Saat ada peristiwa Garebek di alun-alun Yogyakarta, berbondong-bondong orang datang
dan menyaksikan peristiwa itu. Mereka menyaksikan arak-arakkan gunungan yang
dilengkapi dengan bermacam makanan atau materi gunungan. Yang menarik bagi saya
adalah peristiwa sesudah perarakan gunungan itu. Setelah gunungan selesai diarak,
dan di doakan, biasanya oleh Kyai
Pengulu, yang memohon keselamatan bagi sultan, para putera serta kerabat
dalem, juga keselamatan bagi kerajaan beserta rakyatnya. Sedekah yang telah
didoakan dibagi-bagikan kepada pembesar, kerabat dalem, prajurit dan pegawai
keraton malah kini orang-orang berlomba merayah gunungan itu. Mereka
percaya bahwa melalui hasil rayahan itu mereka akan mendapat berkah. Inilah
makna dibalik simbol tradisi adat keagamaan yang berkembang. Tujuan merayah
gunungan adalah untuk ngalap berkah
(meminta berkah) dari Tuhan. Saya masih ingat ketika seseorang diwawancarai di
salah satu stasiun televisi swasta, “Apakah bapak ikut merayah gunungan itu?
Apa yang didapat? Apa yang bapak percayai dari peristiwa ini?”. Lantas bapak
itu menjawab, “Saya dapat kacang panjang. Intinya, ya semoga saya dapat berkah,
entah rejeki yang lancar, panjang usia, atau kesuksesan dalam kerja, keluarga,....dst”.
Beberapa orang yang lain mengatakan hal senada atas keterlibatan mereka merayah
gunungan itu. Intinya mereka mau ngalap
berkah.
Itulah yang terbesit dalam pikiran saya saat
memikirkan dan merenungkan tema cor unum saat ini, yaitu “Ngalap Berkah
Novena”. Rasanya peristiwa adat keagamaan itu bisa membuka permenungan kita
dalam memaknai novena yang tumbuh di hati umat beriman. Bagaimana kita memandang
dan memakani novena sebagai “Ngalap Berkah” secara benar.
Kerinduan
akan Tuhan
Rasanya semua
berawal dari sebuah kerinduan untuk mengalami kasih dan cinta Tuhan dalam
kehidupan. Kerinduan rohani -berjumpa, tinggal bersamaNya, serta mengalami
kasihNya- yang menggerakkan kita untuk mencari dan menemukan wadah yang mampu
menampung dan memuaskannya. Perjumpaan itu biasa kita lakukan dalam doa. Apakah
doa itu? Doa merupakan saat-saat kita berjumpa dengan Tuhan secara personal.
Basil Pennington, OCSO menggambarkan saat berdoa seperti saat bersama sahabat
sejati sembari minum kopi setiap hari. Peristiwa duduk bersama, minum kopi
adalah saat-saat penting itu. Ketika salah seorang tidak datang, kita pasti
akan melewatkan saat khusus itu dengan sia-sia. Tetapi ketika kita datang
bersama, kita duduk bersama, kita bisa merencanakan banyak hal yang mau kita
buat. Melalui duduk bersama sembari minum kopi kita melakukan penyegaran setiap
hari. Cinta dan kehadiran adalah pengikatnya. Maka, doa bisa jadi merupakan
peristiwa minum kopi bersama Tuhan. Doa adalah persahabatan dalam tindakan (prayer is friendship in action).
Berdoa adalah bagaimana kita hadir dan mencintai. Dengan kata lain, Basil
Pennington, OCSO menegaskan Doa hanyalah kesediaan untuk meluangkan waktu,
berkomunikasi pribadi dengan Tuhan, membangun keintiman rohani denganNya, dan
yang terpenting adalah melakukannya secara teratur (rutin).
