Monday, June 17, 2013

Jika Allah Sudah Tahu, Mengapa Masih Berdoa?

Doa mengubah dunia: Doa menyebabkan terjadinya hal-hal yang baik, sebab kehendak Allah terjadi sehingga berkat-berkatNya yang terbaik turun atas kita. Setiap orang beriman biasanya memiliki kebiasaan doa yang baik. Mereka bisa berjam-jam berdoa dengan berbagai intensi. Berdoa untuk mendapatkan pekerjaan, berdoa untuk mendapatkan jodoh, berdoa untuk kesehatan, dan lain sebagainya. Tidak sedikit doa kita dikabulkan olehNya. Allah memberi pekerjaan sesuai dengan apa yang kita harapkan, Allah memberi jodoh sesuai dengan impian, dan seterusnya. Apakah dengan demikian, kita telah memaksa Allah dengan doa-doa kita?

Teolog Norwegia, O. Hallesby dalam buku Prayer, "Inti doa adalah membuka pintu kehidupan kita bagi Kristus yang telah bangkit. Apa yang sebenarnya kita lakukan saat berdoa adalah memintaNya untuk masuk ke dalam keadaan manusiawi kita, lengkap dengan semua kebutuhan kita, lalu mengaliri kerohanian kita yang mat dengan kuasa kebangkitanNya (Mengapa Masih Berdoa, 2). Inilah yang dikatakan penulis Wahyu kepada kita, "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang...membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama Aku" (Why 3:20).

Jika Allah Sudah Tahu

Acapkali kita disibukkan dengan hal-hal teoritis maupun praktis mengenai bagaimana berdoa yang baik dan benar sehingga kita mengabaikan bagaimana tindakan kita sendiri. Tentu ini bukanlah arti sesungguhnya maksud dan tujuan kita berdoa. Kita sibuk dengan kulit lebih daripada hakekat doa itu sendiri. Tetapi kita bisa mempertanyakan lebih dalam mengenai relevansi doa bagi kita. Mengapa kita harus berdoa, jika memang Allah sudah mengetahui segala-galanya?

Douglas F. Kelly dan Caroline S. Kelly membantu kita melihat dan merenungkan pertanyaan tadi dengan melihat Siapakah Allah? Mereka meyakini bahwa pemahaman kita mengenai Allah akan mempengaruhi doa kita kepadaNya, "Semakin baik kita mengenal Allah, semakin pasti kita ingin berdoa kepadaNya". Hal ini dapat kita temukan melalui pengalaman semacam ini, "Saat kita berada dalam kesulitan, Allah memberikan pertolongan. Saat kita sakit, Allah memberikan kesembuhan". Pengalaman-pengalaman semacam ini memberi bingkai kedekatan kita dengan Allah, siapakah Allah bagi kita. Yesus sendiri memiliki kedekatan personal dengan Allah dengan menyebut Bapa. Yesus mengajar kita bahwa Allah adalah seorang pribadi bahkan seorang bapa. Identitas ini meneguhkan kita yang dekat kepadaNya. Allah Bapa adalah pribadi.
Meski Allah Bapa adalah pribadi, Dia tidak seperti kita. Allah tidak terbatas. Ketidakterbatasan Allah adalah  sesuati yang tidak kita pahami sepenuhnya atau kita lukiskan secara tepat. Bapa ada di sorga. Dalam gambaran kita, ini sudah memunculkan suatu persepsi jarak yang jauh, kita di dunia dan Bapa di sorga. Bahkan lebih dari itu, kita menyadari sebagai yang terbatas dan harus tunduk pada semua batasan, sementara Allah tidak.

Apakah ada penghubung antara kita "Yang terbatas" dengan Dia "Yang tak terbatas". Kita bisa menemukannya dalam Doa Bapa Kami. Allah adalah Bapa, yang adalah pribadi sekaligus yang tak terbatas. Dia bahkan mengkomunikasikan diriNya kepada manusia sehingga kita bisa mengenal diriNya. Inilah yang kita kenal dengan paham kasih Allah Tritunggal, yang mana Allah mengkomunikasikan diriNya melalui Putra, Yesus Kristus dalam Roh Kudus.

Maka, kesadaran kita sebagai pribadi yang terbatas menempatkan kita untuk senantiasa memohon kepadaNya, Allah yang tak terbatas. Kita memohon kepadaNya, karena kita sudah mengenal siapakah Dia bagi kita. Dia adalah pribadi yang kita kenal, pribadi yang tak terbatas.


Dibaca dari 
Douglas F. Kelly dan Caroline S. Kelly, Jika Allah sudah tahu, Mengapa masih berdoa?, 2003

Apa itu Devosi?

"Santa Theresia dari Lisieux, Bunga yang mungil, tolong petikkan setangkai mawar dari taman surgawi, dan kirimkanlah bunga itu kepadaku dengan sebuah pesan cinta. Mohonkan kepada Tuhan agar berkenan mengabulkan permohonan ini, dan sampaikan kepadaNya bahwa aku sangat mencintaiNya, dengan cinta yang semakin meluap-luap setiap harinya"

(tercantum dalam Doa Novena kepada Theresia)


Setiap hari selalu ada orang yang berdoa di dalam gereja, atau duduk di depan pieta, maupun di hadapan Bunda Maria. Mereka berdoa. Ada umat yang berdoa kepada Allah melalui perantaraaan Bunda Maria, ada yang berdoa melalui perantaraan para kudus di surga. Mereka berdoa dengan ujub-ujub tertentu dan untuk waktu tertentu dengan harapan bahwa Allah mengabulkannya. Ini adalah salah satu tradisi yang berkembang di Gereja Katolik, yakni devosi.

Umat Mencintai Devosi
Kecintaan umat Katolik terhadap devosi sangat besar. Ada banyak devosi yang berkembang di dalam gereja dan umat yang melakukannya pun tidaklah sedikit. Devosi membantu kita untuk mengalami Tuhan secara pribadi. Devosi membantu menegaskan rahmat yang Tuhan berikan kepada kita yang terkadang kita abaikan. Devosi menunjuk pada doa-doa kudus -iman, harapan dan kasih- yang menunjukkan kesetiaan dan cinta, yang terkadang sulit diungkapkan dengan ekspresi iman kita. 

Devosi, Waspadailah!!
Gereja memberikan perhatian dan pendampingan khusus terhadap umat akan devosi yang mereka hidupi. Perhatian dan pendampingan ini dimaksudkan agar devosi tidak terpisah dari kebiasaan peribadatan gereja Katolik.

Apa itu Devosi?
Dalam The New Catholic Encyclopedia dinyatakan mengenai batasan devosi bahwa: "Praktek peribadatan dalam bentuk ekspresi nyata pada keinginan untuk melayani dan menyembah Tuhan, dengan mengarahkannya pada obyek tertentu, seperti misteri kudus, tokoh, atiribut, bahkan realitas yang sengaja diciptakan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan". Devosi dapat dipahami sebagai doa yang disusun dengan baik, yang terpisah namun terikat pada liturgi, yang dapat memperdalam hubungan pribadi kita dengan Tuhan, yang memperteguh tanggungjawab kita terhadap masyarakat Kristiani dan membimbing kita untuk dapat lebih memahami Misteri Paska, sebuah realitas yang senantiasa menjadi sasaran iman kita (Therese Johnson Borchard, 10)). 
Dalam perkembangan sejarahnya, devosi dibuat untuk mengisi kebutuhan spiritual dari umat. Jejak-jejak awal devosi dapat ditemukan dalam Kitab Suci dan muncul dalam catatan awal paham Kristiani. MIsalnya, jejak pertama dari legenda peziarahan Bunda Maria di Yerusalem (teks Siria, abad kelima).

Sifat-sifat Devosi
Therese Johnson Borchard memberikan perhatian akan gejala-gejala yang salah dari perkembangan devosi umat. Devosi bisa mengarah pada tahyul dan sikap simplistis. Oleh karena itu, pejabat Gereja memberikan batasan untuk menentukan apakah suatu "kebiasaan" benar-benar merupakan suatu devosi. Berikut ini tigas sifat dari devosi :
1. Devosi berdasarkan pada doktrin yang sehat dan teologi yang benar
2. Devosi menunjukkan adanya seruan/permohonan yang masuk akal dan imajinatif
3. Devosi membimbing setiap orang beriman memiliki kehidupan spiritual yang lebih mendalam.
Di dalam Sacrosanctum Consilium 13 di jelaskan : "Devosi populer umat Kristiani sangat dianjurkan -asalkan sesuai dengan hukum dan norma Gereja- terutama bila diperintahkan oleh Tahta Suci", demikian pula konteks yang seharusnya dibuat dalam melakukan devosi dan tujuannya, "Tetapi devosi seperti ini harus disusun dan disesuaikan dengan masa-masa litrugi, diselaraskan dengan litrugi kudus, dan sedikit banyak diambil dari sana, dan mengarahkan umat kepada liturgi kudus (SC 13)" (Therese Johnson Borchard, 11).

Devosi saat ini
Devosi menawarkan ungkapan cinta tentang iman. Devosi menawarkan cara pribadi untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Devosi membantu kita memahami dan berpartisipasi dengan lebih mendalam dalam Perayaan Ekaristi dan semua bentuk ibadat liturgi. 

Bentuk-bentuk Devosi
Kita bisa menemukan aneka macam devosi di tengah umat. Misalnya, Rosario, Perhentian Jalan Salib, Devosi Maria, Medali Kajaiban, Skapulir, Devosi para Kudus, Devosi keada Hati Kudus, Novena, maupun Ziarah.

