Tuesday, February 25, 2014


SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2014
KEUSKUPAN PURWOKERTO

  TUHAN HADIR DAN LEWAT MENYELAMATKAN UMAT

Dibacakan dalam Ibadat Sabda atau  Perayaan Ekaristi
Sabtu  sore, 1 Maret 2014 dan Minggu, 2  Maret 2014

Saudara-saudari umat beriman Keuskupan Purwokerto yang terkasih, Berkat Tuhan!

Masa Prapaskah 2014 sudah tiba. Paskah  berarti “hadir dan lewat”. Siapa yang hadir dan lewat? Tuhan Allah yang hadir dan lewat menyelamatkan. Prapaskah berarti “hari menjelang kehadiran dan lewat-Nya Allah”. Peristiwa kehadiran dan lewat-Nya Tuhan Allah ini, dalam iman Perjanjian Lama, berhubungan dengan peristiwa kepercayaan umat Hibrani kepada Yahwe, yang hadir dan lewat menyelamatkan para putera sulung umat Hibrani di Mesir, pada hari menjelang  Yahwe membebaskan umat Hibrani dari penderitaan hidup tertindas di bawah kekuasaan Firaun, raja Mesir. Dalam Perjanjian Baru, Paskah berarti kehadiran dan lewatnya Allah membangkitkan Yesus Kristus dari mati yang menjadi sumber keselamatan umat manusia. Prapaskah itu hari-hari menjelang hari Raya Kebangkitan Yesus  dari mati.

Surat Gembala dari Uskup dalam masa Prapaskah, berisi ajakan Uskup kepada Umat Katolik di keuskupannya, agar umat menggunakan waktu Prapaskah untuk berolah kebatinan, merenungkan misteri atau keajaiban Yesus yang telah menderita sengsara, wafat dan bangkit dari mati  demi keselamatan umat manusia. Umat  ber-bela-derita Yesus dengan laku doa disertai pantang dan puasa seraya mensyukuri, merasuki dan menghayati iman akan keajaiban ilahi ini dalam hidupnya sehari-hari. Dengan demikian, peristiwa Paskah, yang begitu agung, mendalam dan  luhur, tidak tersia-siakan demi keselamatan umat manusia.

Tahun 2014 ini, dalam masa Prapaskah, kemudian Paskah dan sesudah Paskah, umat Katolik Keuskupan Purwokerto diharapkan mengolah arah haluan penggembalaan umat yang menyangkut masalah: Pemberdayaan Paguyuban. Selain itu, Bapa Suci Fransiskus menyampaikan pesan Prapaskah 2014 tentang hikmah penghayatan kemiskinan dan Konferensi Wali Gereja Indonesia mengajak umat dalam Prapaskah 2014 ini mendalami martabat luhur  manusia yang mau belajar dari bekerja. Tambahan lagi, dalam tahun 2014 ini masyarakat Indonesia sedang mengalami peristiwa yang minta perhatian khusus dari umat:  pemilihan umum untuk menentukan para anggota DPR Pusat dan DPRD; kemudian pemilihan umum untuk menentukan siapa Presiden RI. Sehubungan dengan berbagai masalah itu, sepantasnya tema besar olah kebatinan umat Katolik Keuskupan Purwokerto, “Pemberdayaan Paguyuban”, tersentuhkan juga pada masalah politik, masalah sosial, masalah keterbukaan hati. Dalam pelaksanaanya, umat berkinerja  memberdayakan paguyuban-paguyuban yang  sudah ada, baik berkadar teritorial, kategorial, dan profesional. Tentu saja kalau paguyuban yang kita miliki sudah mencakup semua bidang hidup kanuragan, kejiwaan, kerohanian, rasanya masalahnya sudah terincikan untuk bisa dimasuki, tinggal perlunya ada dorongan untuk menemukan pola baru.

Semoga Tuhan Allah yang hadir dan lewat menyelamatkan bangsa Indonesia, menciptakan Pemilu yang berjalan dengan  damai dan aman, serta orang-orang yang nantinya terpilih menjadi pemimpin negara berjiwa jujur, terjauhkan dari tindak korupsi, bersemangat damai untuk melayani masyarakat mencapai kesejahteraan hidup. Demikian juga semoga Tuhan, yang bekenan hadir dan lewat, menyelamatkan umat Katolik Keuskupan Purwokerto, melahirkan paguyuban-paguyuban yang rukun giat bersemangat sebagai umat Katolik yang beriman tangguh, berharapan teguh dan bercintakasih utuh.

Saudara-saudari  umat beriman Keuskupan Purwokerto yang terkasih,


Marilah bersama Tuhan Yesus, yang telah bangkit dari mati, kita menyambut kehadiran Allah Bapa yang menyelamatkan umat manusia. Dan kita mohon doa restu kepada Bunda Maria, Ibu Gereja, supaya kita berani bangkit beralih dari penderitaan ke kegembiraan sebagai putera-puteri Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang.