Doa-doa yang kita
kembangkan meluap dari kebutuhan afeksi, emosi, kerinduan hati. Untuk
memenuhinya kita kerap mencari bentuk-bentuk doa yang sesuai/cocok dengan kebutuhan
kita. Tidak dipungkiri kita terkadang mengalami kemandegan manakala berjumpa dengan liturgi resmi Gereja yang
terkesan rutin, kering, resmi, dan kaku. Oleh karenanya, kita mencari
bentuk-bentuk liturgi Gereja yang mampu melepas dahaga rohani kita. Tentu saja
liturgi resmi tidak boleh kita abaikan, seperti Ekaristi (liturgi resmi Gereja)
harus menjadi sumber dan puncak iman kita. Melalui Ekaristi kita merayakan
syukur, mengenangkan, dan menghadirkan misteri keselamatan Tuhan bagi kita.
Lantas bagaimana kerinduan umat yang beranekaragam terwadahi? Inilah yang dikembangkan
Gereja dengan devosi. Devosi berasal dari bahasa Latin devotio (dari kata kerja: devovere),
yang berarti “kebaktian, pengorbanan, penyerahan, sumpah, kesalehan, cinta
bakti”. Devosi dimaknai sebagai sikap hati dan perwujudannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam tradisi kristiani, devosi dipahami sebagai bentuk penghayatan dan
pengungkapan iman Kristiani di luar liturgi resmi. Devosi lebih bersifat
spontan dan lebih bebas serta dapat dibawakan secara pribadi maupun bersama.
Meskipun bukan liturgi resmi, devosi diakui dan diterima oleh Gereja resmi. Devosi mengalir dari rasa
dan pengalaman religius umat dan merangkum seluruh segi kehidupan manusia. Apa
yang tidak tertampung dalam liturgi resmi dapat ditemukan dalam praktek devosi
umat, yakni kebutuhan afeksi, emosi dan kerinduan hati.
Novena
Sebagai Devosi Umat
Devosi yang
berkembang di dalam Gereja kiranya membantu sebagian besar kita mengalami Tuhan
secara personal. Salah satu devosi yang berkembang di tengah umat misalnya doa
novena. Kalau omong tentang novena, saya teringat beberapa kisah
ini. Pada suatu hari kakak saya bertanya via sms, “Sore mo, tanya, novena medali wasiat itu apa?”. Pertanyaan itu
membuat saya tergelitik dan tersadar akan aneka jenis novena yang berkembang di
tengah umat, dan tidak semua dari kita mengetahuinya. Kalau boleh disebutkan
beberapa diantaranya novena Rahmat Karunia Kasih, novena kepada Hati Kudus,
novena Santa Perawan Maria, novena Santa Perawan Maria Ratu, novena kepada
Santo Yusup, novena kepada Bunda Maria dari Lourdes, novena kepada Bunda dari
Gunung Karmel, novena pada Para Kudus dan lain sebagainya. Pada umumnya novena
dimulai sembilan hari sebelum perayaan atau pesta yang dikaitkan dengan orang
kudus tertentu.
Kesempatan lain
saya berjumpa dengan umat yang banyak bertanya tentang arti novena, “Sebenarnya
novena itu apa romo, Apakah kita mendoakannya harus sembilan kali, ga boleh bolong, apa bener kaya gitu?”. “Romo, Novena saya bolong beberapa kali.
Apakah berarti doa saya tidak akan terkabul?”. Ketika mendengar pertanyaan
itu, saya berpikir tentang beberapa hal praktis yang harus kita waspadai saat
berdevosi. Salah satu kecenderungan praktis yang tidak benar bahwa kita mengkultuskan
angka-angka tertentu, misalnya angka sembilan. Bahkan tidak jarang praktik
novena mengarah pada tahayul, karena banyaknya pengaruh atau dampak luar biasa
yang dikaitkan dengan praktek novena, dan karena angka sembilan dijadikan pusat
dari devosi. Praktik semacam inilah yang harus kita waspadai. Jangan sampai
devosi berubah makna menjadi praktik magis yang melenceng dari ajaran resmi
Gereja. Devosi bukan mengarahkan kita pada tahayul atau pengkultusan angka
tertentu.