Diambil dalam  
Therese Johnson Borchard, Devosi Umat Katolik,  Santo Press: Batam, 2001









Sunday, June 16, 2013

Musim Semi

"Saya pergi kemana-mana mencari musim semi,
tetapi musim semi tidak ditemukan dimana pun.
Di atas gunung saya hanya melihat sepatu saya yang robek lalu saya kembali
dan secara kebetulan melihat bunga plum mekar.
Lalu saya sadar musim semi ada di sini
di antara pepohonan"

(DItulis zaman Dinasti Tang 600)

Menemukan Makna Kehidupan dalam Bunga

Sebuah falsafah kematian diutarakan manta samurai bernama Gorou dalam buku Samurai Kazegatama: Pelangi Angin, Penerbit Qanita.

"Apa yang kau pikirkan sewaktu memandangi hamparan bunga itu?" tanya Gorou
"Saya memikirkan masa depan saya," jawab Hanmaru
"Ada apa dengan masa depanmu?"
"Saya takut kalau-kalau saya nanti menjadi seperti bunga-bunga ini -begitu rapuh dan lemah..."
Begitu mudah gugur oleh sedikit terpaan angin"
"Manusia dan bunga itu serupa; takdir telah menentukan bahwa manusia juga pasti akan mati, seperti bunga-bunga itu."
"Itu memang benar, tetapi ada perbedaannya, yaitu cara kita menemui kematian".
"Bunga-bunga itu akan gugur bukan karena rapuh ataupun lemah, melainkan karena mereka telah selesai melakukan apa yang harus mereka lakukan. Lihatlah ! Mereka gugur dengan cara yang paling indah!! Itu karena tidak ada penyesalan yang mereka rasakan. Begitu pula dengan kita. Hanmaru-bila mati telah menyelesaikan apa yang harus kita lakukan, mengapa perlu menyesal?"
"Begitu dilahirkan kita langsung naik kereta ekspres dengan satu tujuan yaitu kematian. Dalam perjalanan ada banyak yang bisa kita lihat. Namun, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah berbuat baik pada teman seperjalanan" -Cheng Yen-

disadur dari Jusuf Sutanto, The Dance of Change, Kompas, 2009

Friday, June 14, 2013

Oswald Chambers

"Pengabdian bukanlah menyerahkan panggilan hidup kita kepada Allah, tetapi pemisahan dari semua panggilan lainnya dan memberikan diri kita sepenuhnya kepada Allah, mengizinkan kedaulatan Allah menempatkan kita sesuai kehendakNya -dalam bidang bisnis, hukum, ilmu pengetahuan, pertukangan, politik, atau dalam pekerjaan yang sederhana sekalipun. Kita ditempatkan di sana untuk bekerja sesuai hukum dan prinsip Kerajaan Allah"

Toyohiko Kagawa

Pertobatan memuat transformasi hati nurani dari seseorang sebagai seorang penilai. Inilah kisah Toyohiko Kagawa  yang dapat memberi inspirasi suatu pertobatan kristiani maupun moral yang mengagumkan.

Latar belakang

Toyohiko Kagawa adalah seorang pemimpin Kristen di Jepang dan aktif dalam organisasi buruh dan kesejahteraan sosial dan mendapatkan kesempatan menyampaikan pemikirannya membangun karakter bangsa yang demokratis dan berkeadilan. Istrinya bernama Haru. Mereka dikaruniai 3 anak, yaitu Sumitomo, Chiyoko dan Umeko.
Toyohiko lahir pada tanggal 10 Juli 1888. Ia berlatar belakang bangsawan yang hidup di jaman feodal. Ayahnya adalah seorang gubernur Kagawa, dan ibunya adalah seorang geisha. Toyohiko lahir dari hubungan terlarang antara Kagawa dan seorang geisha. Sepeninggal orang tuanya, ia hidup bersama dengan saudaranya (keluarga ibu tirinya) tanpa sukacita. Ia merasa tidak ada seorang pun yang memperhatikan dirinya. Ia hidup dalam kesendirian dan kesulitan.
Toyohiko bergelut dengan studi dan iman. Keluarga, paman, melarang Toyohiko mengikuti kebaktian-kebiaktian kristen maupun berdoa kepada Tuhan. Ia diancam akan diusir dari rumahnya. Namun ancaman itu tidak membuatnya gentar, Toyohiko tetap berdoa kepada Tuhan secara diam-diam di atas kasur di bawah sprei. Sikap Toyohiko yang takut-takut dalam berdoa lantas diejek oleh Dr. Myers, "Toyohiko, kamu anak penakut dan pengecut". Berusaha untuk menghapus pernyataan itu, Toyohiko menyatakan diri untuk menjadi Kristen.

Perjumpaan yang mengubah

Toyohiko berjumpa dengan Pastor Nagao Ken. Pastor ini banyak menghabiskan waktunya untuk melayani orang miskin dan terlantar. Perjumpaannya dengan Pastor Ken memberi inspirasi rohani bagi dirinya. Ia seakan didesak-desak untuk menolong orang lain. Oleh karena itu ia mengatakan bahwa setiap orang harus mengabadikan hidupnya bagi kemanusiaan.
Pengalaman iman itu ia wujudkan dengan tinggal di daerah miskin di Tokyo. Di sini ia mengajar dan berkotbah tentang Kristus kepada banyak orang di  persimpangan-persimpangan jalan.Orang-orang menganggapnya tolol atau bodoh. Akan tetapi tidak bagi Toyohiko, ya
ng ia rasakan bahwa ia tengah mewujudkan persaudaraan dengan hidup bersama dengan kaum miskin dan membantu mereka sebanyak mungkin.
Kecintaannya pada kemanusiaan mengabaikan kesehatan dirinya sendiri. Ia jatuh sakit karena tertular penyakit orang-orang yang ia dampingi. Dalam masa-masa sakitnya, ia banyak berdoa hingga kematian datang menjemput dirinya.

Toyohiko orang sederhana

Toyohiko adalah pribadi yang disiplin dan mempunyai cara hidup yang sederhana. Ia berpenampilan sederhaan. Ia memiliki satu stel jas, sepasang sepatu, dan beberapa baju hitam putih. Dia hampir selalu mengenakan Kagawa Fuku (Jas Kagawa) yang murah dengan dasi hitam. Ia berprinsip, "Apabila kamu menginginkan kehidupan bahagia, kamu harus sederhana. Apabila kamu memakai jas mahal, kau akan khawatir mereka menjadi kotor. Apabila kamu mengelilingi kamu dengan barang-barang berharga, kamu akan khawatir mereka hilang dicuri. Maka berpakaianlah sederhana. Itulah jalannya untuk hidup".

James W. Fowler "memandang" Toyohiko


Toyohiko Kagawa memiliki perkembangan iman yang mendalam, di mana transformasi iman yang dimiliki melahirkan di dalam dirinya suatu komitmen tentang kemanusiaan. James W. Fowler mengatakan mengenai iman merupakan suatu kemanusiaan yang universal (human universal). Peristiwa kemanusiaan yang universal ini benar-benar dialami oleh Toyohiko dengan memandang orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, iman yang dimiliki Toyohiko berangkat dalam dinamika interaktif dan relasi sosial.
Iman merupakan suatu sikap aktif. Iman merupaakn cara mengetahui (a way of knowing), cara menguraikan (a way of constucting), dan menafsirkan pengalaman seseorang (interpretating one's experience). Toyohiko menemukan kebebasan dalam hidupnya (ultimate conditions of their existence) melalui kesendiriannya di dalam keluarga, kehidupannya bersama saudara tirinya, penghinaan yang diterima olehnya serta ketidakbebasan yang membelenggu dirinya. Hidupnya berubah karena Tuhan berkarya di dalam dirinya dengan kehadiran banyak pribadi di dalam hidupnya. Intinya, apapun yang dialami oleh Toyohiko merupakan suatu pengalaman iman yang dinamis. James W. Fowler mengatakan:
"Faith is understood dynamically as involving both the finding of and being found by meaning; both the construction and the reception of beliefs and commitments; and it is meant to include both explicitly religious expressions and enactments, as well as ways of finding and orienting one self to coherence in an ultimate environment which are not religious".
Iman merupakan dinamika kehidupan pribadi manusia dalam mencari dan menemukan makna kehidupan itu sendiri. DInamika iman bersifat aktif-konstruktif atas keyakinan dan komitmen, dan aktif menerima keyakinan dan komitmen tersebut.

"Love is the basis for the birth of a true society, while violence has in it the essence of anti-sociality. Violence is degeneracy; it is its own destruction. Love injures none, is eternal" -Toyohiko Kagawa-

Edith Stein : Santa Teresia Benedicta dari Salib

Latar belakang Edith

Edith Stein lahir pada tanggal 12 Oktober 1891. Ia juga dikenal sebagai Sr. Teresa Benedicta. Ia adalah salah seorang martir pada zamana Holocoust (masa pembantaian orang-orang Yahudi oleh Pemerintahan Nazi, Adolf Hitler). Panggilan hidupnya sebagai pribadi yang mendatangkan berkat bagi orang lain terjadi setelah tanpa sengaja ia membaca buku otobiografi dari Santa Teresia dari Avilla. Riwayat hidup Santa Teresia dari Avilla menjadi ispirasi dan peneguh imannya kepada Yesus, "Inilah kebenaran". Ia dibaptis dalam Gereja Katolik.