Purwokerto, 2 Maret 2014


Mgr. Julianus Sunarka, SJ
Uskup Keuskupan Purwokerto

Monday, February 24, 2014

PRAPASKAH 2014


“Jiwaku Memuliakan Tuhan”, Semangat Uskup Bogor

Mgr. Paskhalis Bruno Syukur OFM

RD. Kamilus Pantus, pr
23 Februari 2014


Hari Sabtu tanggal 22 Februari 2014 menjadi hari paling membahagiakan bagi seluruh umat Katolik di Indonesia, namun secara khusus tentu saja bagi Umat Katolik Keuskupan (Diosis) Bogor. Bersamaan dengan Gereja Katolik Semesta yang merayakan Pesta Tahta Santo Petrus - sesuai dengan irama kalender liturgi - maka Diosis Bogor merayakan peristiwa tahbisan episkopal (uskup) untuk gembala barunya : Uskup Bogor Mgr. Paskhalis Bruni Syukur OFM.


Mgr. Paskhalis Bruni Syukur OFM akan menggantikan Uskup Bogor emeritus yang segera akan memasuki hari-hari purna karyanya yakni Mgr. Dr. Michael Cosmas Angkur OFM. Kedua Bapak Uskup ini sama-sama imam anggota Ordo Saudara Hina Dina (Ordo Fratrum Minorum/OFM) yang didirikan oleh Santo Fransiskus Assisi.

Tahbisan Meriah
Dihadiri tak kurang dari 10.000-an umat katolik dari seluruh penjuru -khususnya Keuskupan Bogor, Keuskupan Bandung, dan Keuskupan Agung Jakarta serta kerabat dan relasi dekat Uskup Bogor yang baru - acara tahbisan episkopal untuk Mgr. Paskhalis Bruno Syukur digelar di Sentul International Convention Center (SICC). Hujan deras yang membasahi kawasan Jakarta dan Bogor sekitarnya tak membuat ribuan umat katolik lesu semangat untuk merayakan pesta iman dan peristiwa bersejarah untuk Keuskupan Bogor ini.

Bertindak sebagai Uskup penahbis adalah Uskup Emeritus Bogor Mgr. Michael Cosmas Angkur OFM. Ikut mendampingi beliau adalah Ketua Presidium KWI sekaligus Uskup Agung Jakarta dan Administrator Keuskupan Bandung Mgr. Ignatius Suharyo pr dan Uskup Ruteng (Flores, NTT) Mgr. Hubertus Leteng pr. Mgr. Paskhalis Bruno Syukur OFM adalah putra asli daerah Manggarai, Flores dan secara administratif gerejani masuk dalam jurisdiksi Keuskupan Ruteng.

Magnificat Anima Mea Dominum
Mengambil teks indah dari Injil Lukas 1:46, Uskup Bogor yang baru Mgr. Paskhalis Bruno Syukur OFM mengutip kalimat indah ini : Magnificat anima mea Dominum yang artinya "Jiwaku Memuliakan Tuhan."

Mengapa Uskup Bogor yang baru Mgr. Paskhalis OFM mengambil teks yang indah tersebut? Kiranya, beliau menyadari sepenuhnya bahwa panggilan tugas pelayanan menjadi seorang gembala di sebuah diosis tertentu - dengan menjabat sebagai uskup - merupakan sebuah undangan rohani. Intinya, dia diundang oleh Gereja untuk secara lebih luas dan ekstensif melayani persekutuan orang-orang beriman (yakni Gereja) secara lebih meluas daripada hanya sekedar melayani 'sebagian' orang beriman dalam sebuah kelompok ordo religius tertentu yakni OFM. 


Sebelum ditetapkan oleh Bapa Suci Paus Fransiskus menjadi Uskup Bogor pada tanggal 21 November 2013, Mgr. Paskhalis Bruno Syukur OFM lebih banyak berkarya secara internal di lingkungan Ordo Fratrum Minorum (OFM). Beliau pernah menjadi pemimpin OFM untuk Provinsi Indonesia kurun waktu 2001-2009 dan kemudian menjadi definitore generale untuk OFM wilayah Asia, Oceania, dan Pasifik berkedudukan di Generalat Roma.

Jauh sebelum menjabat pimpinan teras di OFM baik di Provinsi Indonesia maupun di Generalat OFM di Roma, Mgr. Paskhalis Bruno Syukur OFM juga lebih banyak berkarya di bidang formatio para frater muda OFM. Pertama-tama sebagai magister novis frater-frater muda OFM di Novisiat OFM dan kemudian pastor pendamping frater-frater OFM yang tengah studi filsafat-teologi di STF Driyarkara Jakarta. Beliau sendiri secara khusus belajar spiritualitas di Roma.

Maka dengan mengambil moto pelayanan bertajuk Magnificat Anima Mea Dominum, Bapak Uskup Diosis Bogor yang baru Mgr. Paskhalis Bruno Syukur ingin mengedepankan pola/corak kegembalaan pastoral yang memprioritaskan semangat pelayanan, sikap diri murah hati, penuh belas kasih, membina persaudaraan sejati, rendah hati. Tentu saja, tak boleh lupa juga semangat menghadirkan perjumpaan sejati antarmanusia serta penghargaan tinggi terhadap martabat manusia dan alam ciptaan Tuhan.

