedia di atas meja kamarku di pertapaan ini. Buku yang berjudul “Berziarah Setengah Abad: Kumpulan Catatan tentang Pertapaan Rawaseneng 1953-2003”, yang ditulis oleh Romo Frans Harjawiyata, OCSO. Buku yang relatif tebal dengan kisah sejarah OCSO yang panjang. Karena ingin tahu, maka pelan-pelan kubaca buku itu selembar demi selembar.



Awal Perjalanan Rohani


Dok. internet
Aku berdiri dipinggir jalan menunggu datangnya angkutan (Kaliurang – Terban) menuju perempatan Kentungan. Hatiku mulai gelisah. Mengapa gelisah? Sebab aku harus mengirimkan satu tulisan untuk seseorang, Bapa Uskup, via email. Setidaknya kepergianku saat ini bukannya tanpa alasan, bukan tanpa kabar berita, atau dengan sengaja menghilangkan diri dari peradaban. Aku pergi untuk sejenak mengambil jarak dari hiruk pikuk dan rutinitas hidup dalam komunitas dengan menyepi di Pertapaan Rawaseneng.
Aku ingin mengirimkan refleksi perjalananku kepada Bapa Uskup. Refleksi yang mengisahkan dan mengantarku  menyepi di Pertapaan Rawaseneng selama sebulan. Agar refleksi itu bisa terkirim, aku harus mencari WARNET terdekat terlebih dulu. Memang, diam-diam aku telah menyusun rencana yang sedikit tertata agar waktu-waktu yang tersisa bisa digunakan untuk banyak hal. Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku memutuskan berangkat dengan jalan kaki. Sebelum aku naik bis, aku mampir ke warnet dulu.




Aku menyertai engkau


"Percayalah, aku bersamamu, aku mendukungmu. Kamu berjuanglah tanpa takut".

Siapapun pasti diteguhkan mendengar penghiburan itu. Seorang ibu meneguhkan anaknya yang berada dalam kegelisahan menyiapkan ujian, anak yang sedang bingung menghadapi persoalan: putus cinta, belum bekerja misalnya. Seorang sahabat akan menghibur sahabatnya yang sedang bersedih atau dalam keterpurukan. Cuplikan peristiwa ini sekedar mau menegaskan bahwa sebenarnya kita tak pernah sendiri dalam menjalani hidup. Orang-orang datang menghampiri, menyapa kita dengan berbagai cara. Kehadiran mereka adalah penghiburan untuk kita. Apapun bentuk penghiburan, dukungan yang mereka berikan, yang bernada positif, pasti menebarkan aura positif untuk kita.


Friday, August 16, 2013

CINTA YANG MEMERDEKAKAN




 Setiap tanggal 17 Agustus, kita, masyarakat Indonesia, merayakan syukur atas kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan memiliki kata dasar merdeka. Menurut KBBI, merdeka berarti Pertama, bebas (dari perhambaan, penjajahan), atau berdiri sendiri. Kedua, tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ketiga, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Merdeka berarti bebas dari perhambaan atau penjajahan. Inilah yang dialami masyarakat Indonesia melalui kisah sejarahnya. Sejarah kemerdekaan yang melukiskan suatu harapan akan kehidupan yang lebih baik di waktu-waktu yang akan datang. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat Indonesia, melalui usaha para pejuang dan pendahulu kita, telah membuka jalan kehidupan baru. Kehidupan yang bebas dari penjajahan bangsa lain. Sejak kemerdekaan itu, kita terus bertumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang mandiri, yakni bangsa yang memperjuangkan kehidupan yang merdeka, mapan, sejahtera tanpa belenggu bangsa lain.
Setiap tanggal 17 Agustus, kita, masyarakat Indonesia, merayakan syukur atas kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan memiliki kata dasar merdeka. Menurut KBBI, merdeka berarti Pertama, bebas (dari perhambaan, penjajahan), atau berdiri sendiri. Kedua, tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ketiga, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Merdeka berarti bebas dari perhambaan atau penjajahan. Inilah yang dialami masyarakat Indonesia melalui kisah sejarahnya. Sejarah kemerdekaan yang melukiskan suatu harapan akan kehidupan yang lebih baik di waktu-waktu yang akan datang. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat Indonesia, melalui usaha para pejuang dan pendahulu kita, telah membuka jalan kehidupan baru. Kehidupan yang bebas dari penjajahan bangsa lain. Sejak kemerdekaan itu, kita terus bertumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang mandiri, yakni bangsa yang memperjuangkan kehidupan yang merdeka, mapan, sejahtera tanpa belenggu bangsa lain.