Tak Mau Kenal Tuhan

Kisah hidup Edith Stein tidaklah sederhana. Jalan hidupnya penuh liku terlebih dinamika imannya. Ia pernah menjadi seorang Yahudi bahkan pernah memutuskan untuk menjadi seorang ateis. Dalam otobiografinya ia menulis, "Di sini saya dengan sadar sungguh-sungguh dan atas kemauan sendiri berhenti berdoa". Masa gelap hidupnya ia lewati dengan bergelut dalam studi. Ia mempelajari psikologi maupun filsafat. Dalam masa-masa studi itu, khususnya saat mengikuti pengajaran Scheler, ia berkata: "Itu merupakan sentuhan pertama dengan dunia ini yang sampai saat ini sama sekali tidak saya kenal. Dunia ini belum membawa saya kepada iman akan tetapi di hadapanku terbuka gejala yang tidak  saya lewati begitu saja seolah-olah tidak saya lihat".

Perjumpaan iman 

Perjumpaan selalu menyisakan kenangan dalam diri seseorang, baik kenangan indah, pahit, maupun kenangan iman yang meneguhkan. Inilah yang dialami oleh Edith Stein dalam salah satu fase hidupnya. Perjumpaannya dengan pasangan pasutri Reinach memperdalam pengalaman imannya. Ketika suaminya, Adolf Reinach, meninggal dalam perang. Edith cemas bahwa istrinya, Reinach, akan mengalami kehancuran selepas ditinggal oleh suaminya. Namun, Reinach tidaklah demikian. Ia justru begitu kuat dan semakin beriman. Edith berkata, "Ini merupakan perjumpaan pertama dengan salib dan kekuatan ilahi yang diberikan kepada mereka yang bersedia memikulnya. Untuk pertama kali saya melihat Gereja yang dilahirkan dari penderitaan Sang Penebus. Di sini dengan jelas saya melihat kemenangan Gereja atas malaikat kematian. Pada saat inilah ketidakpercayaan saya runtuh beserta keyahudianku dan Kristus datang bercahaya di depanku: KRistus dalam misteri Salib". 
Inilah perjumpaan Edith Stein yang membawa kesadaran baru di dalam hidup imannya. Kesadaran itu diteguhkan kembali melalui otobiografi Santa Teresia dari Avilla, di mana ia mengatakan, "Saya mulai membaca, terpikat dan tidak berhenti sebelum semua dibaca. Saya menutup buku itu dan berkata: INILAH KEBENARAN". 
Kehidupan imannya kian mendalam, yang ia lukiskan dalam gambaran pendakian gunung, namun sekaligus menekankan bahwa ia masih selalu berada di kaki gunung. Hal ini bukan saja ungkapan kerendahan hati, melainkan sekaligus juga pengalaman berada di dasar, pengalaman akan kedalaman, akan pusat, dan akan batin.


Santa Teresia Benedicta dari Salib

Ia memahami salib sebagai  nasib umat Allah, yang pada waktu itu sudah mulai kentara. Mereka yang memahami salib Kristus, mereka harus memikul salib itu atas nama semua orang

Inspired by Hendrik P
taken from otobiografi Edith Stein



Mohandas Karamchand Gandhi

Latar belakang Gandhi

Gandhi lahir pada 02 Oktober 1869 di Porbandar. Istrinya bernama Kasturba. Mereka menikah saat usia 13 tahun. Setelah beranjak dewasa, Gandhi hijrah ke Inggris untuk belajar ilmu hukum. Ia beradaptasi dengan baik dengan lingkungan sekitarnya. Itu terlihat jelas melalui penampilannya yang "ke-inggris-an". Namun penampilannya mulai berubah saat ia mulai memperjuangkan hak-hak rakyat, khususnya kaum Paria (Kasta terendah), para petani dan pekerja pabrik yang miskin di India. Ia tidak lagi menggunakan pakaian-pakaian luar negeri. Ia mulai mengembangkan sarana dan prasarana lokal untuk membangkitkan ekonomi pedesaan dan mengurangi kemiskinan. Pakaian yang ia kenakan adalah pakaian 'dhoti' (pakaian pinggang buatan rumah warna putih, alas kaki sederhana dan sebuah selendang.

Perjuangan-perjuangan Gandhi

Awal perjuangannya berangkat dari keberpihakannya kepada Inggris dengan harapan bahwa komunitas India akan menerima penghargaan dari penguasa Inggris, misalnya pengurangan hukuman rasial maupun status kemerdekaan. Namun realitanya berbeda, Inggris justru menganiaya India. Situasi inilah yang memanggil Gandhi untuk bergerak, berjuang membela orang-orang miskin di India. Ia mengajarkan tentang Pertama, Satyagraha (Tuntutan pada kebenaran). Gandhi memperjuangkan kebenaran tanpa adanya kekerasan. Kedua, Hartal (Ia memperjuangkan orang-orang miskin dengan mengadakan mogok nasional sebagai bentuk protes). 

Kemerdekaan yang terus diperjuangkan

Gandhi banyak memperjuangkan bangsa India. Ia banyak berkorban untuk mengangkat orang-orang miskin di India. Gandhi menginginkan suatu kemerdekaan bagi sesamanya. Kemerdekaan dari perbudakan, kemerdekaan dari penjajahan dan lain sebagainya. Namun cita-cita luhur itu tidaklah mudah untuk dicapai. Gandhi selalu menghadapi hambatan dan tantangan yang membuat kemerdekaan sulit untuk dicapai. Hambatan dari dalam dan luar datang bertubi-tubi memecah kesatuan orang-orang dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sesama saudara saling membunuh demi membela Tuhan yang mereka yakini. Sulitnya memperjuangkan kemerdekaan, Gandhi sampai mengumumkan maksudnya untuk berpuasa sampai mati. Ia berjanji bahwa puasanya akan berhenti apabila ada pertemuan dari hati ke hati antara semua komunitas. Niat ini benar-benar dilakukan olehnya, yang menggetarkan pemerintah India. Akhirnya pemerintah memberi jaminan akan terpenuhinya tuntutan Gandhi tersebut.
Apa yang dibuat Gandhi adalah suatu cita-cita luhur bagi kemanusiaan. Belum tuntas perjuangannya di India, darah kemartiran harus mengalir dari tubuhnya. Ia ditembak oleh Nathuram vinayak Godse, seorang ekstrimis Hindu. Gandhi mati, tetapi perjuangannya tetap hidup di setiap hati.





Thomas Merton

Masa lalu yang kelabu

Sepeninggal ayahnya, Thomas Merton menjadi peminum dan tukang protes; hidupnya jauh dari baik. Ia tidak lagi merawat diri dan menghambur-hamburkan  uang dan senang berpetualang. Ia pun pernah menghamili sahabatnya, lalu meninggalkannya. Ia tak lagi peduli kepada orang lain yang ada di sekitarnya.
Penderitaan dan kesulitan hidup yang dialami mengantar Thomas pada keputusasaan. Kesendiriannya membuat ia kerap  meratapi betapa dunia kejam kepadanya. Ia melukiskan dirinya sebagai orang buangan dan orang asing terhadap setiap negeri di dunia. Ia menganggap dunia sebagai penjara, dan hidupnya tidak memiliki tujuan yang jelas. 

Titik balik hidupnya
Kehidupannya yang kelabu selama sekian waktu mempengaruhi hidupnya. Namun hal itu tidak menghentikan dirinya untuk terus mencari hidup yang lebih baik. Ada peristiwa-peristiwa sederhana yang menyentuh ingatannya, yang kemudian memunculkan pertobatan. Sketsa Kristus Byzantin yang dibuat oleh ayahnya memunculkan pengalaman rohani yang mengesankan dirinya. Thomas tertegun memandang mosaik-mosaik Byzantin itu. Kekagumannya meluap-luap dan ia merasakan "kehadiran" ayahnya melalui mosaik-mosaik itu.
Peristiwa lain terjadi saat ia berada di Kuba. Ia memperoleh pengalaman ekstasis. Ia mengalami peneguhan berkobar-kobar atas hidupnya. Keputusasaan yang selama ini menjadi bayang-bayang hidupnya berubah menjadi sebuah kepastian. Inilah pengalaman iman yang mengubah hidupnya. 

Hidupnya kini
Pencerahan yang dialami oleh Thomas menggerakkan dirinya untuk menanggapi panggilan Allah untuk menjadi katolik. Ia dibaptis di Gereja Corpus Christi. Lalu Ia tinggal di biara. Satu pertanyaan refleksinya, "Siapakah aku di hadapan Allah pada titik ini dalam hidupku?"Dalam permenungannya ia menyadari bahwa a harus menjadi orang yang membela kepentingan semua orang yang dipinggirkan.

Doa "Sepasang Sandal Jepit"

Tuhan, semoga kami mampu menjadi alas kaki yang baik untuk sang pemakai. Kami mampu membuat nyaman, melindungi kakinya dari panas, dingin, batu-batu dan pecahan beling yang dapat melukai kaki dan menghambat langkahnya.
Biarlah sang pemakai terus melangkah dengan pasti di jalanMu
Kami berharap, sang pemakai pun senantiasa ingat pada 'bumi' yang dipihaknya di mana dia diciptakan.
Semoga bersama kami, dia mampu melayani sesama dengan cintaMu. Amin

-Dewayani-

Thursday, June 13, 2013

Pada Suatu Perjalanan



Dalam keheningan malam ini ya Tuhan, aku ingin sejenak berdiam diri bersamaMu. Sedikit mengendapkan perjalananku sepanjang waktu ini dari pagi hingga malam yang perlahan merangkak larut. Sebentar kuingat seorang Rabridranat Tagore menuliskan kata-kata ini sebelum ia berdoa….

