Thursday, June 13, 2013

Memaknai Novena Sebagai Devosi Umat




Saat ada peristiwa Garebek di alun-alun Yogyakarta, berbondong-bondong orang datang dan menyaksikan peristiwa itu. Mereka menyaksikan arak-arakkan gunungan yang dilengkapi dengan bermacam makanan atau materi gunungan. Yang menarik bagi saya adalah peristiwa sesudah perarakan gunungan itu. Setelah gunungan selesai diarak, dan di doakan, biasanya oleh Kyai Pengulu, yang memohon keselamatan bagi sultan, para putera serta kerabat dalem, juga keselamatan bagi kerajaan beserta rakyatnya. Sedekah yang telah didoakan dibagi-bagikan kepada pembesar, kerabat dalem, prajurit dan pegawai keraton[1] malah kini orang-orang berlomba merayah gunungan itu. Mereka percaya bahwa melalui hasil rayahan itu mereka akan mendapat berkah. Inilah makna dibalik simbol tradisi adat keagamaan yang berkembang. Tujuan merayah gunungan adalah untuk ngalap berkah (meminta berkah) dari Tuhan. Saya masih ingat ketika seseorang diwawancarai di salah satu stasiun televisi swasta, “Apakah bapak ikut merayah gunungan itu? Apa yang didapat? Apa yang bapak percayai dari peristiwa ini?”. Lantas bapak itu menjawab, “Saya dapat kacang panjang. Intinya, ya semoga saya dapat berkah, entah rejeki yang lancar, panjang usia, atau kesuksesan dalam kerja, keluarga,....dst”. Beberapa orang yang lain mengatakan hal senada atas keterlibatan mereka merayah gunungan itu. Intinya mereka mau ngalap berkah.
Itulah yang terbesit dalam pikiran saya saat memikirkan dan merenungkan tema cor unum saat ini, yaitu “Ngalap Berkah Novena”. Rasanya peristiwa adat keagamaan itu bisa membuka permenungan kita dalam memaknai novena yang tumbuh di hati umat beriman. Bagaimana kita memandang dan memakani novena sebagai “Ngalap Berkah” secara benar.

Kerinduan akan Tuhan
Rasanya semua berawal dari sebuah kerinduan untuk mengalami kasih dan cinta Tuhan dalam kehidupan. Kerinduan rohani -berjumpa, tinggal bersamaNya, serta mengalami kasihNya- yang menggerakkan kita untuk mencari dan menemukan wadah yang mampu menampung dan memuaskannya. Perjumpaan itu biasa kita lakukan dalam doa. Apakah doa itu? Doa merupakan saat-saat kita berjumpa dengan Tuhan secara personal. Basil Pennington, OCSO menggambarkan saat berdoa seperti saat bersama sahabat sejati sembari minum kopi setiap hari. Peristiwa duduk bersama, minum kopi adalah saat-saat penting itu. Ketika salah seorang tidak datang, kita pasti akan melewatkan saat khusus itu dengan sia-sia. Tetapi ketika kita datang bersama, kita duduk bersama, kita bisa merencanakan banyak hal yang mau kita buat. Melalui duduk bersama sembari minum kopi kita melakukan penyegaran setiap hari. Cinta dan kehadiran adalah pengikatnya. Maka, doa bisa jadi merupakan peristiwa minum kopi bersama Tuhan. Doa adalah persahabatan dalam tindakan (prayer is friendship in action[2]). Berdoa adalah bagaimana kita hadir dan mencintai. Dengan kata lain, Basil Pennington, OCSO menegaskan Doa hanyalah kesediaan untuk meluangkan waktu, berkomunikasi pribadi dengan Tuhan, membangun keintiman rohani denganNya, dan yang terpenting adalah melakukannya secara teratur (rutin).
Doa-doa yang kita kembangkan meluap dari kebutuhan afeksi, emosi, kerinduan hati. Untuk memenuhinya kita kerap mencari bentuk-bentuk doa yang sesuai/cocok dengan kebutuhan kita. Tidak dipungkiri kita terkadang mengalami kemandegan manakala berjumpa dengan liturgi resmi Gereja yang terkesan rutin, kering, resmi, dan kaku. Oleh karenanya, kita mencari bentuk-bentuk liturgi Gereja yang mampu melepas dahaga rohani kita. Tentu saja liturgi resmi tidak boleh kita abaikan, seperti Ekaristi (liturgi resmi Gereja) harus menjadi sumber dan puncak iman kita. Melalui Ekaristi kita merayakan syukur, mengenangkan, dan menghadirkan misteri keselamatan Tuhan bagi kita. Lantas bagaimana kerinduan umat yang beranekaragam terwadahi? Inilah yang dikembangkan Gereja dengan devosi. Devosi berasal dari bahasa Latin devotio (dari kata kerja: devovere), yang berarti “kebaktian, pengorbanan, penyerahan, sumpah, kesalehan, cinta bakti”. Devosi dimaknai sebagai sikap hati dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari[3]. Dalam tradisi kristiani, devosi dipahami sebagai bentuk penghayatan dan pengungkapan iman Kristiani di luar liturgi resmi. Devosi lebih bersifat spontan dan lebih bebas serta dapat dibawakan secara pribadi maupun bersama. Meskipun bukan liturgi resmi, devosi diakui dan diterima oleh Gereja resmi[4]. Devosi mengalir dari rasa dan pengalaman religius umat dan merangkum seluruh segi kehidupan manusia. Apa yang tidak tertampung dalam liturgi resmi dapat ditemukan dalam praktek devosi umat, yakni kebutuhan afeksi, emosi dan kerinduan hati[5].