Monday, August 12, 2013

Indahlah Tuhan


Ku tak pernah sendiri
Jalani hidup habiskan waktu
Kau slalu ada bersamaku,
Hadir saat suka maupun duka

Kau tak pernah berhenti memandang
Bahkan Kau ulurkan tangan
Mengangkatku dalam harapan besar
‘tuk cinta dan kebahagiaan

Indahlah Tuhan, hidup ini indah
CintaMu selalu kurasakan
Baiklah Tuhan, Engkau sungguh baik
HarapanMu slalu menghidupkan,
selamanya Engkau sungguh baik,
selamanya

 Kentungan, 30 April 2013

Mengampuni adalah sebuah pilihan



“Emm… aku belum berani mengampuni…”
  
Dalam suatu retret singkat, saya menemukan pengalaman menarik bersama dengan para mahasiswa/i yang saya dampingi. Seorang mahasiswi bercerita begini, “Saya tidak bisa berdoa dengan baik, frater. Ketika saya berdoa dan menghadirkan orang-orang serta peristiwa luka yang pernah terjadi, rasanya berat. Saya justru kembali merasakan sakit. Saya benar-benar tidak berani menghadirkan orang serta peristiwa itu. Yang tersisa hanyalah kebencian dan rasa sakit yang kembali menganga dalam hati saya. Rasanya sakit, dan saya tidak mau kesakitan lagi. Maka saya berhenti berdoa”. Pada kesempatan yang sama, seorang mahasiswi menemukan kisahnya seperti ini, “Awalnya saya memang menolak, dan ingin mengalihkan doa saya dengan kegiatan yang lain. Namun saya urungkan niat itu. Saya justru berdiam dalam kemelut batin saya dalam doa. Saya merasa damai saat saya bisa menerima semua pengalaman itu dengan baik. Perasaan-perasaan yang selama ini terkesan meletup-letup perlahan mereda. Apalagi saat merenungkan sabda Tuhan yang justru memberi saya inspirasi dalam berdoa. Kedamaian batin inilah yang saya rindukan. Saya bersyukur boleh melihat pengalaman ini secara positif”.


Belajar Menerima Keputusan




Tidak setiap keputusan menarik untuk dibicarakan. Tidak setiap keputusan membuat hati kita senang. Tidak setiap keputusan selalu mudah kita terima. Reaksi manusiawi dalam menerima keputusan bisa bermacam-macam. Ada yang senang, ada yang kecewa, ada yang bahagia, ada yang sedih, ada yang kaget, ada yang biasa saja. Setiap orang berbeda-beda satu dengan yang lain. Bayangkan kalau tiba-tiba kita diputus cinta? Bisa kaget, biasa, sedih, marah dan lain sebagainya. Bagaimana kalau keputusan itu adalah berwisata ke dufan, atau ke luar negeri…haha? Bisa kaget, biasa, sedih, bahagia, atau bingung.
Ada banyak reaksi yang bisa kita tunjukan saat kita menerima suatu keputusan tertentu. Dalam kehidupan berkomunitas, ada pemimpin-anggota, putus-memutuskan adalah suatu hal yang biasa. Seorang pemimpin harus memutuskan sesuatu untuk anggotanya. Dalam kehidupan menggereja misalnya seorang uskup. Ia berhak untuk memberikan keputusan-keputusan tugas bagi para imam yang menjadi tanggungjawabnya.



Pastoral Orang Muda : Memaknai Kembali “Sense Catholicus” Orang Muda


Siapa dan Bagaimana Orang Muda
Orang muda memiliki dinamika yang khas. Kekhasan mereka tampak dalam sifat dinamisnya sebagai orang muda. Orang muda adalah orang-orang yang penuh energik, idealis dan punya harapan dan cita-cita yang tinggi. Orang muda bukanlah “Jugend hat keine Tugend”[1]artinya kelompok manusia yang tidak memiliki keutamaan, tetapi lebih daripada itu mereka adalah orang-orang yang memiliki keberanian, keseriusan, suka mencari dan menemukan hal yang baru. Untuk itu, mereka senantiasa berproses, berdaya kreasi sebagai sarana yang mendorong perwujudan aktualisasi diri. Sifat dinamis itulah yang menggerakkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, dan terus berkembang. Masyarakat umumnya mengatakan, masa muda adalah masa penuh kreatifitas.
Dalam tulisan ini saya ingin menggagas soal pastoral orang muda, yakni bagaimana Gereja memperhatikan orang muda sebagai bagian dari Gereja, pewaris dan penerus Gereja kini dan yang akan datang. Ada beberapa latar belakang yang harus diperhatikan saat omong tentang pastoral orang muda, yaitu:

Imam Adalah Pembawa Hidup Kristus

-Christo-foroi-

“Frater, sebentar lagi menjadi romo-kan. Pokoké dadi romo ki gampang, frater. Sing penting isa nyenengké umaté dan melayani dengan baik. Umaté wis seneng”. Demikian seorang ibu berpesan padaku dalam suatu perbincangan singkat saat itu.
“Bener frater. Umat juga membutuhkan imam yang membawa damai”, lanjut yang lainnya.
Aku mendengarkan pesan-pesan itu dengan seksama. Aku mengangguk dan mengiyakan apa yang mereka katakan.
Ada berderet-deret harapan umat terhadap para imamnya. Ada beribu-ribu doa dipersembahkan untuk kesetiaan para imamnya, dan ada sekian jiwa yang membutuhkan penggembalaan bijaksana dari para imamnya. Mereka begitu menaruh cinta dan kasihnya kepada para gembalanya. Saking cintanya mereka tidak pernah membiarkan imamnya berkekurangan. Mereka memberikan tempat yang nyaman, makanan berlimpah, fasilitas yang mendukung pastoral, doa dan perhatian yang tidak pernah mandeg, dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika ada seorang imam yang kurang ngimami, atau mundur dari imamatnya, tidak jarang mereka menjadi kecewa.