Omnes vos fratres estis yang berarti "Kamu semua adalah saudara" sesuai isi perikop Injil Matius 23:8. Sapaan Yesus ini menjadi inspirasi bagi Mgr. Paskhalis OFM untuk menyapa dan menjadikan sesama sebagai saudara-saudarinya.

komsoskwi@kawali.org

Wednesday, February 12, 2014

Menerima dan Berbagi Berkat Kehidupan


Peristiwa bencana tiba-tiba menjadi peristiwa aktual masyarakat Indonesia. Berita dari media cetak dan elektronik tentang bencana banjir, tanah longsor, gunung meletus menjadi hidangan acara setiap hari. Air yang meluap dan mengalir dengan deras menghanyutkan barang-barang dan merobohkan rumah-rumah penduduk. Tanah longsor memutus akses dan komunikasi perjumpaan masyarakat dari satu tempat ke tempat yang lain. Awan panas yang mengepul dan turun dengan cepat meluluhlantahkan segala sesuatu bahkan banyak jiwa melayang karenanya. Tangisan-tangisan pilu para korban menjadi nyanyian kesedihan atas peristiwa tragis yang mereka alami. Mereka kehilangan rasa aman dan nyaman, kehilangan harta bahkan nyawa.
Situasi dan kondisi masyarakat yang tengah mengalami penderitaan mengundang empati banyak orang. Dalam dunia psikologi, empati merupakan kemampuan untuk menyadari perasaan orang lain dan bertindak untuk membantu. Sikap empati terkait erat dengan rasa iba dan kasih sayang yang menggerakkan seseorang untuk terlibat. Sikap empati terwujud dalam sikap solidaritas terhadap mereka yang menderita. Sikap solidaritas menjadi pilihan obyektif sebagai pribadi manusia yang berjiwa sosial.
Sikap solidaritas merupakan tindakan peduli seseorang terhadap situasi dan keadaan orang lain yang menderita. Hal itu ditunjukkan melalui aneka aksi sosial masyarakat seperti mengumpulkan dana solidaritas, mengumpulkan bahan mentah sembilan bahan pokok, membuka posko-posko kesehatan, maupun membuka dapur umum. Semua kalangan ambyur dalam situasi masyarakat yang menderita. Latar belakang agama, status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda tidak menghalangi adanya solidaritas kemanusiaan. Justru melalui penderitaan, perbedaan disatukan atasnama kemanusiaan.

Menerima dan Berbagi Berkat Kehidupan
Kita menyadari bahwa seluruh alam semesta, termasuk manusia, merupakan ciptaan Allah. Perjalanan kehidupan manusia merupakan suatu berkat (anugerah) dimana kebahagiaan hidup hanya menjadi mungkin jika kita terbuka terhadap kekuatan Allah sendiri. Sebagai pribadi yang diciptakan, kita menerima banyak berkat dariNya, seperti berkat kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, keberhasilan bahkan lebih dari semuanya adalah berkat kehidupan. Apa yang kita terima dari Allah adalah cuma-cuma. Tidak sepeser rupiah pun kita keluarkan agar kita memperoleh berkat yang namanya “kehidupan”. Sebagai pribadi yang beriman, sepatutnyalah kita mempersembahkan diri kepadaNya dengan penuh cinta. Wujud cinta kita kepada Allah menjadi nyata dalam hubungan/relasi kita dengan segala ciptaanNya. Di antara segala ciptaan manusia merupakan puncaknya karena manusia yang dianugerahi akal budi merupakan citra Allah (gambaran kebaikan dan kesempurnaan Allah) dan teman sekerja Allah dalam penciptaan, pelestarian dan pengembangannya.
Berkat Allah yang diterima secara gratis mengajak kita merefleksikan panggilan hidup di tengah masyarakat. Apa yang dikatakan oleh Nabi Yesaya menjadi undangan bagi kita dalam menyadari eksistensi kita sebagai manusia sosial, “Aku menghendaki supaya engkau membagi-bagikan rotimu kepada orang yang lapar, dan membawa ke rumahmu orang-orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang supaya engkau memberi dia pakaian, dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yesaya 58:7). Nabi Yesaya menyampaikan pesan Allah kepada orang-orang Yahudi untuk membentuk suatu masyarakat persaudaraan. Di dalam masyarakat persaudaraan, ada konsep berbagi kasih dan cinta satu dengan yang lain. Demikian realitas kehidupan masyarakat kita saat ini hendak ditarik pada kesadaran refleksi semacam itu. Bagaimana kita membangun masyarakat persaudaraan yang terbuka berbagi dengan mereka yang mengalami keterbatasan dan menderita. Kita dapat belajar dari situasi dan kondisi bencana yang melanda masyarakat saat ini. Apakah kita peduli terhadap mereka? Ataukah sebaliknya, kita mengobyekkan mereka atas nama kemanusiaan demi kepentingan pribadi.
Apabila kita menempatkan diri sebagai orang beriman, masing-masing kita dipanggil kepada kepenuhan hidup dengan cara berpartisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Berpartisipasi berarti bertanggungjawab terhadap apa yang kita katakan atau lakukan. Kita adalah karya Allah yang masing-masing dikehendaki, dicintai olehNya. Kehadiran kita yang penuh berkat dari Allah dipanggil untuk meneruskan kembali berkat itu bagi banyak orang. Inilah makna solidaritas, dimana kita mengakui pemberian rahmat Allah serta terbuka untuk  bersikap dan bertindak membagikannya kepada banyak orang, “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada gunakanya selain dibuang dan diinjak-injak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.” (Matius 5:13-14)

