Aku lebih suka
mensyukuri apa yang bisa aku lakukan,
daripada meratapi apa yang tidak bisa aku
lakukan
(Lena Maria)
Gentar
rasanya berhadapan dengan sebuah kenyataan yang mengerikan, terlebih bersangkut
paut dengan hidup dan mati. Abu, hujan pasir, dan lahar dingin Merapi membuat
gentar semua yang berada di sekitarnya.
- Sejak tanggal 5 November 2010, Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan
menjadi tempat pengungsian korban Merapi lebih dari 900-an orang. Mereka (pengungsi) datang dari berbagai daerah di sekitar
Pakem (lereng Merapi). Efek letusan yang dahsyat membuat orang-orang harus
mengungsi. Apalagi ditambah informasi jangkauan radius bahaya Merapi diperluas
dari 15 km menjadi 20 km dari puncak Merapi. Sejak saat itulah, Seminari
menjadi Posko Pengungsi. Para romo, frater, relawan bahu membahu melayani para
pengungsi. Lantas pada tanggal 25 November 2010 posko Merapi Happy ditutup.
Para pengungsi kembali ke tempat mereka masing-masing untuk memulai hidup yang
baru -.
Ada banyak kisah di balik
peristiwa Merapi ini. Ada kisah sedih, kehilangan, kecewa, bingung, tanpa
pengharapan, dan kosong…… Semua kisah itu terbalut dalam satu bingkai
“bencana”. Dan inilah salah satu kisah yang diambil dari bingkai “bencana” itu,
kisah yang terangkai dari serentetan pengalaman bersama para pengungsi, kisah
yang tersemat di balik tebalnya debu-debu Merapi.
Pada suatu petang, di
tengah meriahnya dinamika anak-anak pengungsi bersama tim trauma healing, seorang gadis remaja, bertanya padaku,
“Loh frater yang ngepel gang dan membuang sampah-sampah
itu to, aku kira cleaning service,”
tanyanya sembari tersenyum.
“Haha…Betul sekali, itu
aku. Wah udah pantes ya jadi cleaning
service,” jawabku dengan tertawa kecil.
“Hebat frater, nanti
makannya yang banyak frater, biar ngepelnya
kuat hehehe,” candanya sedikit mengejek. Dia adalah Vita. Dulu dia menjadi
muridku, saat aku berpastoral mengajar di salah satu SMK. Ia anak yang pendiam,
tapi pandai. Sebenarnya aku sedikit lupa, sebab lama tidak bertemu, kurang
lebih 5 tahun. Ingatanku kembali muncul, saat ia asyik bercerita kenangan
belajar di kelas dulu. Ya barulah kuingat dirinya. Masa-masa mengajar yang
membahagiakan. Pikirku melayang sembari mengingat kenakalan dan kreatifnya
murid-muridku.
Perjumpaan singkat yang
lantas menyisakan tanya dan kegelisahan dalam hatiku. Dan aku heran mengapa aku
harus mempertanyakan atau gelisah terhadap pekerjaanku saat ini, cleaning service??
Gengsi
Gedhe-Gedhe-an
Memang
benar, aku bertugas untuk membersihkan lingkungan posko seminari dan pengungsi.
Awal ngepel gang rasanya ada
pergulatan. “Gengsi rasanya, masa
ngepel???” Begitulah hatiku bergumam. Padahal ngepel sudah menjadi pekerjaan biasa di seminari. Tetapi mengapa
masih bergulat? Aku bertanya pada diriku sendiri. Berbagai rasionalisasi muncul
menguatkan gengsi yang sudah bercokol di hati. Entah dengan alasan sedikit
teman-sedikit relawan yang mau membantu, atau yang lainnya. Dalam situasi
perasaan seperti itu pekerjaan menjadi terasa berat dan membosankan. Aku
merasakan disposisi batin yang tidak pantas. Batinku sendiri memberontak, hati
berperang antara ingin melayani sepenuh hati dan gengsi.
“Wah aku egois sekali,”
gumamku dalam hati.
“Mengapa aku tidak
melakukannya dengan sukacita. Ini adalah bentuk pelayananku pada mereka. Ya
benar. Aku…” Pergulatan-pergulatan kecil itu mendidih di tengah pekerjaan yang
sedang kulakukan, hingga pada satu perjumpaan tanpa sengaja dengan seorang
perempuan tua, dan realitas lingkungan yang tidak sewajarnya, aku berbenah.
