Peristiwa bencana
tiba-tiba menjadi peristiwa aktual masyarakat Indonesia. Berita dari media
cetak dan elektronik tentang bencana banjir, tanah longsor, gunung meletus
menjadi hidangan acara setiap hari. Air yang meluap dan mengalir dengan deras
menghanyutkan barang-barang dan merobohkan rumah-rumah penduduk. Tanah longsor
memutus akses dan komunikasi perjumpaan masyarakat dari satu tempat ke tempat
yang lain. Awan panas yang mengepul dan turun dengan cepat meluluhlantahkan
segala sesuatu bahkan banyak jiwa melayang karenanya. Tangisan-tangisan pilu para
korban menjadi nyanyian kesedihan atas peristiwa tragis yang mereka alami.
Mereka kehilangan rasa aman dan nyaman, kehilangan harta bahkan nyawa.
Situasi dan kondisi
masyarakat yang tengah mengalami penderitaan mengundang empati banyak orang.
Dalam dunia psikologi, empati merupakan kemampuan untuk menyadari perasaan
orang lain dan bertindak untuk membantu. Sikap empati terkait erat dengan rasa
iba dan kasih sayang yang menggerakkan seseorang untuk terlibat. Sikap empati terwujud
dalam sikap solidaritas terhadap mereka yang menderita. Sikap solidaritas
menjadi pilihan obyektif sebagai pribadi manusia yang berjiwa sosial.
Sikap solidaritas
merupakan tindakan peduli seseorang terhadap situasi dan keadaan orang lain
yang menderita. Hal itu ditunjukkan melalui aneka aksi sosial masyarakat seperti
mengumpulkan dana solidaritas, mengumpulkan bahan mentah sembilan bahan pokok,
membuka posko-posko kesehatan, maupun membuka dapur umum. Semua kalangan ambyur dalam situasi masyarakat yang
menderita. Latar belakang agama, status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda
tidak menghalangi adanya solidaritas kemanusiaan. Justru melalui penderitaan,
perbedaan disatukan atasnama kemanusiaan.
Menerima
dan Berbagi Berkat Kehidupan
Kita menyadari bahwa
seluruh alam semesta, termasuk manusia, merupakan ciptaan Allah. Perjalanan
kehidupan manusia merupakan suatu berkat (anugerah) dimana kebahagiaan hidup
hanya menjadi mungkin jika kita terbuka terhadap kekuatan Allah sendiri. Sebagai
pribadi yang diciptakan, kita menerima banyak berkat dariNya, seperti berkat
kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, keberhasilan bahkan lebih dari semuanya adalah
berkat kehidupan. Apa yang kita terima dari Allah adalah cuma-cuma. Tidak
sepeser rupiah pun kita keluarkan agar kita memperoleh berkat yang namanya
“kehidupan”. Sebagai pribadi yang beriman, sepatutnyalah kita mempersembahkan
diri kepadaNya dengan penuh cinta. Wujud cinta kita kepada Allah menjadi nyata
dalam hubungan/relasi kita dengan segala ciptaanNya. Di antara segala ciptaan
manusia merupakan puncaknya karena manusia yang dianugerahi akal budi merupakan
citra Allah (gambaran kebaikan dan kesempurnaan Allah) dan teman sekerja Allah
dalam penciptaan, pelestarian dan pengembangannya.
Berkat Allah yang diterima
secara gratis mengajak kita merefleksikan panggilan hidup di tengah masyarakat.
Apa yang dikatakan oleh Nabi Yesaya menjadi undangan bagi kita dalam menyadari
eksistensi kita sebagai manusia sosial, “Aku menghendaki supaya engkau
membagi-bagikan rotimu kepada orang yang lapar, dan membawa ke rumahmu
orang-orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang
telanjang supaya engkau memberi dia pakaian, dan tidak menyembunyikan diri
terhadap saudaramu sendiri!” (Yesaya 58:7). Nabi Yesaya menyampaikan pesan
Allah kepada orang-orang Yahudi untuk membentuk suatu masyarakat persaudaraan.