Solidaritas Yesus kepada umatNya
Solidaritas memang menuntut kita untuk mengakui pemberian rahmat, yang pada gilirannya mendorong kita bersikap dan bertindak seperti apa yang dilakukan oleh Yesus. Allah membingkai keseluruhan hidup Yesus di dunia sebagai wujud solidaritasNya dengan manusia. Peristiwa inkarnasi merupakan kasih dan cinta Allah kepada manusia, dimana Yesus menjadi manusia agar keselamatan Allah sungguh bisa kita rasakan. Demikian pula keseluruhan hidup dan karya Yesus mengisahkan solidaritas kasih dan cinta kepada banyak orang. Peristiwa pengusiran setan, mukjizat dan penyembuhan : orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, orang tuli mendengar, perempuan yang sakit pendarahan disembuhkanNya, pengampunan Yesus kepada orang-orang berdosa, merupakan solidaritas kasih dan cintaNya kepada manusia. Tujuannya adalah keselamatan. Solidaritas itu dipuncaki dalam penderitaan dan kematianNya di kayu salib demi menebus dosa manusia.
Kita sebagai orang beriman dapat belajar dari sikap Yesus terhadap sesamaNya.  Keterlibatan kita terhadap mereka yang menderita merupakan salah satu wujud pilihan khas Gereja untuk mewartakan kabar gembira pada yang lemah dan kecil, seturut dengan sabda Yesus sendiri, “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketka Aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Matius 25:35-36)
Sikap empati (solidaritas) membutuhkan keberanian untuk bertindak tanpa kepentingan apapun. Inilah panggilan kita sebagai orang beriman, bahwa pilihan kehidupan menjadi keutamaan yang harus senantiasa kita perjuangkan. Kita dapat membawa permenungan ini melalui kisah singkat Sidharta Gautama yang merangkum makna pentingnya kehidupan yang diperjuangkan, “Alkisah ada seorang bocah yang sedang berjalan di kebun dan melihat seekor angsa terbang sambil mengerang dan jatuh tersungkur ke semak-semak. Dia bergegas mendekatinya dan ternyata kena panah. Ia segera memeluknya dan memberinya air minum dari labu yang ada dipinggangnya supaya tenang. Lalu perlahan-lahan ia mencabut panah itu dan merobek bajunya untuk membalut lukanya supaya darahnya berhenti mengucur. Diambilnya dedaunan dan diremas lalu dibalurkan sebagai obat.

Tiba-tiba datang saudara sepupunya sambil membawa busur dan meminta supaya angsa itu diserahkan kepadanya karena dia yang memanah. Bocah itu menolak, “Kalau mati, itu adalah milikmu! Tetapi, saya yang menyelamatkan. Karena itu, kamu tidak berhak atasnya!”. Persoalan itu akhirnya dibawa ke sidang orang-orang bijak. Setelah bersidang akhirnya diputuskan “Kehidupan adalah milik dari mereka yang menyelamatkan, bukan yang menghancurkan”.