Tidak Dusta




Tak usah berjanji
daripada tidak menepati
Siapapun tak suka dusta
daripada dusta lebih baik luka
Hindarkan lidah yang bersilat,
karena mengantar pada dosa.
Mulut siapa yang berdusta
tak bakal dipercaya,
karena manusia tak suka dibohongi
Kendati kebohongan tetap milik kita.


(inspirasi dari Pengkhotbah)
Kentungan, 16 April 2007

Menjaring Angin



 
S
 
 egala sesuatu tidak menyusahkan,
egala sesuatu tidak menyebalkan,
egala sesuatu tidak menyulitkan,
dan segala sesuatu bukan kesia-siaan
Cobalah!!
sebelum semuanya lenyap seperti asap,
sebelum kematian
menghabisi kehidupan
lalu menyisakan sesal berkepanjangan…


(inspirasi dari Pengkhotbah)
Kentungan, 16 April 2007

Heran…



Cara Tuhan mencintai keluargaku.
Pelan-pelan Tuhan mengembalikan “yang hilang”.

Saat berjalan tertatih, Kau tuntun
Saat terjatuh, Kau angkat
Saat menangis, Kau hibur
Saat putus asa, Kau beri harapan
Saat lesu, Kau beri semangat
Saat sendirian, Kau temani
Saat berkeluh kesah, Kau setia mendengarkan, dan
Saat tertawa, Kau pun bahagia

Tuhan menyayangi keluargaku,
Tuhan mengasihi keluargaku,
Tuhan adalah cahaya kehidupan
yang bersinar terang.

Semangat Paskah



Hai sahabat,
“Dia telah memiliki surga, tetapi Ia memilih Golgota Ia ingin berbagi cinta dengan kita’.
‘Met paskah. Semoga Paskah membawa kebangkitan bagimu.
Serangkaian pesan singkat itu kukirimkan untukmu -sahabat yang pernah dekat di hati-

Tanpa menunggu lama, ada dering handphone, sebuah pesan telah menunggu dibaca…
“Kristus sudah menderita, mati, dan Ia sudah bangkit. Semua untuk kita. Semangatlah dalam hidup.
Bangkitlah bersama Kristus yang Bangkit”. Met paskah ‘ter…


Jogja, 12 April 2007



Dari Catur Wibowo
Di malam Sabtu, 29 Januari 2011, Tahbisan Diakon

Dari radio subuh,
kudengar ayat-ayat dipanggil dari kitab yang jauh.

Ia yang dahulu mengantar Adam
dari taman ke bumi gersang
mencoba juga mengantarmu
ke padang-padang panenan

Jalanan memang belum sepi dari persimpangan.
Ketika dicatatnya sedikit kenangan
tentang dawet hitam yang kita teguk sebelum malam
sambil bertanya, “Siapakah seseorang yang dibungkus rokok itu tersenyum dengan kopiah hitam?”

“Bapa, ijinkan aku bekerja sebagai seorang upahan”

Tapi menetes juga pelupukmu saat hari belum senja.

“Mommie! Thank you for not aborting me!!!”


Aborsi ada di sekitar kita

“Mommie! Thank you for not aborting me!!!”. Ungkapan ini menarik untuk kita renungkan. Ungkapan yang menyiratkan ada suatu persoalan besar. Ungkapan yang mengingatkan kita pada praktek aborsi yang kian marak di dalam masyarakat. Aku ngeri mendengar berita-berita semacam itu. Bagaimana mereka tega menggugurkan anak di dalam kandungan? Bagaimana mereka menghilangkan kehidupan yang cuma-cuma Tuhan berikan? Aku hanya geleng-geleng kepala, tidak tahu juga apa yang harus kulakukan.
Pernah suatu ketika, aku berhenti di perempatan. Aku membaca selebaran ditempel di tiang listrik, “Anda terlambat bulan? Hubungi nomor ini: 08xxxxxxx”. Awalnya aku tidak menangkap maksud kalimat itu. Hatiku tidak banyak bergulat. Tapi aku kaget saat mengetahui maksud tulisan pada selebaran itu, “Ternyata semacam praktek aborsi”.