Pengalaman gengsi gedhe-gedhean itu berubah
manakala aku menjumpai seorang perempuan tua berada di tengah gundukan sampah
di belakang seminari. Perempuan itu memakai baju lengan panjang, masker
sederhana, dan bertopi. Di sekitarnya lalat beterbangan, bau tidak sedap
menusuk hidung.
“Betah sekali ibu itu,” gumamku dalam hati. Lain waktu aku melihat
sampah-sampah yang berserakan, tong sampah yang isinya hampir tumpah. Hatiku
gelisah, hatiku tidak “jenak”. Dan keputusan yang kuambil adalah “aku mengambil
kantong plastik hitam besar, dan kuambil sampah-sampah itu, sendiri”. Aku
berpindah dari tong satu ke tong yang lain, hingga kedua tanganku tak lagi
mampu membawa semua kantong berisi sampah itu. Saat itu, aku merasa lebih
nyaman, aku tidak merasa gengsi, dan
aku menikmatinya. Entah mengapa, perasaan gengsi
itu perlahan luntur. Aku tidak peduli lagi dengan rasa gengsi itu, aku tidak
peduli lagi pada kesendirian tugasku, yang jelas aku ingin melakukannya dengan
sukacita. Aku bergumam dalam hati, “Inilah yang bisa kuberikan untukmu,
saudaraku. Kantong-kantong kasih sederhana untuk menghibur hatimu yang sedih,
bimbang karena bencana. Tidak bisa kuberikan yang lain, tapi inilah hati
sukacitaku, untukmu”. Akhirnya aku menemukan makna di balik semua peristiwa
ini. Seorang Lena Maria, seorang
cacat yang tegar hati meneguhkanku, “Aku lebih suka mensyukuri apa yang bisa
kulakukan, daripada meratapi apa yang tidak bisa aku lakukan”.
Hati yang
mencintai dan tangan yang melayani
Kebahagiaanku
dalam melayani lahir dari perjumpaan fisik, dialog batin dan rasa dari sekian
peristiwa. Memaknai pelayanan bukan sebagai prestise,
pelayanan lahir dari sebuah kasih, cinta yang mendalam. Keterlibatan serta
perjuangan untuk kehidupan banyak orang adalah bukti dari cinta. Tangan yang
melayani sebagai perpanjangan hati yang mencintai adalah dasar dari sukacita
pelayanan itu. Aku menemukan makna dalam pelayananku saat ini. Pelayanan
sederhana yang kulakukan dengan sukacita. Maka, untuk apa mempertanyakan
kegelisahan diri sendiri yang cenderung membawa pada egoisme, mengapa harus
mempersoalkan prestise? Mengapa memikirkan gengsi? Ini adalah pelayanan. Mereka
membutuhkan kasih yang tulus, bukan
kasih yang pilih-pilih, bukan kasih yang setengah-setengah, kasih yang “lamis”.
Hatiku terbingkai dalam
satu kata “Cinta” yang membuatku indah memaknai setiap peristiwa. Pekerjaan
tidak lagi berat, tidak lagi membosankan. Semakin hari terlihat olehku
tangan-tangan kasih yang bahu membahu membantu. “Fantastik…. teman-temanku,
para relawan… kalian semua hebat”. Hatiku gemetar manakala merasakan cinta yang
begitu dalam terbagikan. Cinta yang terbagi dari sekian hati serta tangan yang
sungguh terlibat melayani.
Inilah kisahku, kisah
sederhana yang tertimbun debu-debu Merapi. Kisah yang meneguhkanku sebagai
seorang calon imam. Bagaimana menempatkan “hati dan tangan” dalam pelayanan,
dalam karya pastoral di tengah umat yang sedang kulayani. Inilah sisi-sisi
transformasi yang membawa pengubahan batin dalam diriku. Kian mendalam
kurasakan betapa indah dan mengagumkan memaknai setiap peristiwa dari kemurnian
kacamata iman. Inilah esensi kemuridan, bagaimana roh Allah sendiri mengaliri
setiap hati dan tangan, bukan semata aktivitas manusiawi tanpa makna. Seorang
rohaniwan J.H. Arnold mengatakan, “Discipleship
is not a question of our own doing; it is a matter of making room for God, so that He can live in us.
Demikian kisah ini
terjadi menjadi sejarah yang tidak akan hilang. Kisah yang mungkin akan
diceritakan dari generasi ke generasi sebagai sebuah pewarisan yang menarik
untuk dibagikan. Inilah kisah di balik (se)kantong kasih untukmu, saudaraku.