Aku mau sendiri
Perkenankanlah aku duduk sekejap di sini, Kerja yang sedang kulakukan
Biarlah nanti kuselesaikan, Sekarang tiba waktunya
Untuk duduk bersemadi, Mata berpandang mata dengan Dikau
serta menyanyikan lagu rahmat kehidupan
Dalam waktu senggang sunyi, dan melimpah banyak ini

Aku membatinkan sejenak tulisan ini, kubiarkan ia menggema lembut di dalam hatiku, perlahan dan kubiarkan kesadaranku tetap terjaga. Ku buka hatiku lebar-lebar, kubiarkan Dia sendiri yang datang dan mengajakku berbincang dalam kedamaian hati yang sengaja telah kusiapkan.
Dalam keheningan malam ini, aku ingin membagikan kisahku tentang sebuah perjalanan hidup. Perjalanan yang tidak selalu mulus tapi butuh ketegasan untuk terus menapakinya. Aku menggunakan kisah ini sebagai caraku berbincang dengan hatimu masing-masing, sebab aku percaya sebuah kisah adalah jarak terdekat antara manusia dan kebenaran. Dan aku ingin membagikan kedekatan dan kebenaran itu denganmu.
Kisah itu bermula dari perjumpaan sederhana antara aku dan dirinya. Hehe… lucu, aku sendiri merasa lucu kalau mengingatnya.  Aku mengenalnya sebagai seorang gadis yang lugu, cantik dan menarik. Saat itu kami bertukar alamat rumah, kami mulai saling berkirim surat dan tanpa terasa melalui surat-surat itu, kami menjadi dekat. Dia sering bercerita tentang hari-harinya, kebahagiaan, bahkan kesedihannya, demikian pula aku. Bahkan terkadang kami bertengkar, entah karena cape, penat, atau cemburu. Dan salah satu pihak harus menjelaskan, sejelas-jelasnya.
Sepanjang pertemanan kami, tanpa sadar akupun menikmatinya. Dalam salah satu surat, saat ia merasa getir, yang ia kirimkan untukku dia menuliskan begini, “Dalam kehidupan yang kubutuhkan hanyalah cinta dan perhatian. Apakah tidak ada cukup waktu untuk itu, tidak adakah cinta yang lebih daripada sekedar bekerja lalu makan dan minum, tidak adakah cinta yang lebih daripada sekedar hidup bersama? Manusia diciptakan karena cinta. Tanpa cinta manusia tidak bisa hidup. Cinta mendasari kehidupan kita semua. Cinta menempati posisi teratas dalam hidup, karena cinta membuat orang hidup bahagia”. Aku merenungkan kata-kata itu, apa maksudnya?. Pertemanan kami masih berjalan. Namun pada satu ketika, aku merasa bimbang. Ketika aku harus mengambil keputusan antara cinta dan pelayanan. Aku mulai mengambil jarak, entah mengapa hati tidak nyaman. Dalam hatiku bergumam, aku harus mengambil keputusan, sebelum hatiku atau hatinya terluka semakin dalam.
Singkatnya, aku mengakhiri hubungan dekatku dengannya. Aku memilih pelayanan sebagai jalan hidupku, yaitu menjadi imam. Aku bahagia bisa mengambil keputusan ini dengan hati yang damai dan bahagia, seperti dirinya pun bahagia menerima keputusanku untuk menjadi seorang pelayan. Kutahu itu saat ia menuliskan pesan untukku “perjuangkan masa depan untuk kehidupanmu, semua ada di tanganmu bukan orang lain. Tunjukan pada dunia bahwa kamu adalah orang yang terbaik dan maksimal mampu mengisi bagiannya dalam pelayanan untuk Tuhan”.
Kisahku ini sekedar camilan untuk kita renungkan. Mungkin tidak mudah untuk mengambil sebuah keputusan, apalagi keputusan tersebut menjadi penentu masa depan. Tapi dengan keberanian untuk terluka, yakinlah bahwa kebahagiaan akan datang. Saudaraku pernah menuliskan begini, “Pilihan berat tapi sekaligus kemenanganmu, brother! Mungkin sekarang saatnya membuka lembaran hidup yang baru, terarah ke depan, Step by Step, melangkah dengan MANTAP !!!.

“Memandang dengan kasih”



Pada saat-saat tertentu, kita pasti akan lebih gampang percaya atau menilai bahwa dari seekor ulat bulu yang jelek itu bisa lahir seekor kupu-kupu yang indah, juga tidak sulit bagi kita menerima bahwa dari sebuah telur yang kecil akan menetas seekor burung perkasa. Tetapi apakah mudah bagi kita melihat kebaikan, potensi seseorang yang kita anggap musuh, seseorang yang tidak kita kenal, seseorang yang diasingkan dalam masyarakat?
Seperti satu titik hitam yang menodai selembar kertas putih polos. Titik hitam akan menampilkan kesan kotor pada keseluruhan kertas putih itu. Singkatnya, akan begitu jelas dan gampang kita menilai hitamnya. Jika ditanya ada apa di selembar kertas ini? Pasti langsung dijawab titik hitam. Rasanya tidak jauh berbeda kita menilai atau dinilai orang lain. Sekali kesalahan-satu titik noda- bisa jadi menutup sisi lain dari kehidupan kita. Sisi negatif sikap, sifat, dan tindakan kita akan lebih mudah dilihat oleh orang lain dibandingkan kebaikan-kebaikan kita. Sekali men-cap seseorang secara negatif, tidak mudah bagi kita menilainya secara positif.
Setiap pagi seorang imam memiliki kewajiban memimpin ekaristi. Entah karena suatu apa, imam itu terlambat bangun pagi, sehingga misa pagi agak molor. Dengan rendah hati, imam itu meminta maaf kepada segenap umat atas keterlambatannya. Dalam misa-misa sebelumnya, ia selalu datang 5 atau 10 menit sebelum misa pagi mulai. Tetapi pagi itu, ia terlambat. Satu berita yang tersebar di tengah umat dan mengejutkannya, “romone ngeblukan. Romone ora iso tangi esuk”. Imam bingung padahal peristiwa ini baru terjadi sekali. Lain lagi frater yang terkadang terlambat masuk kuliah, “wah fratere telatan (suka terlambat)”, atau segelintir umat yang senangnya ngrasani umate, “ibu itu senenge nggosip”.

“Ada sisi Positifnya koq
Label-label yang telah terpasang secara otomatis akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap seseorang.  Mungkin kita akan menjadi berhati-hati dalam berelasi dengan orang yang ber”label” itu, atau malah mungkin menjauhinya sama sekali. Label-label ini tak sepenuhnya baik. Mungkin benar, bahwa tiap orang tidak akan pernah lepas dari label. Tetapi kita tidak bisa mengingkari bahwa di balik label-label negatif itu, tetap ada sisi positif yang pantas dipertimbangkan. Bagaimana kita melihat orang lain secara bijaksana?
Pertama, kita menempatkan cara berpikir, cara pandang kita secara positif. Dengan melihat sisi positif atau kebaikan-kebaikan seseorang kita bisa terbantu dalam menyingkirkan label-label yang ada sebelumnya. Walau bagaimanapun seseorang diciptakan Tuhan baik adanya (Kej 1:31). Setiap manusia diciptakan unik. Kedua, Kita tidak tergesa menilai seseorang. Artinya, dalam hidup bersama rasanya tidak pernah menjadi mudah melihat, mendengar dan menilai seseorang. Ada banyak hal yang bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan penilaian terhadap seseorang. Dengan demikian, kita belajar menjadi netral dan melihatnya secara lebih baik. Ketiga, Kita berani mengambil jarak. Dengan mengambil jarak kita akan terbantu melihat secara netral. Ibarat naik gunung yang tinggi. Pada ketinggian itulah kita bisa melihat sesuatu secara lebih kompleks. Demikian dengan mengambil jarak kita bisa melihat seseorang secara holistik dari berbagai sudut pandang. Keempat, memandang orang lain dengan penuh kasih. Iris Murdoch mengatakan bahwa dengan memandang seseorang, sesuatu, atau situasi dengan penuh kasih-perhatian, orang semakin mencapai pengertian yang sungguh-sungguh dan karenanya ia seolah-olah dengan sendirinya tahu bagaimana harus bersikap. Kasih mengajari kita untuk mencintai orang lain apa adanya. Kasih menyadarkan kita akan kebaikan Tuhan yang tercipta dalam diri kita dan orang lain, sebagaimana Tuhan telah menciptakan kita unik adanya.

A S A


Letihku menepis asa
Lelahku menanti kembalinya asa itu

Kulihat dia tersenyum
Kulihat dia tertawa saatku sepi
kulihat dia menatapku....

tapi itu dulu...

