Wednesday, February 12, 2014

Menerima dan Berbagi Berkat Kehidupan


Peristiwa bencana tiba-tiba menjadi peristiwa aktual masyarakat Indonesia. Berita dari media cetak dan elektronik tentang bencana banjir, tanah longsor, gunung meletus menjadi hidangan acara setiap hari. Air yang meluap dan mengalir dengan deras menghanyutkan barang-barang dan merobohkan rumah-rumah penduduk. Tanah longsor memutus akses dan komunikasi perjumpaan masyarakat dari satu tempat ke tempat yang lain. Awan panas yang mengepul dan turun dengan cepat meluluhlantahkan segala sesuatu bahkan banyak jiwa melayang karenanya. Tangisan-tangisan pilu para korban menjadi nyanyian kesedihan atas peristiwa tragis yang mereka alami. Mereka kehilangan rasa aman dan nyaman, kehilangan harta bahkan nyawa.
Situasi dan kondisi masyarakat yang tengah mengalami penderitaan mengundang empati banyak orang. Dalam dunia psikologi, empati merupakan kemampuan untuk menyadari perasaan orang lain dan bertindak untuk membantu. Sikap empati terkait erat dengan rasa iba dan kasih sayang yang menggerakkan seseorang untuk terlibat. Sikap empati terwujud dalam sikap solidaritas terhadap mereka yang menderita. Sikap solidaritas menjadi pilihan obyektif sebagai pribadi manusia yang berjiwa sosial.
Sikap solidaritas merupakan tindakan peduli seseorang terhadap situasi dan keadaan orang lain yang menderita. Hal itu ditunjukkan melalui aneka aksi sosial masyarakat seperti mengumpulkan dana solidaritas, mengumpulkan bahan mentah sembilan bahan pokok, membuka posko-posko kesehatan, maupun membuka dapur umum. Semua kalangan ambyur dalam situasi masyarakat yang menderita. Latar belakang agama, status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda tidak menghalangi adanya solidaritas kemanusiaan. Justru melalui penderitaan, perbedaan disatukan atasnama kemanusiaan.

Menerima dan Berbagi Berkat Kehidupan
Kita menyadari bahwa seluruh alam semesta, termasuk manusia, merupakan ciptaan Allah. Perjalanan kehidupan manusia merupakan suatu berkat (anugerah) dimana kebahagiaan hidup hanya menjadi mungkin jika kita terbuka terhadap kekuatan Allah sendiri. Sebagai pribadi yang diciptakan, kita menerima banyak berkat dariNya, seperti berkat kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, keberhasilan bahkan lebih dari semuanya adalah berkat kehidupan. Apa yang kita terima dari Allah adalah cuma-cuma. Tidak sepeser rupiah pun kita keluarkan agar kita memperoleh berkat yang namanya “kehidupan”. Sebagai pribadi yang beriman, sepatutnyalah kita mempersembahkan diri kepadaNya dengan penuh cinta. Wujud cinta kita kepada Allah menjadi nyata dalam hubungan/relasi kita dengan segala ciptaanNya. Di antara segala ciptaan manusia merupakan puncaknya karena manusia yang dianugerahi akal budi merupakan citra Allah (gambaran kebaikan dan kesempurnaan Allah) dan teman sekerja Allah dalam penciptaan, pelestarian dan pengembangannya.
Berkat Allah yang diterima secara gratis mengajak kita merefleksikan panggilan hidup di tengah masyarakat. Apa yang dikatakan oleh Nabi Yesaya menjadi undangan bagi kita dalam menyadari eksistensi kita sebagai manusia sosial, “Aku menghendaki supaya engkau membagi-bagikan rotimu kepada orang yang lapar, dan membawa ke rumahmu orang-orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang supaya engkau memberi dia pakaian, dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yesaya 58:7). Nabi Yesaya menyampaikan pesan Allah kepada orang-orang Yahudi untuk membentuk suatu masyarakat persaudaraan. Di dalam masyarakat persaudaraan, ada konsep berbagi kasih dan cinta satu dengan yang lain. Demikian realitas kehidupan masyarakat kita saat ini hendak ditarik pada kesadaran refleksi semacam itu. Bagaimana kita membangun masyarakat persaudaraan yang terbuka berbagi dengan mereka yang mengalami keterbatasan dan menderita. Kita dapat belajar dari situasi dan kondisi bencana yang melanda masyarakat saat ini. Apakah kita peduli terhadap mereka? Ataukah sebaliknya, kita mengobyekkan mereka atas nama kemanusiaan demi kepentingan pribadi.
Apabila kita menempatkan diri sebagai orang beriman, masing-masing kita dipanggil kepada kepenuhan hidup dengan cara berpartisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Berpartisipasi berarti bertanggungjawab terhadap apa yang kita katakan atau lakukan. Kita adalah karya Allah yang masing-masing dikehendaki, dicintai olehNya. Kehadiran kita yang penuh berkat dari Allah dipanggil untuk meneruskan kembali berkat itu bagi banyak orang. Inilah makna solidaritas, dimana kita mengakui pemberian rahmat Allah serta terbuka untuk  bersikap dan bertindak membagikannya kepada banyak orang, “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada gunakanya selain dibuang dan diinjak-injak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.” (Matius 5:13-14)