Untuk
mengantisipasi beberapa kekeliruan paham tentang novena, kita perlu tahu arti
dan makna novena dengan benar. Novena berasal dari kata Latin novem, yang berarti sembilan. Doa novena
adalah praktek doa yang dilakukan selama sembilan hari. Selama sembilan hari
diisi dengan doa-doa tertentu bagi persiapan suatu pesta atau ujub permohonan
yang penting. Kita perlu tahu bahwa dalam sejarah perkembangannya, penggunaan
jumlah sembilan bukanlah khas kristiani, namun telah terdapat dalam tradisi
religius masyarakat pada umumnya (3, 7, dst). Akan tetapi tradisi
Kristiani memberi isi baru menurut pola Kis 1:13-14 ketika para Rasul bersama
Bunda Maria bertekun dalam doa menantikan kedatangan Roh Kudus. Novena sebagai praktek
doa merupakan sarana mengalami perjumpaan personal dengan Tuhan yang melibatkan
ketekunan, kesetiaan, dan kerinduan hati kepadaNya. Dalam perkembangan saat
ini, novena harus tetap dipantau agar selalu pada koridor liturgi resmi Gereja.
Artinya devosi jangan sampai dipandang sebagai pengganti liturgi resmi, “sregep novena tapi ora tau melu misa. Ini
salah!!”. Praktek devosi harus dijauhkan dari bahaya praktek magis. Praktek
magis terjadi apabila orang memandang kekuatan dan daya pengudusan berasal dari
barang, mantra, hitungan angka itu sendiri. Misalnya orang percaya doa novena
tiga Salam Maria, atau jumlah angka sembilan yang membuat doanya terkabul.
Devosi semestinya harus membawa kita pada Tuhan. Berkat iman itulah doa kita
dikabulkan.
Maksud
“Ngalap Berkah” Novena
Awalnya novena dipersembahkan kepada Santa Perawan
Maria dan orang kudus “kesayangan” berubah menjadi doa dengan permohonan
khusus. Tidak jarang orang mendoakan novena dengan ujub kesembuhan,
keberhasilan dan lain sebagainya. Inti doa novena adalah hubungan kita dengan
Allah Tritunggal melalui perantaraan Bunda Maria dan orang kudus. Bahkan tidak mandeg di situ, kekayaan rohani novena
memperkaya kehidupan doa kita, yaitu dengan meningkatkan semangat untuk berdoa
selama periode tertentu, dan dengan memohon lewat ulangan kata tertentu.
Intinya, Novena memberi ruang perjumpaan, membangun
keintiman rohani dengan Allah Tritunggal melalui perantaraan Bunda Maria dan
para orang kudus. Sekaligus juga membangun kesetiaan dan ketekunan kita dalam
mempersembahkan diri pada Tuhan. Esensi novena bukanlah
pengkultusan angka sembilan atau kepercayaan tahayul di dalamnya sehingga kita
memperoleh keberhasilan atau keselamatan. Gereja memberi catatan bahwa novena
akan mampu bermanfaat sebagai sarana doa bila dilakukan dalam konteks yang
benar, yaitu dengan cara demikian, sehingga doa itu “selaras dengan masa-masa
liturgi, sesuai dengan liturgi kudus, dan membimbing umat kepada liturgi kudus”
(Konstitusi Liturgi Kudus, no. 13). Akhirnya,
ngalap berkah novena adalah bagaimana
kita menemukan dan mengalami keselamatan sebagai buah relasi
kita dengan Tuhan. Ketika kita mengarahkan diri secara benar kepada Tuhan, dengan meluangkan waktu, dan melakukannya secara
rutin sebagai suatu kerinduan mendalam kepadaNya, kita
akan selalu mengalami rahmat kasihNya. Inilah ngalap berkah novena
yang dituju, yakni mengalami keselamatan dari Tuhan.
Daftar Pustaka
Balakangan ini (setelah masa
pendudukan Jepang), gunungan langsung dirayah (direbut) oleh masyarakat sesaat
setelah didoakan oleh Pengulu.