“Njathil” di Tlogo Putri



Siang itu kami (para frater), bersebelas orang, pergi ke Tlogo Putri, Kaliurang. Di sana, kami akan mengadakan pertemuan, sharing pengalaman liburan paskah. Pertemuan ini memang sudah rutin dilakukan setiap bulan. Dan kali ini kami mengadakannya di tempat yang sedikit bervariasi, sekalian refresing.
Setibanya kami di pelataran parkiran Tlogo Putri, sayup-sayup terdengar di telingaku alunan musik jathilan. Alunan musiknya menyebar ke mana-mana terbawa angin dingin Gunung Merapi, Kaliurang. Aku merasa tidak asing dengan suara musik Jathilan ini.
dok.studio2klaten.internet
“Eh, kayaknya jathilan ini pernah ada di rumah kita, Seminari”. Aku memberitahu hal ini pada teman-teman. Memang benar. Jathilan ini pernah ada di tempat kami. Mereka adalah sekelompok Jathilan dari Dusun Gondoarum. Mereka tinggal mengungsi di tempat kami saat Gunung Merapi meletus tahun 2010 kemarin. Beberapa teman di antara kami mendekati asal musik itu. Dan tidak bisa dihindari, perjumpaan temu kangen singkat berlangsung di sana. Beberapa penari jathilan (perempuan) langsung tersenyum dan melambaikan tangan kepada kami. Tanpa menunggu, kami semua membalasnya dengan lambaian tangan juga.

Hidup dari Jathilan
Usut punya usut ternyata mereka sedang ngamen atau manggung di sana. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu, sehingga banyak pengunjung (turis domestik) yang week-end di taman wisata Tlogo Putri Kaliurang ini. Mereka menari dengan indah selaras iringan musik ritmis dan dendangan syair lagu yang menciptakan harmoni. Telinga-telinga yang mendengarnya pasti akan ketagihan, dan badan akan bergoyang-goyang di luar kesadaran. Aku hanya mau mengatakan bahwa musik dan tarian jathilan memang bagus, indah dan mampu menggetarkan seseorang untuk tenggelam dalam alunan musik itu.
Mereka, para penari, pemain musik, dan yang terlibat di dalamnya menyandarkan hidup dari jathilan. Mereka ngamen dari tempat satu ke tempat lain, atau menerima tawaran manggung untuk perayaan khitanan, manten atau yang lainnya. Melalui jathilan mereka menyambung hidup mereka. Penghasilan yang tidak seberapa tetapi dimaknai sebagai suatu rahmat yang istimewa. Rejeki secukupnya yang menjadi tanda berkat dari Tuhan yang benar-benar mencintai mereka. Semangat ini sungguh menampilkan kepasrahan batin yang menep kepada Sang Pencipta. Dengan sebuah keyakinan hidup yang mendalam bahwa kesulitan-kesulitan yang datang pasti akan ada jalan keluarnya.
Demikian mereka menikmati hidup mereka sebagai seorang penari jathilan dengan hati gembira. Kendati mereka harus berperan dobel, yakni sebagai pelajar dan penari. Bagaimana mereka menjadi happy dengan hidup mereka.
Jathilan adalah “hidup” mereka. Dengan menari, mereka menghibur banyak hati. Dengan menari, mereka menunjukkan kepada dunia betapa indahnya kasih Tuhan dalam diri mereka. Sebab perasaan hati yang mencintai kerja yang tengah dilakoni membawa kesadaran dan kebahagiaan akan besarnya kasih Tuhan dalam kehidupan. Kerja menjadi sebentuk tanggung jawab mereka dalam menjalankan kehidupan yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Kerja tidak sekedar cara melangsungkan hidup saja, tetapi kerja dilihat sebagai suatu rahmat anugerah dari Tuhan. Hidup tidak disia-siakan percuma, tetapi sungguh dipertanggungjawabkan. Dengan memandang kerja sebagai rahmat, kita menyadari bahwa Tuhan berkarya dalam hidup kita melalui pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan, tidak memandang besar dan kecil hasil usahanya.
Mereka tidak mandeg karena situasi dan kondisi mereka yang terbatas. Namun mereka berjuang di tengah keterbatasan untuk menjadi pejuang-pejuang kehidupan yang mempertaruhkan kenyamanan raga dan batin. Dengan menari, mereka menyambung kehidupan mereka dengan sepenuh hati sebagai suatu amanat suci dari Tuhan yang telah menciptakan mereka dengan penuh cinta.
Dengan demikian, melalui kerja manusia mewujudkan dan menyempurnakan martabat dirinya sebagai citra Tuhan, sebab di sana kita mencerminkan kegiatan Sang Pencipta sendiri

(Se)Kantong Kasih Untukmu, Saudaraku

Aku lebih suka mensyukuri apa yang bisa aku lakukan, 
daripada meratapi apa yang tidak bisa aku lakukan 
(Lena Maria)