Novena Sebagai Devosi Umat
Devosi yang berkembang di dalam Gereja kiranya membantu sebagian besar kita mengalami Tuhan secara personal. Salah satu devosi yang berkembang di tengah umat misalnya doa novena. Kalau omong  tentang novena, saya teringat beberapa kisah ini. Pada suatu hari kakak saya bertanya via sms, “Sore mo, tanya, novena medali wasiat itu apa?”. Pertanyaan itu membuat saya tergelitik dan tersadar akan aneka jenis novena yang berkembang di tengah umat, dan tidak semua dari kita mengetahuinya. Kalau boleh disebutkan beberapa diantaranya novena Rahmat Karunia Kasih, novena kepada Hati Kudus, novena Santa Perawan Maria, novena Santa Perawan Maria Ratu, novena kepada Santo Yusup, novena kepada Bunda Maria dari Lourdes, novena kepada Bunda dari Gunung Karmel, novena pada Para Kudus dan lain sebagainya. Pada umumnya novena dimulai sembilan hari sebelum perayaan atau pesta yang dikaitkan dengan orang kudus tertentu.
Kesempatan lain saya berjumpa dengan umat yang banyak bertanya tentang arti novena, “Sebenarnya novena itu apa romo, Apakah kita mendoakannya harus sembilan kali, ga boleh bolong, apa bener kaya gitu?”. “Romo, Novena saya bolong beberapa kali. Apakah berarti doa saya tidak akan terkabul?”. Ketika mendengar pertanyaan itu, saya berpikir tentang beberapa hal praktis yang harus kita waspadai saat berdevosi. Salah satu kecenderungan praktis yang tidak benar bahwa kita mengkultuskan angka-angka tertentu, misalnya angka sembilan. Bahkan tidak jarang praktik novena mengarah pada tahayul, karena banyaknya pengaruh atau dampak luar biasa yang dikaitkan dengan praktek novena, dan karena angka sembilan dijadikan pusat dari devosi. Praktik semacam inilah yang harus kita waspadai. Jangan sampai devosi berubah makna menjadi praktik magis yang melenceng dari ajaran resmi Gereja. Devosi bukan mengarahkan kita pada tahayul atau pengkultusan angka tertentu.
Untuk mengantisipasi beberapa kekeliruan paham tentang novena, kita perlu tahu arti dan makna novena dengan benar. Novena berasal dari kata Latin novem, yang berarti sembilan. Doa novena adalah praktek doa yang dilakukan selama sembilan hari. Selama sembilan hari diisi dengan doa-doa tertentu bagi persiapan suatu pesta atau ujub permohonan yang penting. Kita perlu tahu bahwa dalam sejarah perkembangannya, penggunaan jumlah sembilan bukanlah khas kristiani, namun telah terdapat dalam tradisi religius masyarakat pada umumnya (3, 7, dst)[6]. Akan tetapi tradisi Kristiani memberi isi baru menurut pola Kis 1:13-14 ketika para Rasul bersama Bunda Maria bertekun dalam doa menantikan kedatangan Roh Kudus[7]. Novena sebagai praktek doa merupakan sarana mengalami perjumpaan personal dengan Tuhan yang melibatkan ketekunan, kesetiaan, dan kerinduan hati kepadaNya. Dalam perkembangan saat ini, novena harus tetap dipantau agar selalu pada koridor liturgi resmi Gereja. Artinya devosi jangan sampai dipandang sebagai pengganti liturgi resmi, “sregep novena tapi ora tau melu misa. Ini salah!!”. Praktek devosi harus dijauhkan dari bahaya praktek magis. Praktek magis terjadi apabila orang memandang kekuatan dan daya pengudusan berasal dari barang, mantra, hitungan angka itu sendiri. Misalnya orang percaya doa novena tiga Salam Maria, atau jumlah angka sembilan yang membuat doanya terkabul. Devosi semestinya harus membawa kita pada Tuhan. Berkat iman itulah doa kita dikabulkan[8].