Kini kau t'lah tiada sahabat..
Tetaplah...
Bertahanlah disana...
bantu jiwaku yang sepi ini
tersenyumlah untukku
walau tak kulihat seberkas cahaya itu
Asa itu tak'kan hilang


Tengah hari, Pekalongan, 14 Desember 2008

M-O-O-N

In the friend of the star
make it more shining in the night
when all of the people
praise me as the beautiful and great one
feel jealous of my name
actually i'm so bored of that praise
i'm only a thing
that should obey my Lord
shining in the night
although i have to be alone
You don't have to feel jealous of me
i can't do what you can do
so, it'll be better if you can be yourself
that more live than me

-Cullen, Twillight-

Memaknai Novena Sebagai Devosi Umat




Saat ada peristiwa Garebek di alun-alun Yogyakarta, berbondong-bondong orang datang dan menyaksikan peristiwa itu. Mereka menyaksikan arak-arakkan gunungan yang dilengkapi dengan bermacam makanan atau materi gunungan. Yang menarik bagi saya adalah peristiwa sesudah perarakan gunungan itu. Setelah gunungan selesai diarak, dan di doakan, biasanya oleh Kyai Pengulu, yang memohon keselamatan bagi sultan, para putera serta kerabat dalem, juga keselamatan bagi kerajaan beserta rakyatnya. Sedekah yang telah didoakan dibagi-bagikan kepada pembesar, kerabat dalem, prajurit dan pegawai keraton[1] malah kini orang-orang berlomba merayah gunungan itu. Mereka percaya bahwa melalui hasil rayahan itu mereka akan mendapat berkah. Inilah makna dibalik simbol tradisi adat keagamaan yang berkembang. Tujuan merayah gunungan adalah untuk ngalap berkah (meminta berkah) dari Tuhan. Saya masih ingat ketika seseorang diwawancarai di salah satu stasiun televisi swasta, “Apakah bapak ikut merayah gunungan itu? Apa yang didapat? Apa yang bapak percayai dari peristiwa ini?”. Lantas bapak itu menjawab, “Saya dapat kacang panjang. Intinya, ya semoga saya dapat berkah, entah rejeki yang lancar, panjang usia, atau kesuksesan dalam kerja, keluarga,....dst”. Beberapa orang yang lain mengatakan hal senada atas keterlibatan mereka merayah gunungan itu. Intinya mereka mau ngalap berkah.
Itulah yang terbesit dalam pikiran saya saat memikirkan dan merenungkan tema cor unum saat ini, yaitu “Ngalap Berkah Novena”. Rasanya peristiwa adat keagamaan itu bisa membuka permenungan kita dalam memaknai novena yang tumbuh di hati umat beriman. Bagaimana kita memandang dan memakani novena sebagai “Ngalap Berkah” secara benar.

Kerinduan akan Tuhan
Rasanya semua berawal dari sebuah kerinduan untuk mengalami kasih dan cinta Tuhan dalam kehidupan. Kerinduan rohani -berjumpa, tinggal bersamaNya, serta mengalami kasihNya- yang menggerakkan kita untuk mencari dan menemukan wadah yang mampu menampung dan memuaskannya. Perjumpaan itu biasa kita lakukan dalam doa. Apakah doa itu? Doa merupakan saat-saat kita berjumpa dengan Tuhan secara personal. Basil Pennington, OCSO menggambarkan saat berdoa seperti saat bersama sahabat sejati sembari minum kopi setiap hari. Peristiwa duduk bersama, minum kopi adalah saat-saat penting itu. Ketika salah seorang tidak datang, kita pasti akan melewatkan saat khusus itu dengan sia-sia. Tetapi ketika kita datang bersama, kita duduk bersama, kita bisa merencanakan banyak hal yang mau kita buat. Melalui duduk bersama sembari minum kopi kita melakukan penyegaran setiap hari. Cinta dan kehadiran adalah pengikatnya. Maka, doa bisa jadi merupakan peristiwa minum kopi bersama Tuhan. Doa adalah persahabatan dalam tindakan (prayer is friendship in action[2]). Berdoa adalah bagaimana kita hadir dan mencintai. Dengan kata lain, Basil Pennington, OCSO menegaskan Doa hanyalah kesediaan untuk meluangkan waktu, berkomunikasi pribadi dengan Tuhan, membangun keintiman rohani denganNya, dan yang terpenting adalah melakukannya secara teratur (rutin).
Doa-doa yang kita kembangkan meluap dari kebutuhan afeksi, emosi, kerinduan hati. Untuk memenuhinya kita kerap mencari bentuk-bentuk doa yang sesuai/cocok dengan kebutuhan kita. Tidak dipungkiri kita terkadang mengalami kemandegan manakala berjumpa dengan liturgi resmi Gereja yang terkesan rutin, kering, resmi, dan kaku. Oleh karenanya, kita mencari bentuk-bentuk liturgi Gereja yang mampu melepas dahaga rohani kita. Tentu saja liturgi resmi tidak boleh kita abaikan, seperti Ekaristi (liturgi resmi Gereja) harus menjadi sumber dan puncak iman kita. Melalui Ekaristi kita merayakan syukur, mengenangkan, dan menghadirkan misteri keselamatan Tuhan bagi kita. Lantas bagaimana kerinduan umat yang beranekaragam terwadahi? Inilah yang dikembangkan Gereja dengan devosi. Devosi berasal dari bahasa Latin devotio (dari kata kerja: devovere), yang berarti “kebaktian, pengorbanan, penyerahan, sumpah, kesalehan, cinta bakti”. Devosi dimaknai sebagai sikap hati dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari[3]. Dalam tradisi kristiani, devosi dipahami sebagai bentuk penghayatan dan pengungkapan iman Kristiani di luar liturgi resmi. Devosi lebih bersifat spontan dan lebih bebas serta dapat dibawakan secara pribadi maupun bersama. Meskipun bukan liturgi resmi, devosi diakui dan diterima oleh Gereja resmi[4]. Devosi mengalir dari rasa dan pengalaman religius umat dan merangkum seluruh segi kehidupan manusia. Apa yang tidak tertampung dalam liturgi resmi dapat ditemukan dalam praktek devosi umat, yakni kebutuhan afeksi, emosi dan kerinduan hati[5].

Novena Sebagai Devosi Umat
Devosi yang berkembang di dalam Gereja kiranya membantu sebagian besar kita mengalami Tuhan secara personal. Salah satu devosi yang berkembang di tengah umat misalnya doa novena. Kalau omong  tentang novena, saya teringat beberapa kisah ini. Pada suatu hari kakak saya bertanya via sms, “Sore mo, tanya, novena medali wasiat itu apa?”. Pertanyaan itu membuat saya tergelitik dan tersadar akan aneka jenis novena yang berkembang di tengah umat, dan tidak semua dari kita mengetahuinya. Kalau boleh disebutkan beberapa diantaranya novena Rahmat Karunia Kasih, novena kepada Hati Kudus, novena Santa Perawan Maria, novena Santa Perawan Maria Ratu, novena kepada Santo Yusup, novena kepada Bunda Maria dari Lourdes, novena kepada Bunda dari Gunung Karmel, novena pada Para Kudus dan lain sebagainya. Pada umumnya novena dimulai sembilan hari sebelum perayaan atau pesta yang dikaitkan dengan orang kudus tertentu.
Kesempatan lain saya berjumpa dengan umat yang banyak bertanya tentang arti novena, “Sebenarnya novena itu apa romo, Apakah kita mendoakannya harus sembilan kali, ga boleh bolong, apa bener kaya gitu?”. “Romo, Novena saya bolong beberapa kali. Apakah berarti doa saya tidak akan terkabul?”. Ketika mendengar pertanyaan itu, saya berpikir tentang beberapa hal praktis yang harus kita waspadai saat berdevosi. Salah satu kecenderungan praktis yang tidak benar bahwa kita mengkultuskan angka-angka tertentu, misalnya angka sembilan. Bahkan tidak jarang praktik novena mengarah pada tahayul, karena banyaknya pengaruh atau dampak luar biasa yang dikaitkan dengan praktek novena, dan karena angka sembilan dijadikan pusat dari devosi. Praktik semacam inilah yang harus kita waspadai. Jangan sampai devosi berubah makna menjadi praktik magis yang melenceng dari ajaran resmi Gereja. Devosi bukan mengarahkan kita pada tahayul atau pengkultusan angka tertentu.
Untuk mengantisipasi beberapa kekeliruan paham tentang novena, kita perlu tahu arti dan makna novena dengan benar. Novena berasal dari kata Latin novem, yang berarti sembilan. Doa novena adalah praktek doa yang dilakukan selama sembilan hari. Selama sembilan hari diisi dengan doa-doa tertentu bagi persiapan suatu pesta atau ujub permohonan yang penting. Kita perlu tahu bahwa dalam sejarah perkembangannya, penggunaan jumlah sembilan bukanlah khas kristiani, namun telah terdapat dalam tradisi religius masyarakat pada umumnya (3, 7, dst)[6]. Akan tetapi tradisi Kristiani memberi isi baru menurut pola Kis 1:13-14 ketika para Rasul bersama Bunda Maria bertekun dalam doa menantikan kedatangan Roh Kudus[7]. Novena sebagai praktek doa merupakan sarana mengalami perjumpaan personal dengan Tuhan yang melibatkan ketekunan, kesetiaan, dan kerinduan hati kepadaNya. Dalam perkembangan saat ini, novena harus tetap dipantau agar selalu pada koridor liturgi resmi Gereja. Artinya devosi jangan sampai dipandang sebagai pengganti liturgi resmi, “sregep novena tapi ora tau melu misa. Ini salah!!”. Praktek devosi harus dijauhkan dari bahaya praktek magis. Praktek magis terjadi apabila orang memandang kekuatan dan daya pengudusan berasal dari barang, mantra, hitungan angka itu sendiri. Misalnya orang percaya doa novena tiga Salam Maria, atau jumlah angka sembilan yang membuat doanya terkabul. Devosi semestinya harus membawa kita pada Tuhan. Berkat iman itulah doa kita dikabulkan[8].