Solidaritas Yesus kepada umatNya
Solidaritas memang menuntut kita untuk mengakui pemberian rahmat, yang pada gilirannya mendorong kita bersikap dan bertindak seperti apa yang dilakukan oleh Yesus. Allah membingkai keseluruhan hidup Yesus di dunia sebagai wujud solidaritasNya dengan manusia. Peristiwa inkarnasi merupakan kasih dan cinta Allah kepada manusia, dimana Yesus menjadi manusia agar keselamatan Allah sungguh bisa kita rasakan. Demikian pula keseluruhan hidup dan karya Yesus mengisahkan solidaritas kasih dan cinta kepada banyak orang. Peristiwa pengusiran setan, mukjizat dan penyembuhan : orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, orang tuli mendengar, perempuan yang sakit pendarahan disembuhkanNya, pengampunan Yesus kepada orang-orang berdosa, merupakan solidaritas kasih dan cintaNya kepada manusia. Tujuannya adalah keselamatan. Solidaritas itu dipuncaki dalam penderitaan dan kematianNya di kayu salib demi menebus dosa manusia.
Kita sebagai orang beriman dapat belajar dari sikap Yesus terhadap sesamaNya.  Keterlibatan kita terhadap mereka yang menderita merupakan salah satu wujud pilihan khas Gereja untuk mewartakan kabar gembira pada yang lemah dan kecil, seturut dengan sabda Yesus sendiri, “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketka Aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Matius 25:35-36)
Sikap empati (solidaritas) membutuhkan keberanian untuk bertindak tanpa kepentingan apapun. Inilah panggilan kita sebagai orang beriman, bahwa pilihan kehidupan menjadi keutamaan yang harus senantiasa kita perjuangkan. Kita dapat membawa permenungan ini melalui kisah singkat Sidharta Gautama yang merangkum makna pentingnya kehidupan yang diperjuangkan, “Alkisah ada seorang bocah yang sedang berjalan di kebun dan melihat seekor angsa terbang sambil mengerang dan jatuh tersungkur ke semak-semak. Dia bergegas mendekatinya dan ternyata kena panah. Ia segera memeluknya dan memberinya air minum dari labu yang ada dipinggangnya supaya tenang. Lalu perlahan-lahan ia mencabut panah itu dan merobek bajunya untuk membalut lukanya supaya darahnya berhenti mengucur. Diambilnya dedaunan dan diremas lalu dibalurkan sebagai obat.

Tiba-tiba datang saudara sepupunya sambil membawa busur dan meminta supaya angsa itu diserahkan kepadanya karena dia yang memanah. Bocah itu menolak, “Kalau mati, itu adalah milikmu! Tetapi, saya yang menyelamatkan. Karena itu, kamu tidak berhak atasnya!”. Persoalan itu akhirnya dibawa ke sidang orang-orang bijak. Setelah bersidang akhirnya diputuskan “Kehidupan adalah milik dari mereka yang menyelamatkan, bukan yang menghancurkan”.

dimuat dalam Satelitpost, Sabtu, 9 Februari 2014

No comments:

Post a Comment