Maksud “Ngalap Berkah” Novena
Awalnya novena dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria dan orang kudus “kesayangan” berubah menjadi doa dengan permohonan khusus. Tidak jarang orang mendoakan novena dengan ujub kesembuhan, keberhasilan dan lain sebagainya. Inti doa novena adalah hubungan kita dengan Allah Tritunggal melalui perantaraan Bunda Maria dan orang kudus. Bahkan tidak mandeg di situ, kekayaan rohani novena memperkaya kehidupan doa kita, yaitu dengan meningkatkan semangat untuk berdoa selama periode tertentu, dan dengan memohon lewat ulangan kata tertentu.
Intinya, Novena memberi ruang perjumpaan, membangun keintiman rohani dengan Allah Tritunggal melalui perantaraan Bunda Maria dan para orang kudus. Sekaligus juga membangun kesetiaan dan ketekunan kita dalam mempersembahkan diri pada Tuhan[9]. Esensi novena bukanlah pengkultusan angka sembilan atau kepercayaan tahayul di dalamnya sehingga kita memperoleh keberhasilan atau keselamatan. Gereja memberi catatan bahwa novena akan mampu bermanfaat sebagai sarana doa bila dilakukan dalam konteks yang benar, yaitu dengan cara demikian, sehingga doa itu “selaras dengan masa-masa liturgi, sesuai dengan liturgi kudus, dan membimbing umat kepada liturgi kudus” (Konstitusi Liturgi Kudus, no. 13). Akhirnya, ngalap berkah novena adalah bagaimana kita menemukan dan mengalami keselamatan sebagai buah relasi kita dengan Tuhan. Ketika kita mengarahkan diri secara benar kepada Tuhan, dengan meluangkan waktu, dan melakukannya secara rutin sebagai suatu kerinduan mendalam kepadaNya, kita akan selalu mengalami rahmat kasihNya. Inilah ngalap berkah novena yang dituju, yakni mengalami keselamatan dari Tuhan.

Daftar Pustaka
Borchard, Therese Johnson, Devosi Umat Katolik, Santo Press, 2001
Martasudjita, E, Pr, Pengantar Liturgi, Kanisius: Yogyakarta, 1999
Pennington, Basil, OCSO, Challenges in prayer, Dominican Publications: Dublin, 1982



[1] Balakangan ini (setelah masa pendudukan Jepang), gunungan langsung dirayah (direbut) oleh masyarakat sesaat setelah didoakan oleh Pengulu.
[2] Basil Pennington, OCSO, Challenges In Prayer,  Dominican Publications: Dublin, 1982, 22-23
[3] E. Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi, Kanisius: Yogyakarta, 1999, 143
[4] E. Martasudjita, Pr, 143
[5] E. Martasudjita, Pr, 144
[6] E. Martasudjita, Pr ,156  
[7] E. Martasudjita, Pr ,156  
[8] E. Martasudjita, Pr, 154-155
[9] Therese Johnson Borchard, Devosi Umat Katolik, Santo Press, 2001, 122

No comments:

Post a Comment