Maksud “Ngalap Berkah” Novena
Awalnya novena dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria dan orang kudus “kesayangan” berubah menjadi doa dengan permohonan khusus. Tidak jarang orang mendoakan novena dengan ujub kesembuhan, keberhasilan dan lain sebagainya. Inti doa novena adalah hubungan kita dengan Allah Tritunggal melalui perantaraan Bunda Maria dan orang kudus. Bahkan tidak mandeg di situ, kekayaan rohani novena memperkaya kehidupan doa kita, yaitu dengan meningkatkan semangat untuk berdoa selama periode tertentu, dan dengan memohon lewat ulangan kata tertentu.
Intinya, Novena memberi ruang perjumpaan, membangun keintiman rohani dengan Allah Tritunggal melalui perantaraan Bunda Maria dan para orang kudus. Sekaligus juga membangun kesetiaan dan ketekunan kita dalam mempersembahkan diri pada Tuhan[9]. Esensi novena bukanlah pengkultusan angka sembilan atau kepercayaan tahayul di dalamnya sehingga kita memperoleh keberhasilan atau keselamatan. Gereja memberi catatan bahwa novena akan mampu bermanfaat sebagai sarana doa bila dilakukan dalam konteks yang benar, yaitu dengan cara demikian, sehingga doa itu “selaras dengan masa-masa liturgi, sesuai dengan liturgi kudus, dan membimbing umat kepada liturgi kudus” (Konstitusi Liturgi Kudus, no. 13). Akhirnya, ngalap berkah novena adalah bagaimana kita menemukan dan mengalami keselamatan sebagai buah relasi kita dengan Tuhan. Ketika kita mengarahkan diri secara benar kepada Tuhan, dengan meluangkan waktu, dan melakukannya secara rutin sebagai suatu kerinduan mendalam kepadaNya, kita akan selalu mengalami rahmat kasihNya. Inilah ngalap berkah novena yang dituju, yakni mengalami keselamatan dari Tuhan.

Daftar Pustaka
Borchard, Therese Johnson, Devosi Umat Katolik, Santo Press, 2001
Martasudjita, E, Pr, Pengantar Liturgi, Kanisius: Yogyakarta, 1999
Pennington, Basil, OCSO, Challenges in prayer, Dominican Publications: Dublin, 1982



[1] Balakangan ini (setelah masa pendudukan Jepang), gunungan langsung dirayah (direbut) oleh masyarakat sesaat setelah didoakan oleh Pengulu.
[2] Basil Pennington, OCSO, Challenges In Prayer,  Dominican Publications: Dublin, 1982, 22-23
[3] E. Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi, Kanisius: Yogyakarta, 1999, 143
[4] E. Martasudjita, Pr, 143
[5] E. Martasudjita, Pr, 144
[6] E. Martasudjita, Pr ,156  
[7] E. Martasudjita, Pr ,156  
[8] E. Martasudjita, Pr, 154-155
[9] Therese Johnson Borchard, Devosi Umat Katolik, Santo Press, 2001, 122

Kisah Seorang Ibu dan Anak



Ibuku hanya memiliki satu mata. Aku membencinya, ia adalah sebuah hal yang memalukan. Ibuku menjalankan sebuah toko kecil pada sebuah pasar.
Dia mengumpulkan barang-barang bekas dan sejenisnya untuk dijual, apapun untuk mendapatkan uang yang kami butuhkan. Ia adalah sebuah hal yang memalukan.
Pada suatu hari di sekolah. Aku ingat saat itu hari ketika ibuku datang. Aku sangat malu. Mengapa ia melakukan hal ini kepadaku? Aku melemparkan muka dengan rasa benci dan berlari. Keesokan harinya di sekolah.. “Ibumu hanya memiliki satu mata?” dan mereka semua mengejekku.
Aku berharap ibuku hilang dari dunia ini maka aku berkata kepada ibu aku,”Ibu, kenapa kamu tidak memiliki mata lainnya? Ibu hanya akan menjadi bahan tertawaan. Kenapa Ibu tidak mati saja?” Ibu tidak menjawab. Aku merasa sedikit buruk, tetapi pada waktu yang sama, rasanya sangat baik bahwa aku telah mengatakan apa yang telah ingin aku katakan selama ini.
Mungkin itu karena ibu tidak menghukum aku, tetapi aku tidak berpikir bahwa aku telah sangat melukai perasaannya.
Malam itu, Aku terbangun dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ibuku menangis disana, dengan pelan, seakan ia takut bahwa ia akan membangunkanku. Aku melihatnya, dan pergi. Karena perkataanku sebelumnya kepadanya, ada sesuatu yang mencubit hati aku.

Meskipun begitu, Aku membenci ibuku yang menangis dari satu matanya. Jadi, Aku mengatakan diri ku jikalau aku akan tumbuh dewasa dan menjadi sukses, karena aku membenci ibu bermata-satu aku dan kemiskinan kami.
Lalu aku belajar dengan keras. aku meninggalkan ibu dan ke Seoul untuk belajar, dan diterima di Universitas Seoul dengan segala kepercayaan diri. Lalu, aku menikah. aku membeli rumah milikku sendiri. Lalu aku memiliki anak-anak juga. Sekarang, aku hidup bahagia sebagai seorang pria yang sukses. aku menyukainya disini karena ini adalah tempat yang tidak meningatkan aku akan ibu.
Kebahagiaan ini menjadi besar dan semakin besar, ketika seseorang tidak terduga menjumpai aku “Apa?! Siapa ini?”… Ini adalah ibu aku.. tetap dengan satu matanya. Ini rasanya seperti seluruh langit sedang jatuh ke diri aku. Anak perempuan aku lari kabur, takut akan mata ibu aku.
Dan aku bertanya kepadanya, “Siapa Anda? aku tidak mengenalmu!!” sandiwara aku. aku berteriak kepadanya “Mengapa engkau berani datang ke rumah aku dan menakuti anak aku! Pergi dari sini sekarang juga!”
Dan ibu dengan pelan menjawab, “Oh, maafkan aku. aku pasti salah alamat,” dan dia menghilang. Terima kasih Tuhan.. Ia tidak mengenali aku. aku merasa cukup lega. aku mengatakan kepada diri aku bahwa aku tidak akan peduli, atau berpikir tentang ini sepanjang sisa hidup aku.
Lalu ada perasaan lega datang kepada aku.. Suatu hari, sebuah surat mengenai reuni sekolah datang ke rumah aku. aku berbohong kepada istri aku mengatakan bahwa aku akan pergi perjalanan bisnis. Setelah reuni ini, aku pergi ke rumah lama aku.. karena rasa penasaran saja, aku menemukan ibu aku terjatuh di tanah yang dingin. Tetapi aku tidak meneteskan satu air mata sekalipun. Ia memiliki sepotong kertas di tangannya.. dan itu adalah surat untuk diri aku.

=================================================

Anakku,
Aku pikir hidupku sudah cukup lama saat ini. Dan.. aku tidak akan mengunjungi Seoul lagi.. tetapi apakah itu terlau banyak jikalau aku ingin kamu untuk datang menunjungiku sekali-kali nak? aku sangat merindukanmu. Dan aku sangat lega ketika mendengar kamu akan datang dalam reuni ini.
Tetapi aku memutuskan untuk tidak datang ke sekolah.. Untuk Kamu.. aku meminta maaf jikalau aku hanya memiliki satu mata dan aku hanya membawa kemaluan bagi dirimu.
Kamu tahu, ketika kamu masih sangat kecil, kamu terkena sebuah kecelakaan, dan kehilangan satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tidak tahan melihatmu harus tumbuh dengan hanya satu mata.. maka aku memberikanmu mata aku.. aku sangat bangga kepada anak aku yang melihat dunia yang baru untuk aku, menggantikan aku, dengan mata itu.
Aku tidak pernah marah kepadamu atas apapun yang kamu lakukan. Beberapa kali ketika kamu marah kepada aku. aku berpikir sendiri,”Ini karena kamu mencintai aku.” Aku rindu waktu ketika kamu masih sangat kecil dan berada di sekitarku.
Aku sangat merindukanmu. Aku mencintaimu. Kamu adalah duniaku

Kisah yang diambil dari orang lain....

Friday, June 7, 2013

Minggu Biasa X- th C 9 Jun 2013 (Luk 7:11-17)


Petikan Injil Lukas kali ini (Luk7:11-17) mengisahkan bagaimana Yesus tergerak hatinya melihat penderitaan seorang ibu yang sudah janda yang kehilangan anak satu-satunya. Anak itu dibangkitkannya dan diberikannya kembali kepada ibunya. Bagaimana menarik hikmat dari kisah ini?

Di antara para penulis Injil, hanya Lukas-lah yang mengisahkan peristiwa ini. Tapi tentunya kejadian ini disaksikan murid-murid yang menyertai Yesus berjalan dari kota ke kota. Bayangkan, selama perjalanan itu terjadi pelbagai peristiwa yang membuat orang-orang dan khususnya para murid terdekatnya semakin menyadari siapa sebenarnya Yesus ini. Ia sudah dikenal sebagai orang yang pengajarannya mengena di hati dan benak orang banyak, ia juga berlaku sebagai penyembuh, malah ia dikenal memiliki kekuatan mengeluarkan roh jahat dari orang yang kerasukan. Jadi bukan sembarang orang. Karena itu ia semakin diikuti.

Tetapi lebih penting lagi Yesus juga semakin dikenal sebagai orang yang direstui Yang Mahakuasa sendiri untuk mendatangi orang-orang yang membutuhkan bantuan. Ia semakin dikenali sebagai utusan dari atas sana untuk melepaskan orang-orang dari pelbagai kesulitan. Lukas mengaitkannya peristiwa ini dengan kisah dari Perjanjian Lama yang sudah amat dikenal orang pada zaman itu, yakni kisah Elia menghidupkan kembali anak seorang Janda di Sarfat seperti didapati dalam 1 Raj 17:17-24 seperti terdapat dalam bacaan pertama Hari MInggu ini. Setelah menghidupkan kembali anak janda dari Nain itu, Yesus pun "menyerahkannya kepada ibunya". Tindakan ini persis sama dengan yang diceritakan mengenai Elia setelah menghidupkan kembali anak janda di Sarfat, lihat 1 Raj 17:23. Pembaca awal Injil Lukas akan langsung mengerti bahwa Lukas akan menjajarkan kedua peristiwa ini. Oleh karena itu dalam Luk 17:16 ditegaskan, orang-orang yang menyaksikan penghidupan kembali anak di Nain itu menyadari Yesus sebagai seorang besar yang tampil di tengah-tengah mereka. Jelas mereka memahami Yesus sebagai Elia, sang nabi besar yang kini hadir kembali.