 Gentar rasanya berhadapan dengan sebuah kenyataan yang mengerikan, terlebih bersangkut paut dengan hidup dan mati. Abu, hujan pasir, dan lahar dingin Merapi membuat gentar semua yang berada di sekitarnya.
- Sejak tanggal 5 November 2010, Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan menjadi tempat pengungsian korban Merapi lebih dari 900-an orang. Mereka  (pengungsi) datang dari berbagai daerah di sekitar Pakem (lereng Merapi). Efek letusan yang dahsyat membuat orang-orang harus mengungsi. Apalagi ditambah informasi jangkauan radius bahaya Merapi diperluas dari 15 km menjadi 20 km dari puncak Merapi. Sejak saat itulah, Seminari menjadi Posko Pengungsi. Para romo, frater, relawan bahu membahu melayani para pengungsi. Lantas pada tanggal 25 November 2010 posko Merapi Happy ditutup. Para pengungsi kembali ke tempat mereka masing-masing untuk memulai hidup yang baru -.
Ada banyak kisah di balik peristiwa Merapi ini. Ada kisah sedih, kehilangan, kecewa, bingung, tanpa pengharapan, dan kosong…… Semua kisah itu terbalut dalam satu bingkai “bencana”. Dan inilah salah satu kisah yang diambil dari bingkai “bencana” itu, kisah yang terangkai dari serentetan pengalaman bersama para pengungsi, kisah yang tersemat di balik tebalnya debu-debu Merapi.
Pada suatu petang, di tengah meriahnya dinamika anak-anak pengungsi bersama tim trauma healing, seorang gadis remaja, bertanya padaku,
“Loh frater yang ngepel gang dan membuang sampah-sampah itu to, aku kira cleaning service,” tanyanya sembari tersenyum.
“Haha…Betul sekali, itu aku. Wah udah pantes ya jadi cleaning service,” jawabku dengan tertawa kecil.
“Hebat frater, nanti makannya yang banyak frater, biar ngepelnya kuat hehehe,” candanya sedikit mengejek. Dia adalah Vita. Dulu dia menjadi muridku, saat aku berpastoral mengajar di salah satu SMK. Ia anak yang pendiam, tapi pandai. Sebenarnya aku sedikit lupa, sebab lama tidak bertemu, kurang lebih 5 tahun. Ingatanku kembali muncul, saat ia asyik bercerita kenangan belajar di kelas dulu. Ya barulah kuingat dirinya. Masa-masa mengajar yang membahagiakan. Pikirku melayang sembari mengingat kenakalan dan kreatifnya murid-muridku.
Perjumpaan singkat yang lantas menyisakan tanya dan kegelisahan dalam hatiku. Dan aku heran mengapa aku harus mempertanyakan atau gelisah terhadap pekerjaanku saat ini, cleaning service??

Gengsi Gedhe-Gedhe-an
Memang benar, aku bertugas untuk membersihkan lingkungan posko seminari dan pengungsi. Awal ngepel gang rasanya ada pergulatan. “Gengsi rasanya, masa ngepel???” Begitulah hatiku bergumam. Padahal ngepel sudah menjadi pekerjaan biasa di seminari. Tetapi mengapa masih bergulat? Aku bertanya pada diriku sendiri. Berbagai rasionalisasi muncul menguatkan gengsi yang sudah bercokol di hati. Entah dengan alasan sedikit teman-sedikit relawan yang mau membantu, atau yang lainnya. Dalam situasi perasaan seperti itu pekerjaan menjadi terasa berat dan membosankan. Aku merasakan disposisi batin yang tidak pantas. Batinku sendiri memberontak, hati berperang antara ingin melayani sepenuh hati dan gengsi.
“Wah aku egois sekali,” gumamku dalam hati.
“Mengapa aku tidak melakukannya dengan sukacita. Ini adalah bentuk pelayananku pada mereka. Ya benar. Aku…” Pergulatan-pergulatan kecil itu mendidih di tengah pekerjaan yang sedang kulakukan, hingga pada satu perjumpaan tanpa sengaja dengan seorang perempuan tua, dan realitas lingkungan yang tidak sewajarnya, aku berbenah.
Pengalaman gengsi gedhe-gedhean itu berubah manakala aku menjumpai seorang perempuan tua berada di tengah gundukan sampah di belakang seminari. Perempuan itu memakai baju lengan panjang, masker sederhana, dan bertopi. Di sekitarnya lalat beterbangan, bau tidak sedap menusuk hidung.
Betah sekali ibu itu,” gumamku dalam hati. Lain waktu aku melihat sampah-sampah yang berserakan, tong sampah yang isinya hampir tumpah. Hatiku gelisah, hatiku tidak “jenak”. Dan keputusan yang kuambil adalah “aku mengambil kantong plastik hitam besar, dan kuambil sampah-sampah itu, sendiri”. Aku berpindah dari tong satu ke tong yang lain, hingga kedua tanganku tak lagi mampu membawa semua kantong berisi sampah itu. Saat itu, aku merasa lebih nyaman, aku tidak merasa gengsi, dan aku menikmatinya. Entah mengapa, perasaan gengsi itu perlahan luntur. Aku tidak peduli lagi dengan rasa gengsi itu, aku tidak peduli lagi pada kesendirian tugasku, yang jelas aku ingin melakukannya dengan sukacita. Aku bergumam dalam hati, “Inilah yang bisa kuberikan untukmu, saudaraku. Kantong-kantong kasih sederhana untuk menghibur hatimu yang sedih, bimbang karena bencana. Tidak bisa kuberikan yang lain, tapi inilah hati sukacitaku, untukmu”. Akhirnya aku menemukan makna di balik semua peristiwa ini. Seorang Lena Maria, seorang cacat yang tegar hati meneguhkanku, “Aku lebih suka mensyukuri apa yang bisa kulakukan, daripada meratapi apa yang tidak bisa aku lakukan”.