dimuat dalam Satelitpost, Sabtu, 9 Februari 2014

Tuesday, February 11, 2014

CINTA KASIH ADALAH DASAR HIDUP KELUARGA


Keluarga merupakan tempat munculnya permasalahan dan penyelesaiannya. Tidak ada keluarga yang tidak menghadapi permasalahan hidup. Seringkali permasalahan muncul secara tidak terduga. Misalnya, hubungan suami istri, masalah yang dihadapi anak belasan tahun, dan masalah ekonomi, demikian definisi keluarga menurut buku Is there a family in the house. Teori itu dapat kita temukan nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada banyak masalah yang terjadi di dalam keluarga. Dalam relasi suami-istri maupun anak, kurangnya sikap ke-saling-an dalam komunikasi, penghargaan, perhatian, menerima, keterbukaan, dan lain sebagainya. Dalam bidang ekonomi bersangkuterat dengan kesejahteraan: kecukupan sandang, pangan dan papan. Masalah keturunan pun dapat memicu permasalahan keluarga yang berdampak pada lunturnya kesetiaan.
Keluarga-keluarga kerap menemukan masalah, tetapi ditantang untuk menemukan penyelesaian di dalamnya. Ini merupakan suatu tantangan bagi keluarga-keluarga agar dapat mempertanggungjawabkan pilihan hidup dengan baik. Tantangan yang sekarang muncul adalah begitu mudahnya kata “cerai” dilontarkan sebagai penyelesaian persoalan di dalam keluarga. Kita dapat menarik refleksi ini dari salah satu media yang kerap kita nikmati, yaitu media elektronik televisi. Setiap hari stasiun-stasiun televisi tidak pernah alpa menayangkan acara infotainment meliputi gaya hidup artis sampai kehidupan pribadi dan keluarganya yang sangat personal. Kita dapat melihat kasus kekerasan rumah tangga, pelecehan seksual, perselingkuhan, bahkan perceraian yang dialami oleh mereka maupun public figur lainnya. Kita bisa dengan mudah menyebut artis-artis yang sudah dan tengah menjalani proses perceraian. Seolah perceraian dianggap sebagai pilihan tepat untuk mengatasi persoalan dalam keluarga. Ada pasangan yang sudah menikah sekian tahun lamanya, harus berakhir pada perceraian, bahkan mereka yang baru seumur jagung menikah dengan mudah memutuskan cerai. Reaksi spontan kita, mungkin terkesan menghakimi, “Artis kok doyane kawin cerai”. Tetapi, apakah fenomena pelecehan, perselingkuhan, perceraian hanya terjadi pada para artis? Tidak!
Peristiwa kawin cerai kini menjadi fenomena biasa yang terjadi dalam kehidupan kita. Jika sudah tidak ada kecocokan, berarti cerai. “Kalo istri atau suami ngga mau diatur, cerai saja!”, Ketika ada perselingkuhan, cerai adalah jalan keluar. Apakah perkawinan (hidup berkeluarga) hanya cukup dipandang dan dimaknai sesederhana itu? Bukankah perkawinan dan hidup berkeluarga merupakan suatu panggilan hidup dimana kesakralan perkawinan itu ada dan harus dijaga?
Paus Yohanes Paulus II dalam Amanat Apostolik Familiaris Consortio berisi tentang Peranan Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern mengajak seluruh keluarga kristiani untuk tetap setia berpegang pada nilai-nilai yang merupakan dasar landasan lembaga keluarga. Perkawinan dan keluarga merupakan salah satu nilai manusiawi yang paling berharga dimana misteri perkawinan dan keluarga tak pernah habis digali berkat keadaan, pertanyaan, kecemasan serta harapan yang diberikan Allah di dalamnya.
Gereja memberikan terang dalam situasi gelap yang dihadapi oleh keluarga-keluarga kristiani jaman ini. Jalan terang yang ditawarkan adalah bagaimana keluarga memaknai kembali hakikat perkawinannya. Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Dalam perkawinan dan dalam keluarga terjalinlah serangkaian hubungan antarpribadi-hidup sebagai suami-istri, hidup sebagai ayah dan ibu, hidup sebagai anak dan sebagai saudara, dan melalui hubungan itu setiap pribadi manusia dibawa masuk ke dalam “keluarga manusia” dan ke dalam “keluarga Allah”, yakni Gereja.” Pertama, Keluarga manusia. Setiap pribadi diajak untuk menghayati realitas persatuan dengan setia satu sama lain. Asas batiniah yang menjadi kekuatan dan tujuan akhirnya adalah cinta kasih, “Tanpa cinta kasih keluarga bukanlah persekutuan pribadi-pribadi dan tanpa cinta kasih keluarga tidak dapat hidup, tumbuh, dan menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi.” (FC. 18) Penghayatan cinta kasih tidak selalu mudah untuk diterapkan dalam kehidupan. Kita diharap mampu mengukur dan memaknai cinta kasih berdasar ukuran cinta Allah kepada kita, tak terbatas. Ini merupakan usaha kita terus-menerus. Kita diharap membangun keluarga sebagai komunitas kasih sehingga keluarga menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh anggotanya. Selain itu, keluarga yang bertumbuh sebagai komunitas kasih mampu mengembangkan buah-buah Roh di dalam kehidupan, “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri serta pengampunan “ (Gal 5:22-23).