Kisah Yesus menghidupkan kembali anak seorang janda di Nain ini disusun Lukas bukanlah semata-mata sebagai kisah mukjizat melainkan pula sebagai ungkapan simpati, belarasa Yesus terhadap ibu yang sudah janda itu. Lukas menceritakan seluk beluk yang biasanya tidak terekam dalam kisah mukjizat yang biasa. Terbaca "...anak tunggal ibunya yang sudah janda,..." (ayat 13a). Kemudian, "ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan." (ayat 13b). Dan akhirnya, "..lalu Yesus menyerahkannya kepada ibunya." (ayat 15) Pusat perhatian petikan ini pada perjumpaan Yesus dengan sang ibu tadi, bukan terutama pada penghidupan kembali anak yang mati itu.

Pembaca zaman kini sebaiknya berusaha mendekati warta petikan ini dengan menyadari dua hal berikut ini:

Pertama, Lukas menampilkan Yesus sebagai utusan ilahi yang penuh kuasa. Kata-katanya cukup untuk memanggil kembali orang yang sudah mati: "Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!" (ayat 14). Dan langsung terjadi demikian. Kematian pun tidak dapat menghalangi pendengaran anak muda itu. Pembaca zaman ini bisa pula mengingat kisah Yesus memanggil kembali Lazarus  (Yoh 11). Bahkan badan yang sudah mulai membusuk empat hari di dalam kubur pun (Yoh 11,17. 39) tidak menghalangi pendengaran kata-kata utusan ilahi. Orang yang sudah mati mendengar kata-katanya dan menaatinya. Lazarus keluar dari kubur. Dan dalam peristiwa di Nain, anak muda itu bangun dari kerandanya! Warta Injil jelas: kata-kata yang berasal dari Yang Mahakuasa yang disampaikan oleh utusan-Nya memiliki daya yang amat besar. Orang dihimbau untuk menyadari dan memper cayai kekuatan sabda ilahi. 

Kedua, Pembaca zaman sekarang akan menarik manfaat dari petikan Lukas kali ini bila mencoba mengenali bagaimana sang utusan ilahi itu ialah seorang manusia. Bisa ikut merasakan kesedihan, da tidak tahan melihat seorang sesama yang kehilangan satu-satunya harapan kehidupannya - anak tunggal sang janda tadi. Inilah tokoh yang diwartakan Injil sebagai yang diikuti orang banyak, dan kita juga di zaman lain, di tempat lain. Keilahian menjadi nyata. Bukan dalam sisi yang mengagetkan, yang menakjubkan, melainkan sisi yang amat manusiawi. 

Ada satu seluk beluk lain yang menarik bagi tafsir. Peristiwa dalam Injil kali ini dikisahkan terjadi di kota yang bernama Nain (Luk 7,11) - lebih rinci lagi disebutkan "pintu gerbang kota" (ayat 12). Kota itu diketahui letaknya, yakni sekitar 10 km sebelah tenggara Nazaret. Jadi di wilayah tempat asal Yesus. Namun yang ditonjolkan bukannya wilayah geografi, melainkan wilayah rohani. Penjelasannya begini. Nama kota itu, Nain, artinya "menyenangkan", "enak dipandang", begitulah. Pembaca zaman itu akan segera menaruh kisah ini dalam latar ini. Kejadian yang disampaikan Lukas ini memberi kesenangan, enak diceritakan, didengar, semakin dikisahkan semakin mendatangkan nikmat. Mengapa? Karena kisah ini dengan mudah menjadi jalan untuk memandangi bagaimana Tuhan "tergerak hari-Nya oleh belas kasihan" dan menjalankan yang dapat dijalankannya: mendekati usungan, menyentuhnya, dan memanggil anak mudah yang sudah mati itu untuk bangun!

Disebutkan semua ini terjadi di "pintu gerbang kota". Tempat yang biasa disebut demikian itu dalam Kitab Suci bukan hanya pintu atau gapura kota saja, melainkan pula pelataran, tempat terbuka yang ada di muka dan di belakangnya. Di tempat seperti itulah biasa orang-orang berkumpul dalam kesempatan penting. Dulu "pengadilan", "pertikaian hukum" terjadi di "pintu gerbang" kota. Di situ sang penguasa kota duduk menyaksikan pembicaraan, pertikaian, mendengarkan protes dan permohonan. Di situ pula kebesaran dan kemampuan memimpin sang pembesar terlihat. Ini semua ikut disampaikan Lukas dengan menyebutkan kejadian itu terjadi di pintu gerbang. Yesus ditampilkan sebagai pemimpin yang hadir menyaksikan kejadian ini dan bertindak sebagaimana layaknya seorang yang wajib melindungi orang-orang yang mendekat padanya. Namun lebih dari itu. Dalam kisah ini Lukas amat cerdik. Sang pemimpin, Yesus, bukannya didatangi orang-orang, melainkan mendatangi yang membutuhkannya. Inilah yang ditonjolkan Injil kali ini.

A. Gianto, SJA. Gianto

PERTUMBUHAN UMAT KATOLIK MENINGKAT DI ASIA



Jumlah umat Katolik meningkat dengan cepat di Asia dan Afrika, demikian data yang dirilis pada Senin oleh Vatikan, namun di kawasan lain menunjukkan kestabilan dan bahkan menurun di Amerika, Eropa dan Oseania.
Statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan umat Katolik di Asia meningkat dari seluruh penduduk di benua itu. Di antara tahun 2010 dan tahun 2011 kawasan ini mengalami peningkatan pertumbuhan dua persen, dibandingkan dengan 1,2 persen sebelumnya. Angka yang sama tercatat di Afrika, sementara di seluruh dunia umat Katolik berkembang sejalan dengan pertumbuhan penduduk.
Benua Amerika tetap menjadi wilayah yang paling banyak umat Katolik, dengan jumlah kurang dari setengah penduduk dunia.
Tren pertumbuhan Gereja di Asia dan Afrika juga tercermin dalam jumlah imam dan seminaris. Sementara di Eropa jumlah mereka telah menurun hampir 10 persen dalam satu dekade terakhir, di Afrika jumlahnya naik 39,5 persen sejak tahun 2000, dan di Asia meningkat 32 persen.
Kecenderungan ini bisa mempercepat pertumbuhan di tahun-tahun mendatang, terutama karena para calon imam menjadi semakin langka di Eropa dan Amerika.
Angka itu berbeda dengan Religius wanita. Jumlah biarawati telah menyusut hampir 10 persen dari tahun 2001, dengan hanya 713.000  tahun 2011 dibandingkan dengan 792.000 satu dekade lalu.
Dengan penurunan tajam di Eropa, Oceania dan Amerika, pertumbuhan yang cepat di Asia dan Afrika belum mampu mengimbangi tren itu.

JUMLAH UMAT KATOLIK SELURUH DUNIA MENINGKAT

Sekretaris Negara Vatikan Tarcisio Bertone SDB dan wakil Urusan Umum Vatikan Uskup Agung Angelo Becciu, menyerahkan  “Annuario Pontificio” (Buku Tahunan Kepausan) edisi 2012, dan “Annuarium Statisticum Ecclesiae” (Buku Tahunan Statistik Gereja) kepada Paus Benediktus XVI.
Buku tahunan itu melaporkan sepanjang tahun 2011, Paus  mendirikan delapan keuskupan, sebuah Ordinariat Pribadi dan sebuah Ordinariat Militer.
Informasi statistik tahun 2010 menunjukkan rincian tentang Gereja Katolik  di 2.966 wilayah di dunia.
Jumlah umat Katolik di dunia bergerak dari 1,181 juta tahun 2009 menjadi 1,196 juta tahun 2010, meningkat 15 juta, dengan pertumbuhan 1,3 persen. Selama dua tahun terakhir jumlah umat Katolik yang dibaptis di dunia tetap stabil di kisaran 17,5 persen.
Jumlah umat Katolik sangat bervariasi di berbagai benua. Jumlah mereka telah menurun di Amerika Selatan (dari 28,54 persen menjadi 28,34 persen) dan di Eropa (dari 24,05 persen menjadi 23,83 persen), sementara wilayah lain meningkat seperti di Afrika (dari 15,15 persen menjadi 15,55 persen) dan Asia Selatan dan Asia Timur (dari 10,47 persen menjadi 10,87 persen).
Jumlah uskup dari 5.065 menjadi  5.104, meningkat sebesar 0,77 persen. Peningkatan ini mencakup Afrika ( 16 uskup baru), Amerika (15) dan Asia (12), sedangkan angka menurun sedikit di Eropa (dari 1.607 menurun 1.606) dan Oseania (dari 132 menurun 129).
Jumlah imam meningkat mulai tahun 2000. Tahun 2010 jumlah mereka mencapai 412.236, terdiri dari 227.009 imam diosesan dan 135.227 imam Religius, sedangkan tahun 2009 imam berjumlah 410.593 (275.542 imam diosesan dan 135.051 imam Religius). Jumlah klerus telah meningkat di Asia (1.695), Afrika (765), Oseania (52) dan Amerika (42), sementara jumlah menurun di Eropa (905).
Jumlah diakon tetap telah meningkat sebesar 3,7 persen, dari 38.155 tahun 2009 menjadi 39.564  tahun 2010. Di  Amerika Utara (64,3 persen) dan Eropa (33,2 persen) dari total dunia.
Jumlah Religius wanita  sedang mengalami penurunan drastis, dari 729.371 tahun 2009 menurun 721.935  tahun 2010. Di Eropa turun 2,9 persen, Oceania sebesar 2,6 persen dan Amerika sebesar 1,6 persen. Meskipun demikian jumlah mereka meningkat sekitar 2 persen di Afrika dan Asia
Jumlah mahasiswa filsafat dan teologi di seminari-seminari diosesan dan religius telah meningkat tajam selama lima tahun terakhir, dari 114.439 tahun 2005 menjadi 111.990 tahun 2010, dengan pertumbuhan 4 persen.
Jumlah mahasiswa calon imam di seminari tinggi telah menurun 10,4 persen di Eropa, dan 1,1 persen di Amerika, tapi meningkat di Afrika (14,2 persen), Asia (13 persen) dan Oseania (12,3 persen).

