“Saya
tidak begitu mengenal orang-orang China berikut tradisi dan budaya mereka
sampai akhirnya saya tinggal di Pekalongan selama satu tahun. Rasanya begitu
jauh untuk mengenal mereka. Ada banyak pandangan yang miring terhadap mereka.
Namun, pandangan itu perlahan berubah seiring berjumpa dan berdinamika bersama
mereka. Tidak serta merta saya menghakimi mereka secara sepihak. Justru saya
juga menemukan hal baik dalam diri mereka dari sisi budaya, kehidupan, cara
kerja, dan spiritualitas mereka ”
Gereja merupakan
persekutuan umat beriman Kristiani yang beriman kepada Yesus Kristus yang
mewartakan kabar keselamatan kepada semua orang. Sebagai persekutuan, Gereja
terbentuk dari berbagai kalangan umat dengan berbagai macam latar belakang
sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Latar belakang sosial, budaya,
ekonomi itu sedikit banyak mempengaruhi dinamika Gereja yang terbentuk,
bertumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, Gereja yang mau mendarat, hidup dan
berkembang harus mampu menyentuh kebutuhan umat yang dilayaninya, termasuk
berkaitan dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi dll.
Dalam usahanya
semakin menegakkan Kerajaan Allah (Visi Arah Haluan Keuskupan Purwokerto),
Gereja harus mengenali karakteristik umat di dalamnya. Tujuannya supaya
pelayanan Gereja menyentuh dan menyapa mereka. Perbedaan latar belakang budaya
akan mempengaruhi bagaimana sebaiknya pelayanan Gereja dibuat.
Pemahaman saya
terhadap mereka terasa begitu dangkal. Saya tidak mengenal baik budaya dan
tradisi yang berkembang di dalamnya. Ini menjadi kelemahan saya sebagai tenaga
pastoral. Bahwa setidaknya, tenaga pastoral harus lebih dulu membaca,
mengenali, dan mencermati subyek pastoral yang dilayani. Agar pelayanan itu
efektif. Sekilas pandang berjumpa dengan umat Tionghoa, tampaknya beberapa umat
Tionghoa masih membuat beberapa ritual atau tradisi yang diwariskan oleh
leluhur mereka. Kendati tidak semua dari mereka melakukannya dengan baik dan
benar. Artinya, soal pelaksanaan dan pemaknaan yang kurang mendalam. Pertanyaan
untuk mereka adalah Bagaimana identitas mereka, sebagai orang Tionghoa, di
Indonesia atau Keuskupan Purwokerto khususnya? Apakah mereka menghidupi
nilai-nilai kebudayaan Tionghoa dengan baik, atau bahkan mendalami dan
mengembangkan kebudayaan Tionghoa.
Beberapa hal
yang saya tahu berkaitan dengan tradisi Tionghoa adalah pertama, mengenai
penghormatan arwah (leluhur). Mereka membuatnya sebagai sebuah warisan dari
leluhur mereka. Kendati praktek ini tidak serta merta dibuat oleh mereka. Ctt: saya masih dangkal soal pengetahuan
ini, apakah di dalamnya tidak ada benturan paham antara penghormatan leluhur
tionghoa dengan peringatan-peringatan yang dibuat oleh Gereja Katolik? Mungkin,
penghormatan kepada leluhur sebagai bakti anak kepada orangtua, mendoakan
mereka agar hidup abadi di surga dll. Dengan kata lain, sebagai sarana
menghormati dan mendoakan para arwah leluhur agar diterima Tuhan, sebagai usaha
mengikuti tradisi yang sudah ada dalam keluarganya, atau sebagai usaha
memperoleh keselamatan dari para leluhur. Ini yang perlu dijernihkan!!!
Kedua, tahun baru imlek. Perayaan syukur kepada
Yang Maha Tinggi, dihindarikan dari segala malapetaka dan dirahmati dengan
rejeki yang berlimpah. Dalam perayaan
itu ada aneka macam simbol dari camilan, kue, buah, agar-agar, ikan, nasi, dan
tradisi seni barongsai dll. Mereka sangat kaya dengan simbol. Demikian Gereja
pun kaya akan simbol. Maka, semua bisa ditatapkan satu sama lain, asal kita
mengetahui makna dibalik simbol-simbol itu. (Animal symbolicum –manusia mengungkapkan dirinya dalam bentuk-bentuk
simbol).
