Pada saat-saat
tertentu, kita pasti akan lebih gampang percaya atau menilai bahwa dari seekor
ulat bulu yang jelek itu bisa lahir seekor kupu-kupu yang indah, juga tidak
sulit bagi kita menerima bahwa dari sebuah telur yang kecil akan menetas seekor
burung perkasa. Tetapi apakah mudah bagi kita melihat kebaikan, potensi
seseorang yang kita anggap musuh, seseorang yang tidak kita kenal, seseorang
yang diasingkan dalam masyarakat?
Seperti
satu titik hitam yang menodai selembar kertas putih polos. Titik hitam akan
menampilkan kesan kotor pada keseluruhan kertas putih itu. Singkatnya, akan
begitu jelas dan gampang kita menilai hitamnya. Jika ditanya ada apa di
selembar kertas ini? Pasti langsung dijawab titik hitam. Rasanya tidak jauh berbeda
kita menilai atau dinilai orang lain. Sekali kesalahan-satu titik noda- bisa
jadi menutup sisi lain dari kehidupan kita. Sisi negatif sikap, sifat, dan
tindakan kita akan lebih mudah dilihat oleh orang lain dibandingkan
kebaikan-kebaikan kita. Sekali men-cap seseorang secara negatif, tidak mudah
bagi kita menilainya secara positif.
Setiap
pagi seorang imam memiliki kewajiban memimpin ekaristi. Entah karena suatu apa,
imam itu terlambat bangun pagi, sehingga misa pagi agak molor. Dengan rendah
hati, imam itu meminta maaf kepada segenap umat atas keterlambatannya. Dalam
misa-misa sebelumnya, ia selalu datang 5 atau 10 menit sebelum misa pagi mulai.
Tetapi pagi itu, ia terlambat. Satu berita yang tersebar di tengah umat dan
mengejutkannya, “romone ngeblukan. Romone
ora iso tangi esuk”. Imam bingung padahal peristiwa ini baru terjadi
sekali. Lain lagi frater yang terkadang terlambat masuk kuliah, “wah fratere telatan (suka terlambat)”, atau
segelintir umat yang senangnya ngrasani
umate, “ibu itu senenge nggosip”.
“Ada
sisi Positifnya koq”
Label-label
yang telah terpasang secara otomatis akan mempengaruhi cara pandang kita
terhadap seseorang. Mungkin kita akan menjadi
berhati-hati dalam berelasi dengan orang yang ber”label” itu, atau malah
mungkin menjauhinya sama sekali. Label-label ini tak sepenuhnya baik. Mungkin
benar, bahwa tiap orang tidak akan pernah lepas dari label. Tetapi kita tidak
bisa mengingkari bahwa di balik label-label negatif itu, tetap ada sisi positif
yang pantas dipertimbangkan. Bagaimana kita melihat orang lain secara
bijaksana?
Pertama, kita menempatkan
cara berpikir, cara pandang kita secara positif. Dengan melihat sisi positif
atau kebaikan-kebaikan seseorang kita bisa terbantu dalam menyingkirkan
label-label yang ada sebelumnya. Walau bagaimanapun seseorang diciptakan Tuhan
baik adanya (Kej 1:31). Setiap manusia diciptakan unik. Kedua, Kita tidak tergesa menilai seseorang. Artinya, dalam hidup
bersama rasanya tidak pernah menjadi mudah melihat, mendengar dan menilai
seseorang. Ada banyak hal yang bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam
memberikan penilaian terhadap seseorang. Dengan demikian, kita belajar menjadi
netral dan melihatnya secara lebih baik. Ketiga,
Kita berani mengambil jarak. Dengan mengambil jarak kita akan terbantu
melihat secara netral. Ibarat naik gunung yang tinggi. Pada ketinggian itulah
kita bisa melihat sesuatu secara lebih kompleks. Demikian dengan mengambil
jarak kita bisa melihat seseorang secara holistik dari berbagai sudut pandang. Keempat, memandang orang lain dengan
penuh kasih. Iris Murdoch mengatakan
bahwa dengan memandang seseorang, sesuatu, atau situasi dengan penuh
kasih-perhatian, orang semakin mencapai pengertian yang sungguh-sungguh dan
karenanya ia seolah-olah dengan sendirinya tahu bagaimana harus bersikap. Kasih
mengajari kita untuk mencintai orang lain apa adanya. Kasih menyadarkan kita
akan kebaikan Tuhan yang tercipta dalam diri kita dan orang lain, sebagaimana
Tuhan telah menciptakan kita unik adanya.
No comments:
Post a Comment