Indahlah Tuhan

Ku tak pernah sendiri Jalani hidup habiskan waktu Kau slalu ada bersamaku, Hadir saat suka maupun duka Kau tak pernah berhenti memandang Bahkan Kau ulurkan tangan Mengangkatku dalam harapan besar ‘tuk cinta dan kebahagiaan Indahlah Tuhan, hidup ini indah CintaMu selalu kurasakan Baiklah Tuhan, Engkau sungguh baik HarapanMu slalu menghidupkan, selamanya Engkau sungguh baik, selamanya Kentungan, 30 April 2013

Perjumpaan Iman dan Budaya Lokal: “Masuk melalui pintunya, keluar melalui pintuku”



“Saya tidak begitu mengenal orang-orang China berikut tradisi dan budaya mereka sampai akhirnya saya tinggal di Pekalongan selama satu tahun. Rasanya begitu jauh untuk mengenal mereka. Ada banyak pandangan yang miring terhadap mereka. Namun, pandangan itu perlahan berubah seiring berjumpa dan berdinamika bersama mereka. Tidak serta merta saya menghakimi mereka secara sepihak. Justru saya juga menemukan hal baik dalam diri mereka dari sisi budaya, kehidupan, cara kerja, dan spiritualitas mereka ”

Gereja merupakan persekutuan umat beriman Kristiani yang beriman kepada Yesus Kristus yang mewartakan kabar keselamatan kepada semua orang. Sebagai persekutuan, Gereja terbentuk dari berbagai kalangan umat dengan berbagai macam latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Latar belakang sosial, budaya, ekonomi itu sedikit banyak mempengaruhi dinamika Gereja yang terbentuk, bertumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, Gereja yang mau mendarat, hidup dan berkembang harus mampu menyentuh kebutuhan umat yang dilayaninya, termasuk berkaitan dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi dll. 

Dalam usahanya semakin menegakkan Kerajaan Allah (Visi Arah Haluan Keuskupan Purwokerto), Gereja harus mengenali karakteristik umat di dalamnya. Tujuannya supaya pelayanan Gereja menyentuh dan menyapa mereka. Perbedaan latar belakang budaya akan mempengaruhi bagaimana sebaiknya pelayanan Gereja dibuat.
Pemahaman saya terhadap mereka terasa begitu dangkal. Saya tidak mengenal baik budaya dan tradisi yang berkembang di dalamnya. Ini menjadi kelemahan saya sebagai tenaga pastoral. Bahwa setidaknya, tenaga pastoral harus lebih dulu membaca, mengenali, dan mencermati subyek pastoral yang dilayani. Agar pelayanan itu efektif. Sekilas pandang berjumpa dengan umat Tionghoa, tampaknya beberapa umat Tionghoa masih membuat beberapa ritual atau tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka. Kendati tidak semua dari mereka melakukannya dengan baik dan benar. Artinya, soal pelaksanaan dan pemaknaan yang kurang mendalam. Pertanyaan untuk mereka adalah Bagaimana identitas mereka, sebagai orang Tionghoa, di Indonesia atau Keuskupan Purwokerto khususnya? Apakah mereka menghidupi nilai-nilai kebudayaan Tionghoa dengan baik, atau bahkan mendalami dan mengembangkan kebudayaan Tionghoa.
Beberapa hal yang saya tahu berkaitan dengan tradisi Tionghoa adalah pertama,  mengenai penghormatan arwah (leluhur). Mereka membuatnya sebagai sebuah warisan dari leluhur mereka. Kendati praktek ini tidak serta merta dibuat oleh mereka. Ctt: saya masih dangkal soal pengetahuan ini, apakah di dalamnya tidak ada benturan paham antara penghormatan leluhur tionghoa dengan peringatan-peringatan yang dibuat oleh Gereja Katolik? Mungkin, penghormatan kepada leluhur sebagai bakti anak kepada orangtua, mendoakan mereka agar hidup abadi di surga dll. Dengan kata lain, sebagai sarana menghormati dan mendoakan para arwah leluhur agar diterima Tuhan, sebagai usaha mengikuti tradisi yang sudah ada dalam keluarganya, atau sebagai usaha memperoleh keselamatan dari para leluhur. Ini yang perlu dijernihkan!!!
Kedua, tahun baru imlek. Perayaan syukur kepada Yang Maha Tinggi, dihindarikan dari segala malapetaka dan dirahmati dengan rejeki yang berlimpah. Dalam perayaan itu ada aneka macam simbol dari camilan, kue, buah, agar-agar, ikan, nasi, dan tradisi seni barongsai dll. Mereka sangat kaya dengan simbol. Demikian Gereja pun kaya akan simbol. Maka, semua bisa ditatapkan satu sama lain, asal kita mengetahui makna dibalik simbol-simbol itu. (Animal symbolicum –manusia mengungkapkan dirinya dalam bentuk-bentuk simbol).
Nilai yang kuat berkembang dari budaya dan tradisi Tionghoa adalah soal penghormatan kepada orangtua, kepada leluhur serta keharmonisan hidup pribadi dengan alam, dan sekitarnya. Paham, “siapa menanam, ia akan menuai” rasanya melekat dalam hati mereka. Selain juga spiritualitas kerja yang selalu ditekuninya dengan baik. Saya setuju dengan spiritualitas yang disampaikan oleh Rm. Maryoto, bahwa mereka memiliki semangat kerja, ulet, sangat menghormati leluhur, dan menjaga nama baik keluarga, Keharmonisan relasi manusia dengan alam yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi, manusia tidak pernah lepas dari alam, tindakannya berdampak pada alam semesta, dan seluruh alam semesta mempengaruhi dirinya.

Pastoral Kontekstual
Teologi yang berkembang di Asia berhadapan dengan tiga realitas, yaitu keagamaan, kebudayaan, dan kemiskinan. Berhadapan dengan tiga realitas itu, rasanya menjadi mungkin dan baik jika Gereja bisa menempatkan diri dengan baik dengan ketiga realitas itu. Ctt: Rm. Kristi : menemukan wajah Kristus yang kontekstual.
Belajar dari Matteo Ricci yang bermisi di China. Dia menggunakan pintu masuk budaya untuk mengenalkan Kristus. Kristus dikenalkan dengan gampang, sederhana, terlebih berhadapan dengan mereka yang belum mengenal Kristus. Matteo Ricci belajar budaya terlebih dahulu. Catatan tambahan : budaya China tidak mengenal penderitaan. (Prinsip hidup yang disampaikan bapak Edi: Tuhan tidak mengatur kesuksesan dan kegagalan mereka. Kesuksesan dan kegagalan tergantung di tangan mereka sendiri. Tuhan hanya urusan hidup dan mati manusia saja). Maka, konsep penderitaan manusia hanyalah rekaan manusia, penderitaan hanyalah manusia. Tuhan tidak akan pernah menderita. Sementara bagi Katolik, Kristus adalah Dia yang menderita.
Kita sebagai tenaga pastoral, mampu menempatkan diri, merasuk dan melebur dengan mereka untuk mengenalkan mereka pada Kristus, “masuk melalui pintu mereka, keluar melalui pintu kita”- sebab iman tumbuh dari kebudayaan setempat bukan dipaksakan dari luar.
Berhadapan dengan budaya dan tradisi setempat, Gereja perlu hati-hati agar tidak terbawa dalam arus sinkretisme. Atau setidaknya mengarahkan umat untuk jeli dalam menghidupi tradisi budaya dan keagamaan mereka dengan baik. Jangan sampai toleransi menjadi suatu pengesahan terhadap praktek sinkretisme. Maka, fungsi tenaga pastoral untuk bisa mengenal budaya dan tradisi setempat dengan baik. Mana yang selaras dengan Gereja Katolik mana yang tidak!!

Bagiku:
1.      Membuka wacana dan kesadaran baru mengenai realitas umat yang hidup dan berkembang di Keuskupan Purwokerto.
2.      Diajak untuk mengakrabi kebudayaan setempat dengan baik sebagai sarana efektifitas pastoral yang mau dikembangkan demi perkembangan umat.
3.      Tujuannya akhirnya bisa mengembangkan Katekese yang kontekstual dengan mengenali kebudayaan mereka, mengenali pola kepercayaan mereka dan memasukkan unsur-unsur kristiani dalam katekese. Tujuannya agar mereka mengerti akan misteri Kristus, memahami maknanya, serta hidup baru dalam diriNya.
4.      Mengasup dan mengembangkan spiritualitas hidup mereka yang dapat menjadi daya yang baik (kalau dimanfaatkan dalam Gereja) untuk perkembangan Gereja: penghormatan kepada leluhur, orang yg lebih tua, semangat kerja dll.
5.      Melibatkan mereka dalam kehidupan menggereja secara otentik