Kedua, Keluarga Allah. Keluarga Kristiani berakar dan mengambil kekuatan, dan dihidupkan oleh Tuhan dan dipanggil serta dilibatkan ke dalam dialog denganNya melalui sakramen-sakramen, persembahan hidup dan doa. Dengan demikian keluarga dipanggil untuk dikuduskan dan menguduskan persekutuan gerejani dan dunia. Keluarga tidak hanya menjadi persekutuan manusiawi, tetapi persekutuan ilahi. Allah hadir di dalam keluarga melalui peran dan tugas setiap anggotanya.
Salah satu model keluarga kristiani yang ideal dapat kita temukan dalam kehidupan Keluarga Kudus Nazaret. Siapakah Keluarga Kudus Nazaret? Mereka adalah Yesus, Maria dan Yosef. Keluarga Kudus Nazaret menjadi patron (model) hidup keluarga-keluarga kristiani. Kudus berarti bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Mereka menjadi keluarga kudus karena berkenan kepada Allah. Maria dan Yusuf merupakan pribadi yang setia satu sama lain. Mereka menghayati kebersamaan keluarga yang saling mengasihi. Mereka hidup sebagai keluarga yang taat dengan tata aturan agama. Mereka setia beribadah. Mereka tumbuh sebagai keluarga yang menyadari dan menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Yusuf dan Maria pun mendidik iman dan mengenalkan Allah kepada anaknya sejak dini. Yesus diajak ikut serta dalam perjalanan mereka ke Bait Allah di Yerusalem.
Inilah harapan Gereja kepada keluarga-keluarga kristiani. Bagaimana keluarga-keluarga kristiani hidup menurut kehendak Allah. Mereka menerima Yesus tinggal di tengah-tengah mereka sehingga dikuduskan olehNya. Keluarga tetap setia membangun persekutuan kasih antara suami dan istri. Cinta kasih menjadi benteng iman menghadapi tantangan di dalam keluarga. Akhirnya keluarga diutus menjaga, menyatakan, dan menyampaikan cinta kasih kepada anggotanya maupun mereka yang ada di sekitarnya.
Untuk menutup renungan ini, ada sebuah kisah inspiratif dari film berjudul “The Vow” yang diangkat dari pengalaman nyata sebuah keluarga. Bagaimana persoalan keluarga tidak menjadi alasan putusnya kasih dan cinta atau perceraian melainkan kesempatan menguji ketulusan dan kesetiaan.
Mereka adalah Kim dan Krickitt Carpenter. Pada usia 10 minggu perkawinannya, sebuah kecelakaan mengerikan dialami keduanya. SEbuah truk menabrak mereka dari belakang. Kim penuh luka, tulang rusuk dan hidungnya patah, serta mengalami luka robek. Sementara Krickitt tak sadarkan diri dan luka pada kepala. Krickitt koma selama empat bulan. Saat tersadar dari komanya, dia tidak bisa mengingat apapun yang dialaminya selama dua tahun sebelum kecelakaan. Krickitt pun sama sekali tak mengenali suaminya, Kim.
"Aku tidak tahu apapun sampai aku bangun dari koma. Setelah empat bulan berlalu, aku sama sekali tak tahu di mana dan atau apa yang telah terjadi". Akibat kecelakaan itu, Krickitt lupa tentang banyak hal seperti bagaimana menggosok gigi, berpakaian dan berjalan bahkan lupa dengan Kim, suaminya. Peristiwa itu membuat Kim sedih. Namun ia tidak ingin larut dalam kesedihan itu sebab ia lebih bersyukur bahwa wanita yang dicintainya dalam keadaan selamat.
"Aku berpikir dia mungkin saja tidak akan pernah mengingatku. Bahkan dia tidak ingin melakukan apapun denganku. Aku tidak akan meninggalkannya sampai dia menatap mataku dengan sadar dan mengatkan kalau semuanya sudah berakhir. Sampai saat itu terjadi, aku tidak akan menyerah". Itulah yang dikatakan Kim. Demikian pula Krickitt, meski ia tidak memiliki perasaan cinta kepada Kim. Ia tidak menceraikannya.
"Aku sudah bersumpah di depan keluarga dan teman untuk tetap bersama dalam keadaan suka dan duka, sakit dan sehat.". Krickitt memutuskan untuk belajar mencintai Kim lagi meski ia membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mewujudkannya.
Semoga kita dapat menghayati dan menghidupi cinta di dalam keluarga dengan setia bahkan saat kita menghadapi persoalan berat sekalipun. 

