Thursday, June 13, 2013

“Memandang dengan kasih”



Pada saat-saat tertentu, kita pasti akan lebih gampang percaya atau menilai bahwa dari seekor ulat bulu yang jelek itu bisa lahir seekor kupu-kupu yang indah, juga tidak sulit bagi kita menerima bahwa dari sebuah telur yang kecil akan menetas seekor burung perkasa. Tetapi apakah mudah bagi kita melihat kebaikan, potensi seseorang yang kita anggap musuh, seseorang yang tidak kita kenal, seseorang yang diasingkan dalam masyarakat?
Seperti satu titik hitam yang menodai selembar kertas putih polos. Titik hitam akan menampilkan kesan kotor pada keseluruhan kertas putih itu. Singkatnya, akan begitu jelas dan gampang kita menilai hitamnya. Jika ditanya ada apa di selembar kertas ini? Pasti langsung dijawab titik hitam. Rasanya tidak jauh berbeda kita menilai atau dinilai orang lain. Sekali kesalahan-satu titik noda- bisa jadi menutup sisi lain dari kehidupan kita. Sisi negatif sikap, sifat, dan tindakan kita akan lebih mudah dilihat oleh orang lain dibandingkan kebaikan-kebaikan kita. Sekali men-cap seseorang secara negatif, tidak mudah bagi kita menilainya secara positif.
Setiap pagi seorang imam memiliki kewajiban memimpin ekaristi. Entah karena suatu apa, imam itu terlambat bangun pagi, sehingga misa pagi agak molor. Dengan rendah hati, imam itu meminta maaf kepada segenap umat atas keterlambatannya. Dalam misa-misa sebelumnya, ia selalu datang 5 atau 10 menit sebelum misa pagi mulai. Tetapi pagi itu, ia terlambat. Satu berita yang tersebar di tengah umat dan mengejutkannya, “romone ngeblukan. Romone ora iso tangi esuk”. Imam bingung padahal peristiwa ini baru terjadi sekali. Lain lagi frater yang terkadang terlambat masuk kuliah, “wah fratere telatan (suka terlambat)”, atau segelintir umat yang senangnya ngrasani umate, “ibu itu senenge nggosip”.

“Ada sisi Positifnya koq
Label-label yang telah terpasang secara otomatis akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap seseorang.  Mungkin kita akan menjadi berhati-hati dalam berelasi dengan orang yang ber”label” itu, atau malah mungkin menjauhinya sama sekali. Label-label ini tak sepenuhnya baik. Mungkin benar, bahwa tiap orang tidak akan pernah lepas dari label. Tetapi kita tidak bisa mengingkari bahwa di balik label-label negatif itu, tetap ada sisi positif yang pantas dipertimbangkan. Bagaimana kita melihat orang lain secara bijaksana?
Pertama, kita menempatkan cara berpikir, cara pandang kita secara positif. Dengan melihat sisi positif atau kebaikan-kebaikan seseorang kita bisa terbantu dalam menyingkirkan label-label yang ada sebelumnya. Walau bagaimanapun seseorang diciptakan Tuhan baik adanya (Kej 1:31). Setiap manusia diciptakan unik. Kedua, Kita tidak tergesa menilai seseorang. Artinya, dalam hidup bersama rasanya tidak pernah menjadi mudah melihat, mendengar dan menilai seseorang. Ada banyak hal yang bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan penilaian terhadap seseorang. Dengan demikian, kita belajar menjadi netral dan melihatnya secara lebih baik. Ketiga, Kita berani mengambil jarak. Dengan mengambil jarak kita akan terbantu melihat secara netral. Ibarat naik gunung yang tinggi. Pada ketinggian itulah kita bisa melihat sesuatu secara lebih kompleks. Demikian dengan mengambil jarak kita bisa melihat seseorang secara holistik dari berbagai sudut pandang. Keempat, memandang orang lain dengan penuh kasih. Iris Murdoch mengatakan bahwa dengan memandang seseorang, sesuatu, atau situasi dengan penuh kasih-perhatian, orang semakin mencapai pengertian yang sungguh-sungguh dan karenanya ia seolah-olah dengan sendirinya tahu bagaimana harus bersikap. Kasih mengajari kita untuk mencintai orang lain apa adanya. Kasih menyadarkan kita akan kebaikan Tuhan yang tercipta dalam diri kita dan orang lain, sebagaimana Tuhan telah menciptakan kita unik adanya.

No comments:

Post a Comment