Di dalam masyarakat persaudaraan, ada konsep berbagi kasih dan cinta satu
dengan yang lain. Demikian realitas kehidupan masyarakat kita saat ini hendak
ditarik pada kesadaran refleksi semacam itu. Bagaimana kita membangun
masyarakat persaudaraan yang terbuka berbagi dengan mereka yang mengalami
keterbatasan dan menderita. Kita dapat belajar dari situasi dan kondisi bencana
yang melanda masyarakat saat ini. Apakah kita peduli terhadap mereka? Ataukah
sebaliknya, kita mengobyekkan mereka atas nama kemanusiaan demi kepentingan
pribadi.
Apabila kita
menempatkan diri sebagai orang beriman, masing-masing kita dipanggil kepada
kepenuhan hidup dengan cara berpartisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Berpartisipasi
berarti bertanggungjawab terhadap apa yang kita katakan atau lakukan. Kita
adalah karya Allah yang masing-masing dikehendaki, dicintai olehNya. Kehadiran
kita yang penuh berkat dari Allah dipanggil untuk meneruskan kembali berkat itu
bagi banyak orang. Inilah makna solidaritas, dimana kita mengakui pemberian
rahmat Allah serta terbuka untuk bersikap
dan bertindak membagikannya kepada banyak orang, “Kamu adalah garam dunia. Jika
garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada gunakanya selain
dibuang dan diinjak-injak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak
di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.” (Matius 5:13-14)
Solidaritas
Yesus kepada umatNya
Solidaritas memang
menuntut kita untuk mengakui pemberian rahmat, yang pada gilirannya mendorong
kita bersikap dan bertindak seperti apa yang dilakukan oleh Yesus. Allah
membingkai keseluruhan hidup Yesus di dunia sebagai wujud solidaritasNya dengan
manusia. Peristiwa inkarnasi merupakan kasih dan cinta Allah kepada manusia,
dimana Yesus menjadi manusia agar keselamatan Allah sungguh bisa kita rasakan.
Demikian pula keseluruhan hidup dan karya Yesus mengisahkan solidaritas kasih
dan cinta kepada banyak orang. Peristiwa pengusiran setan, mukjizat dan
penyembuhan : orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, orang tuli mendengar,
perempuan yang sakit pendarahan disembuhkanNya, pengampunan Yesus kepada
orang-orang berdosa, merupakan solidaritas kasih dan cintaNya kepada manusia.
Tujuannya adalah keselamatan. Solidaritas itu dipuncaki dalam penderitaan dan kematianNya di kayu salib demi
menebus dosa manusia.
Kita sebagai orang
beriman dapat belajar dari sikap Yesus terhadap sesamaNya. Keterlibatan kita terhadap mereka yang
menderita merupakan salah satu wujud pilihan khas Gereja untuk mewartakan kabar
gembira pada yang lemah dan kecil, seturut dengan sabda Yesus sendiri, “Sebab
ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku
minum; ketka Aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan; ketika Aku
telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika
Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Matius 25:35-36)
Sikap empati
(solidaritas) membutuhkan keberanian untuk bertindak tanpa kepentingan apapun.
Inilah panggilan kita sebagai orang beriman, bahwa pilihan kehidupan menjadi
keutamaan yang harus senantiasa kita perjuangkan. Kita dapat membawa
permenungan ini melalui kisah singkat Sidharta Gautama yang merangkum makna
pentingnya kehidupan yang diperjuangkan, “Alkisah ada seorang bocah yang sedang
berjalan di kebun dan melihat seekor angsa terbang sambil mengerang dan jatuh
tersungkur ke semak-semak. Dia bergegas mendekatinya dan ternyata kena panah.
Ia segera memeluknya dan memberinya air minum dari labu yang ada dipinggangnya
supaya tenang. Lalu perlahan-lahan ia mencabut panah itu dan merobek bajunya
untuk membalut lukanya supaya darahnya berhenti mengucur. Diambilnya dedaunan
dan diremas lalu dibalurkan sebagai obat.
Tiba-tiba datang
saudara sepupunya sambil membawa busur dan meminta supaya angsa itu diserahkan
kepadanya karena dia yang memanah. Bocah itu menolak, “Kalau mati, itu adalah
milikmu! Tetapi, saya yang menyelamatkan. Karena itu, kamu tidak berhak
atasnya!”. Persoalan itu akhirnya dibawa ke sidang orang-orang bijak. Setelah
bersidang akhirnya diputuskan “Kehidupan adalah milik dari mereka yang menyelamatkan,
bukan yang menghancurkan”.
dimuat dalam Satelitpost, Sabtu, 9 Februari 2014
No comments:
Post a Comment