dipublikasikan di dalam satelitpost

Wednesday, February 5, 2014

MOMENT MEMBANGUN PENGHARAPAN

Ada seorang pemuda bernama Tama. Ia tergolong masih muda, usianya sekitar 22 tahun. Di usia yang masih muda Tuhan menguji dirinya dengan suatu penyakit berat. Berdasarkan pemeriksaan para medis, ia terserang tumor. Vonis itu membuatnya sangat terpukul. Gegap gempita sebagai orang muda serasa muram tak menyuarakan apa-apa. 
Awalnya ia berat menerima kenyataanpahit itu. Namun seiring waktu sejalan doa dan dukungan orang-orang yang mencintainya, ia memutuskan untuk berpasrah kepada Tuhan. Ia tak mempersoalkan seberapa sakit dan beratnya penyakit yang diidapnya. Ia tidak lagi memberontak kepada Tuhan. Ia memilih mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik bahkan untuk kenyataan terpahit sekalipun. Ia mengasup obat herbal dan setia menjalani  check up  dengan hati yang lebih pasrah. Ia banyak menghabiskan waktu untuk berdoa, setia merayakan ekaristi dan merenungkan sabda. Dibalik kegetiran hidupnya, ia selalu mengumbar senyum untuk siapa saja. Kehadirannya membawa kehangatan bagi siapa saja yang berada di dekatnya. Inilah sikap dan caranya memandang sakit dan kehidupannya. 
Penderitaan bukan suatu peristiwa yang menakutkan tetapi kesempatan membangun harpan dalam iman. Tama menyiapkan akhir hidupnya dengan matang. Ia siap saat Tuhan datang kepadanya.
Apa yang ia buat sungguh mengagumkan. Ia berani mengambil langkah-langkah yang panjang dalam proses penyembuhannya. Kita bisa membayangkan bagaimana kesembuhan itu membutuhkan kesabaran untuk menunggu. Inilah pengalaman Adven di mana Tama mempersiapkan segala sesuatu dengan iman dan harapan kepadaNya.
Pengalaman adven inilah yang akan kita renungkan minggu ini. Apa yang dimaksud dengan pengalaman adven? Kita akan merenungkan pengalaman adven dalam kacamata Gereja Katolik. Adven merupakan masa khusus di dalam liturgi gereja. Adven berasal dari kata Latin adventus, artinya kedatangan yang dinanti-nanti. Apa dan siapa yang dinanti? Yesus Sang Juruselamat. Masa adven diperingati dalam 4 minggu sebelum hari Natal. Selama empat minggu, umat beriman menyiapkan kedatangan Tuhan yang menjadi manusia, yang dikandung dari Roh Kudus oleh Perawan Maria sekaligus mempersiapkan kedatangan Tuhan yang kedua (eskatologis). Maka, masa adven adalah masa untuk menunggu kedatangan Tuhan Yesus.
Peristiwa iman inilah yang kita rayakan selama empat minggu ke depan. Seluruh umat beriman mempersiapkan diri agar pantas menyambut kedatanganNya. Kepantasan itu disiapkan secara lahir dan batin. Apa yang harus kita siapkan?
Pertama, Berjalan di dalam terang Tuhan. Apa yang disampaikan oleh Nabi Yesaya, utusan Allah, kepada orang Yehuda dan Yerusalem merupakan langkah persiapan. Yesaya mengajak mereka naik ke gunung Tuhan, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar tentang jalan-jalanNya, dan supaya mereka menempuh jalan itu. Yesaya mengajak mereka untuk berjalan dalam terang Tuhan (Yes 2:5). Yesaya menegaskan suatu dampak dari kehidupan baru yang diakibatkan oleh terang yakni kedamaian.
Apa yang dihadapi oleh Yesaya dirasakan oleh kita saat ini. Alih-alih kita menemukan kedamaian malah peperangan, kekerasan, dan kebencian. Lihat apa yang terjadi dengan para mahasiswa di Makasar, mereka tawuran. Pembunuhan, perampokan atau korupsi bisa kita temukan dengan mudah tumbuh di sekitar kita. Dalam lingkup keluarga, adanya perselingkuhan, perceraian, ngrasani sangat cepat berkembang.
Di dalam masa adven, kita dipanggil untuk merenungkan perjalanan rohani kita secara pribadi. Apa yang direnungkan oleh Yesaya menjadi permenungan kita. Kedamaian, keselamatan, kebahagiaan itu dapat menjadi nyata jika kita secara terbuka membiarkan diri berjalan di dalam terangNya, “Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas. Bangsa yang satu tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa yang lain, dan mereka tidak akan lagi berlatih perang.”
Masa adven merupakan moment istimewa untuk mengubah diri. Aneka kekacauan (chaos) yang ada tak akan pernah berhenti jika kita tidak berusaha mengubahnya. Kesempatan untuk berubah merupakan salah satu persiapan kita secara rohani dalam menyambut kedatangan Yesus. Perubahan ini tidak lepas dari pertobatan yang kita bangun terus-menerus. Bagaimana kita mewujudkan hidup sebagai anak terang?
Kedua, Kesiapsediaan. Kita tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi dengan diri kita. Masa adven sebagai masa penantian akan kedatangan Tuhan Yesus mengajak kita untuk selalu mempersiapkan diri kapan-pun Ia datang. Ilustrasi kesiapsediaan itu dikisahkan Penginjil Matius dengan jelas, "Sebab itu, hendaklah kamu selalu siap siaga, karena Anak manusia datang apda saat yang tidak kamu gua." Kesiapsediaan kita sebagai orang beriman dapat diwujudkan dalam ketekunan berdoa, kesetiaan menggereja, terbuka terhadap sesama dan lain sebagainya. Jangan sampai saat Tuhan mau datang yang kedua kalinya kita kedapatan belum siap. Kita masih sibuk membersihkan hati kita yang kotor karena kebencian, kemarahan, kesombongan. Oleh karena itu, masa adven menjadi kesempatan yang baik bagi kita untuk membersihkan hati kita secara baik. Kita menyiapkan ruang hati yang bersih, yang pantas ditinggali olehNya. Inilah bentuk kesiapsediaan kita dalam menyambut kedatanganNya.
Semoga keterbukaan dan kesiapsediaan kita menyambutNya bisa kita hidupi dengan setia di masa adven ini. Sebab inilah moment yang tepat untuk membangun pengharapan. Dia datang menawarkan keselamatan kepada kita. Apakah kita telah menyiapkan hati untukNya??

SETIA BERJUANG UNTUK SEBUAH HARAPAN



Tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” (Luk 21:16-19)

“Hidup kadang-kadang senang, kadang-kadang sedih. Usia remaja terkebiri oleh rasa tanggungjawab hidup di negeri orang. Gejolak hati selalu menghantui, terutama pada saat ingin bertemu keluarga. Pulang ke kota asal tak punya uang. Wah, jadi seperti budak majikan. Hidup terasa sangat berat.” Penggalan kisah ini bisa menjadi inspirasi rohani kita sebagai orang beriman dalam menghadapi situasi-situasi sulit di dalam kehidupan. Acapkali kita menjadi lebih mudah berkeluh kesah dan berputus asa ketika menghadapi kesulitan dan persoalan hidup. Hidup ekonomi yang tidak berubah dari waktu ke waktu, “Oh halah Gusti, Gusti, deneng uripe inyong kaya kiye bae ya. Urip ora tau ngrasakena kepenak. Motor ora duwe, tv ora duwe, duit nggo tuku madhang be ora nduwe...semprul. Masa inyong kudu utang-utang terus”. Pengalaman sakit yang tidak kunjung sembuh membuat kita berputus asa, “Apakah aku orang yang sangat berdosa. Apakah Tuhan tidak mencintaiku?”.