Nilai yang kuat
berkembang dari budaya dan tradisi Tionghoa adalah soal penghormatan kepada
orangtua, kepada leluhur serta keharmonisan hidup pribadi dengan alam, dan
sekitarnya. Paham, “siapa menanam, ia akan menuai” rasanya melekat dalam hati
mereka. Selain juga spiritualitas kerja yang selalu ditekuninya dengan baik.
Saya setuju dengan spiritualitas yang disampaikan oleh Rm. Maryoto, bahwa
mereka memiliki semangat kerja, ulet, sangat menghormati leluhur, dan menjaga
nama baik keluarga, Keharmonisan relasi manusia
dengan alam yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi, manusia tidak
pernah lepas dari alam, tindakannya berdampak pada alam semesta, dan seluruh
alam semesta mempengaruhi dirinya.
Pastoral Kontekstual
Teologi yang
berkembang di Asia berhadapan dengan tiga realitas, yaitu keagamaan,
kebudayaan, dan kemiskinan. Berhadapan dengan tiga realitas itu, rasanya
menjadi mungkin dan baik jika Gereja bisa menempatkan diri dengan baik dengan
ketiga realitas itu. Ctt: Rm. Kristi : menemukan wajah Kristus yang
kontekstual.
Belajar dari
Matteo Ricci yang bermisi di China. Dia menggunakan pintu masuk budaya untuk
mengenalkan Kristus. Kristus dikenalkan dengan gampang, sederhana, terlebih
berhadapan dengan mereka yang belum mengenal Kristus. Matteo Ricci belajar
budaya terlebih dahulu. Catatan tambahan : budaya China tidak mengenal
penderitaan. (Prinsip hidup yang disampaikan bapak Edi: Tuhan tidak mengatur
kesuksesan dan kegagalan mereka. Kesuksesan dan kegagalan tergantung di tangan
mereka sendiri. Tuhan hanya urusan hidup dan mati manusia saja). Maka, konsep
penderitaan manusia hanyalah rekaan manusia, penderitaan hanyalah manusia.
Tuhan tidak akan pernah menderita. Sementara bagi Katolik, Kristus adalah Dia
yang menderita.
Kita sebagai
tenaga pastoral, mampu menempatkan diri, merasuk dan melebur dengan mereka
untuk mengenalkan mereka pada Kristus, “masuk melalui pintu mereka, keluar
melalui pintu kita”- sebab iman tumbuh dari kebudayaan setempat bukan
dipaksakan dari luar.
Berhadapan
dengan budaya dan tradisi setempat, Gereja perlu hati-hati agar tidak terbawa
dalam arus sinkretisme. Atau
setidaknya mengarahkan umat untuk jeli dalam menghidupi tradisi budaya dan
keagamaan mereka dengan baik. Jangan sampai toleransi menjadi suatu pengesahan
terhadap praktek sinkretisme. Maka, fungsi tenaga pastoral untuk bisa mengenal
budaya dan tradisi setempat dengan baik. Mana yang selaras dengan Gereja
Katolik mana yang tidak!!
Bagiku:
1.
Membuka wacana dan kesadaran baru
mengenai realitas umat yang hidup dan berkembang di Keuskupan Purwokerto.
2.
Diajak untuk mengakrabi
kebudayaan setempat dengan baik sebagai sarana efektifitas pastoral yang mau
dikembangkan demi perkembangan umat.
3.
Tujuannya akhirnya bisa
mengembangkan Katekese yang kontekstual dengan mengenali kebudayaan mereka,
mengenali pola kepercayaan mereka dan memasukkan unsur-unsur kristiani dalam
katekese. Tujuannya agar mereka mengerti akan misteri Kristus, memahami
maknanya, serta hidup baru dalam diriNya.
4. Mengasup
dan mengembangkan spiritualitas hidup mereka yang dapat menjadi daya yang baik
(kalau dimanfaatkan dalam Gereja) untuk perkembangan Gereja: penghormatan
kepada leluhur, orang yg lebih tua, semangat kerja dll.
5. Melibatkan
mereka dalam kehidupan menggereja secara otentik
No comments:
Post a Comment