Hati yang mencintai dan tangan yang melayani
Kebahagiaanku dalam melayani lahir dari perjumpaan fisik, dialog batin dan rasa dari sekian peristiwa. Memaknai pelayanan bukan sebagai prestise, pelayanan lahir dari sebuah kasih, cinta yang mendalam. Keterlibatan serta perjuangan untuk kehidupan banyak orang adalah bukti dari cinta. Tangan yang melayani sebagai perpanjangan hati yang mencintai adalah dasar dari sukacita pelayanan itu. Aku menemukan makna dalam pelayananku saat ini. Pelayanan sederhana yang kulakukan dengan sukacita. Maka, untuk apa mempertanyakan kegelisahan diri sendiri yang cenderung membawa pada egoisme, mengapa harus mempersoalkan prestise? Mengapa memikirkan gengsi? Ini adalah pelayanan. Mereka membutuhkan kasih yang tulus, bukan kasih yang pilih-pilih, bukan kasih yang setengah-setengah, kasih yang “lamis”.
Hatiku terbingkai dalam satu kata “Cinta” yang membuatku indah memaknai setiap peristiwa. Pekerjaan tidak lagi berat, tidak lagi membosankan. Semakin hari terlihat olehku tangan-tangan kasih yang bahu membahu membantu. “Fantastik…. teman-temanku, para relawan… kalian semua hebat”. Hatiku gemetar manakala merasakan cinta yang begitu dalam terbagikan. Cinta yang terbagi dari sekian hati serta tangan yang sungguh terlibat melayani.
Inilah kisahku, kisah sederhana yang tertimbun debu-debu Merapi. Kisah yang meneguhkanku sebagai seorang calon imam. Bagaimana menempatkan “hati dan tangan” dalam pelayanan, dalam karya pastoral di tengah umat yang sedang kulayani. Inilah sisi-sisi transformasi yang membawa pengubahan batin dalam diriku. Kian mendalam kurasakan betapa indah dan mengagumkan memaknai setiap peristiwa dari kemurnian kacamata iman. Inilah esensi kemuridan, bagaimana roh Allah sendiri mengaliri setiap hati dan tangan, bukan semata aktivitas manusiawi tanpa makna. Seorang rohaniwan J.H. Arnold mengatakan, “Discipleship is not a question of our own doing; it is a matter of making room for God,  so that He can live in us.
Demikian kisah ini terjadi menjadi sejarah yang tidak akan hilang. Kisah yang mungkin akan diceritakan dari generasi ke generasi sebagai sebuah pewarisan yang menarik untuk dibagikan. Inilah kisah di balik (se)kantong kasih untukmu, saudaraku.

Terimakasih untuk Natal yang Indah

(Duduk bersama dan berbagi dari hati ke hati)


Kebekuan yang ingin kucairkan
Rasanya lama sekali aku tidak berbagi pergulatan dan perasaan dengan bapak serta ibu. Selama rentang waktu yang cukup lama, aku bergelut dalam kesendirian. Kegelisahan yang ada dalam batin kubiarkan bergemuruh, tidak kuredam dan tidak kubuang. Pertanyaan dan kecemasan batin tersusun rapi dalam kebisuan bibir dan sikap-sikapku saat berada di rumah. Setiap aku pulang ke rumah, ada perasaan asing. Heran, aku terasing di rumah sendiri. Mungkin perasaan ini terlalu berlebihan, tetapi inilah yang kurasakan.
 Pada bulan Desember ini, aku telah menuntaskan segala tugas studi dengan lancar. Kendati proses yang kulewati harus tertatih. Aku bersyukur kepada Tuhan. Tuhan tetap memberi kekuatan untuk menuntaskan semuanya dengan baik. Perjalanan panggilan terus kutapaki meski dibumbui dengan pergulatan-pergulatan kecil. Di tengah perasaan syukur itu, aku berniat membagikan semua pergulatan dan kegelisahan kepada mereka, bapak dan ibu. Dan ini telah kurencanakan jauh-jauh hari sebelumnya.

Sampai akhirnya libur telah tiba.