Litani kekecewaan keluar dari hati dan bibir kita ketika persoalan-persoalan hidup yang kita alami tidak selesai. Ketika berbagai macam usaha yang telah kita buat tidak mendatangkan hasil apa-apa, sia-sia. Peristiwa ini kerap mendatangkan krisis iman, “Tuhan tidak peduli”. Pernah ada seorang ibu mengatakan, “Untuk apa aku berdoa toh sama saja. Aku tetap sakit kanker.” Pengalaman krisis ini membuat seseorang meragukan Tuhan.
Di dalam setiap peristiwa hidup kita dipanggil untuk percaya kepada Tuhan, kendati itu berat. Salah satu kutipan yang rasa saya sangat meneguhkan adalah apa yang dikatakan Paulus kepada jemaat di Roma. Sebagai orang beriman, kita senantiasa berbalik kepada Tuhan sebab kita percaya kepadaNya. Kepercayaan itulah yang akan mendatangkan kedamaian terlebih saat kita mengalami situasi sulit, "Kita tahu bahwa penderitaan membuat orang menjadi tekun, dan ketekunan akan membuat orang tahan uji; inilah yang menimbulkan pengharapan. Harapan yang seperti ini tidak mengecewakan kita, sebab hati kita sudah dipenuhi oleh Allah dengan kasihNya. Allah melakukannya dengan perantaraan Roh-Nya yang diberikan kepada kita." Inilah kekuatan kita sebagai orang beriman. Krisis iman yang disebabkan karena penderitaan, kesulitan hidup seharusnya tidak membuat kita berjarak dengan Tuhan. Justru melalui pengalaman itu kita dibimbing untuk menemukan rahmat-rahmat Allah yang terkadang tersembunyi dan melaluinya kita semakin didewasakan. 
Atas segala pengalaman hidup yang kita alami, Tuhan senantiasa peduli terhadap kita sebab Ia mencintai kita. Kita bisa merenungkannya dari pengalaman Yesus yang tersalib, yang rela menderita bagi semua orang, merupakan pengalaman nyata di mana cinta senantiasa diberikanNya agar kita mengalami keselamatan di dalam diriNya.
Apa yang dikatakan Paulus kepada jemaat di Roma bisa kita refleksikan bahwa harus ada keterlibatan dinamis kedua pihak, yakni bahwa hidup dan usaha manusia tidak mungkin dipisahkan dari kehendak dan usaha Allah (rahmat). Allah telah terlibat dalam sejarah dan telah memanggil manusia supaya ikut berjerih-payah bagi keselamatan semua orang, maka dengan kepercayaan dasar dan usaha, orang memberikan jawaban pada Allah.
dok.internet
Dalam Yesus, Allah telah melibatkan diri dengan hidup dan sejarah manusia, “sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni Sabda kekal, supaya tinggal di tengah umat manusia, dan menyelesaikan karya penyelamatan. Yesus menjadi senasib dengan manusia berdosa dan malang, dan manusia dapat menjadi senasib dengan Yesus Kristus oleh Allah diselamatkan dan selanjutnya dapat ikut serta menikmati keselamatan itu. Inilah kepedulian Tuhan kepada kita. Kepedulian itu hadir bagi Kristus dengan menerima kemanusiaan sepenuhnya, senasib dengan manusia (Flp 2:1-11). Allah menjadi senasib dengan manusia, Allah membiarkan diri dibatasi oleh situasi konkret manusia, jerih payah hidup, penderitaan dll. Jurgen Moltmann membahasakan keterlibatan Allah dalam hidup manusia itu dengan bentuk Allah yang peduli (Allah yang pathos). Para nabi merefleksikan bahwa Allah adalah Allah yang peduli, (dalam konteks Israel) Allah yang peduli (pathos) terhadap bangsa Israel (situation of God). Melalui pathos, Allah memperhatikan dan masuk secara mendalam ke dalam situasi umat yang Ia pilih. Dengan demikian, pengalaman, tindakan dan penderitaan umat-Nya mempengaruhi Allah. Kasih Allah itu bukan melulu batiniah semata, tetapi terwujud dalam tindakan konkret dalam keterlibatan-Nya dengan penderitaan umat-Nya.
Oleh karena itu sebagai orang beriman, apa pun yang kita buat mestinya dikerjakan di dalam Kristus. Orang mengikat diri pada Kristus dan pada saat yang sama mengharapkan keselamatan dari Allah lewat Kristus. Inilah tanda orang yang beriman. Melalui iman, orang akan senantiasa menemukan pengharapan. Harapan merupakan pertahanan akhir, ketika iman sudah mati dan cinta sudah tidak ada lagi. Satu-satunya yang tidak dapat dihilangkan adalah harapan yang datang dari Allah. Maka, benar apa yang dikatakan oleh Theresia dari Lyseux, “Jika engkau rela dengan penuh cinta menanggung penderitaan yang tidak menyenangkan dirimu sendiri, di situlah engkau akan menjadi tempat tinggal Yesus yang menyenangkan”. Tetaplah bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.