Di teras rumah kami bercerita
Rumah kami memiliki teras di bagian samping belakang. Tembok-temboknya dihiasi beberapa lukisan tokoh pewayangan: Dewaruci, Semar, dan lukisan pemandangan alam. Di teras inilah aku bercerita dengan bapak dan ibu. Ditemani suara dedaunan bambu yang tertiup angin, serta semilirnya angin siang itu membuat hatiku sedikit tenang, tidak kemrungsung. Aku memang tidak terbiasa bercerita, maka kuurutkan saja seperti ini.
Pertama, aku bercerita tentang perjalanan panggilanku sebagai calon imam. Pengalaman jatuh bangun dan kesetiaan untuk bergelut di dalamnya. Aku bersyukur untuk semua pengalaman itu. Khususnya orang-orang yang hadir, yang mencintai dan mendoakan dengan penuh ketulusan. Melalui pengalaman-pengalaman itu aku diteguhkan.
Kedua, aku ngudarasa mengenai suasana di dalam keluarga. Beberapa tahun ini, keluarga kami mengalami paceklik - kesulitan hidup. Lebih-lebih pasca pilkades (tahun 2007) yang berbuntut panjang. Suasana hangat berganti dingin, suasana akrab perlahan renggang. Sekali lagi ini adalah pengalamanku yang pertama untuk berbagi unek-unek dengan bapak dan ibu. Batinku bergetar, tanpa terasa aku bercerita sembari mrebes mili, kendati air mata telah kutahan sekuat tenaga. Tapi ia tetap lolos bahkan berhasil membasahi wajahku. Perlahan serentetan kegelisahan runtut keluar dari bibir dan sikapku yang selama ini diam. Di balik itu ada secercah harapan yang (semoga) memberi pencerahan dalam hidupku maupun kami sekeluarga. 
Bapak dan ibu menanggapi kegelisahan dan pergulatanku dengan tenang dan terbuka. Dan di teras rumah inilah awal perubahan hati kami mulai terasa. Hati yang beku perlahan mencair karena kasih, kehangatan yang pernah hilang kini perlahan kembali, serta kedamaian yang beberapa waktu tenggelam perlahan muncul.
Bapak menanggapi kegelisahanku dengan berkata, “Ini adalah ujian dari Tuhan. Bapak belajar memaknai peristiwa-peristiwa sulit dalam keluarga sebagai ujian dari Tuhan. Justru melalui peristiwa sulit ini, bapak dan ibu diajari nrima apa wae pemberian Tuhan. Bapak dan ibu juga semakin mikir urip dengan lebih baik. Intinya, bapak dan ibu tetap bersyukur, sebab Tuhan memberi jalan terang. Tuhan tidak meninggalkan bapak dan ibu, dan kami masih setia berdoa kepadaNya”.
Aku mendengarkan cerita bapak dengan seksama, batinku benar-benar gemetar. Apalagi saat bapak mengatakan, “Memang berat tetapi kami belajar memaknai hidup dengan lebih baik. Tuhan sedang menguji kami”.
  
Saat Tuhan sedang menguji hidup,
Apakah kita lulus uji ?
Acap kali kita memberontak setiap kita mendapat kesulitan hidup, kegagalan, atau kesialan-kesialan sederhana yang menjengkelkan kita. Perusahaan yang mengalami bangkrut dengan buntut hutang sekian milyar, usaha dagang yang gagal karena merugi terus-menerus bahkan harus nombok, gaji PNS yang tidak lagi utuh diterima setiap bulannya sementara hutang mencekik setiap harinya, penghasilan tukang becak yang kembang-kempis sementara kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan anak terus merongrong. Lihat juga pengalaman sederhana para remaja dengan hasil studi -nilai yang selalu jelek-, relasi -putus cinta karena selingkuh, tidak punya teman dekat dan lain sebagainya-. Pengalaman itu bisa membuat kita patah semangat bahkan menyalahkan Tuhan. Jelas lagi dalam berita-berita surat kabar, siaran televisi banyak memberitakan orang mati bunuh diri karena stress, remaja gantung diri karena putus cinta -takut dimarahi karena nilainya jelek, orang tua membuang anaknya karena tidak mampu membiayai hidupnya-.
Di tengah-tengah kesulitan hidup itu tidak jarang muncul ungkapan, “Aduh Gusti, kok ya ora rampung-rampung, urip rekasa kaya ngéné”, “Tuhan mengapa tidak kunjung usai hidup sulit seperti ini?”. Dan, litani kata mengapa, mengapa, dan mengapa mungkin akan terus kita ucapkan kepada Tuhan.
Kita bisa belajar dari kisah Ayub yang mengalami cobaan hidup sangat berat. Ayub yang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan dalam hidupnya. Dilihat dari kemapanan hidupnya, ia termasuk orang yang mapan, orang berkecukupan dengan segala kekayaan yang ia miliki seperti kambing domba, unta, lembu, keledai betina dan budak. Kesempurnaan hidupnya semakin lengkap dengan lahirnya tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan.
Kesalehan, kejujuran, kesejahteraan hidupnya menunjukan ia orang yang diberkati Tuhan. Ayub adalah pribadi yang saleh dan jujur. Pribadi yang setia dan takut akan Allah serta menjauhi segala kejahatan. Oleh karena itu, ia selalu hidup bahagia. Akan tetapi gerak iblis sangatlah cerdik. Dalam perbincangan iblis dengan Tuhan, iblis mengajukan tantangan kepada Tuhan untuk melepaskan segala yang dimiliki oleh Ayub. Apakah Ayub akan tetap saleh saat ia tidak memiliki apa-apa dalam hidupnya? Iblis menambahkan, “Niscaya Ayub akan mengutuki Engkau di hadapanMu” (Ayub 1:8-11). Dan benar, pada saat segala sesuatu yang “dicintai” Ayub satu per satu hilang dari padanya, mulai dari keluarga, sahabat, kesehatan, dan kekayaannya, Ayub sungguh berkabung dengan hidup yang sedang dialaminya. Tidak banyak kata yang terucap. Ia hanya membisu dalam keterguncangan batinnya yang tidak dapat menerima kenyataan yang tengah ia alami.
Pengalaman Ayub adalah cermin pengalaman kita, dalam penderitaan. Entah karena penyakit yang mengakibatkan tekanan batin mendalam, kegagalan usaha, kehilangan orang yang tersayang, atau pada masa tertentu kita merasa jauh dengan Tuhan. Menurut bahasa kita, apa yang dialami Ayub adalah ujian. Ayub sedang diuji. Dan persis saat itulah ia dihadapkan pada kenyataan yang sulit, ada keinginan menjadi dekat dengan Tuhan, sekaligus muncul keraguan dan ketakutan terhadapNya, karena Tuhan terasa jauh dan mengancam. Pergumulan ini dialami oleh Ayub manakala penderitaan itu merongrong hidupnya dengan bertubi-tubi.

Di tengah penderitaan, Tuhan pasti datang!!
Di tengah penderitaan Ayub, Tuhan hadir dengan penuh kasih. Berkat kasih Tuhan inilah, hati Ayub menjadi lega. Ayub menemukan keyakinan bahwa Tuhan memberikan jalan terang dalam hidupnya. Ayub menemukan imannya kepada Tuhan justru semakin mendalam. Berkat iman yang ia miliki, ia mampu menerima berbagai kemungkinan yang dapat menimpa hidupnya. Iman Ayub terungkap dalam sikap rendah hati dan kepasrahannya kepada Tuhan, “hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau (Ayub 42:5).
Kasih Allah yang menyapa hidupnya yang tengah berada dalam penderitaan mampu memperdalam imannya kepada Tuhan. Hatinya justru kian peka dan terbuka terhadap segala rancangan Tuhan sebab Tuhan tetap memberi jalan terang.
Kepekaan dan keterbukaan terhadap segala rancangan Tuhan, serta keberanian mengambil jarak atas realitas penderitaan akan mengantar kita pada penemuan makna hidup yang mendalam. Tuhan pasti berkarya dalam hidup kita, dan pada akhirnya Ia selalu mempunyai rencana indah untuk hidup kita.
Akhirnya, pertama, penderitaan adalah suatu masa di mana Tuhan menguji iman kita kepadaNya. Apakah kita benar-benar mampu rendah hati menerima serta memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Kisah Ayub mampu menguatkan kita betapa penting berjalan bersama Tuhan, menikmati hidup bersamaNya. Hal senada diungkapkan Paulus saat ia merefleksikan penderitaannya. Paulus menggunakan istilah penderitaannya, “duri dalam dagingku”, yaitu iblis yang menggocoh dirinya (2 Kor 12:7). Namun, Tuhan berbicara kepadanya, “cukuplah karuniaKu bagimu, sebab dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna”. Kedua, penderitaan toh ada batasnya.  Penderitaan pasti akan berakhir, kendati kita tidak pernah bisa memastikan waktunya. Tuhan pasti akan datang, Tuhan pasti akan merangkul, Tuhan pasti akan memeluk kita dengan erat dalam pelukan kasihNya yang hangat.
Sebagaimana Yesus alami saat puncak penderitaanNya di kayu salib dan berteriak, “Ya TuhanKu dan AllahKu, mengapa Kau tinggalkan Aku”. Penderitaan yang Yesus alami –untuk sesaat- membuatNya jauh dari Tuhan. Namun, Yesus tahu bahwa Ia diutus untuk melakukan kehendakNya. Inilah yang mendekatkan diriNya dengan Tuhan. Ia memasrahkan segala nafas hidupNya ke dalam tangan Tuhan, “Ya Tuhan, ke dalam tanganMu, Kuserahkan nyawaKu”. Penyerahan dan kepasrahan Yesus yang mengagumkan. Semoga kita bisa menemukan kepasrahan dan keyakinan yang mendalam kepadaNya.