Apa sebenarnya makna kaul kemiskinan yang diucapkan
oleh seorang imam? Bahwa pada kenyataannya banyak imam, suster, yang memiliki
gaya hidup mewah-mereka memiliki mobil pribadi, sopir pribadi, makan setiap
waktu, kelengkapan fasilitas dll. Lalu para Uskup, Kardinal dan Paus hidup
seperti raja dengan berbagai ornamen menghiasinya. Mengapa mereka mengucapkan
kaul kemiskinan dan masih tetap kaya?
Pengantar
Di dalam Pedoman imam Unio terdapat satu point mengesan seputar
semangat kemiskinan imam, yaitu “Anggota Unio menghayati kemiskinan Yesus (bdk.
Mat 13: 20) untuk mewartakan Kerajaan Allah sebagai satu-satunya kekayaan
sejati (bdk. Mat 13: 44-46). Semangat kemiskinan itu diwujudkan dengan hidup
sederhana dan membatasi pemilikan barang-barang yang sungguh diperlukan untuk
hidup dan pelayanan dalam konteks masyarakat setempat. Semangat itu ditunjukkan
dengan kesediaan untuk berbagi milik dan waktu secara tulus. Hanya dengan
semangat kemiskinanlah mereka dapat bersikap terbuka dan bersedia diutus kemana
pun, bahkan bila di tempat atau dalam bidang perutusan itu dituntut pengorbanan
pribadi yang lebih besar (PDV 30)”.
Namun pada kenyataannya, semangat kemiskinan tidaklah mudah untuk
dihidupi terkait dengan tawaran dunia yang kian menggiurkan, perhatian umat
yang membuat nyaman, serta berbagai kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh
seorang imam. Dalam tema kali ini, kita akan sedikit banyak berbicara tentang
kemiskinan para imam terlebih dalam penggunaan barang-barang guna mendukung
karya-karya pastoral yang sedang dihidupinya.
Gereja hadir ditengah dunia. Kehadirannya
di tengah dunia mengambil posisi yang penting di dalam kehidupan terlebih dalam
hubungannya dengan bidang kehidupan disekitarnya. Gereja terlibat dalam
kehidupan duniawi tetapi Gereja juga harus mengambil jarak secara bijaksana terlebih berkaitan dengan
kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Dalam pelayanannya,
Gereja mesti mengutamakan kaum miskin. Hal ini sesuai dengan panggilan Gereja
di tengah dunia yang mengikuti jalan yang diambil oleh Yesus yang “melaksanakan
karya penebusan dalam kemiskinan dan dibawah penindasan (Fil 2:6-7, 2 Kor 8:9).
Demikian pula para imam yang berkarya di
dalamnya, mereka diajak untuk menghayati
kemiskinan dengan sukarela. Sebab
melalui kemiskinan, para imam diarahkan untuk menjadi mirip dengan Kristus. Saya
menangkap kesan bahwa kemiskinan mestinya dihayati dengan penuh kesadaran
sebagai Murid Kristus. Kristus menjadi sumber keteladanan memberi inspirasi
rohani teristimewa bagi para imam, dalam menghayati perannya dalam pelayanan
suci. Inilah yang menjadi keutamaan kemiskinan bagi para imam. Kemiskinan
merupakan pilihan total terhadap Tuhan. Imam hidup dalam dunia tanpa menjadi
milik dunia (Yoh 17:14-16) tanpa menjadi tersita di dalamnya (1 Kor 7:31);
memelihara kebebasan tertentu dan sikap lepas dari kenyataan-kenyataan duniawi.
Sikap-sikap yang tepat dan cara menangani
milik pribadi dan milik Gereja diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Jaminan
keuangan tertentu penting untuk para imam
Tidak akan pernah ada seorang
imam yang hidupnya terlantar sebab umat sungguh menaruh perhatian istimewa
terhadap para gembalanya. Berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan gembalanya,
umat akan menyediakannya dengan senang hati. Dan inilah tantangan bagi para
imam dalam menghadapi realitas kenyamanan, kemapanan yang terkondisikan
tersebut.
Demikian pula Gereja
memperhatikan para imamnya dengan berbagai macam jaminan kehidupan yang cukup.
Gereja memutuskan sarana yang paling baik untuk menjadi balas jasa yang wajar
bagi para imam, dan untuk menentukan apa yang menjadi milik imam secara pribadi
dan apa yang menjadi milik Gereja.
Jaminan-jaminan tersebut
mengajak para imamnya untuk jeli dalam menggunakan sarana-sarana yang ada,
demikian pula dalam penggunaanya. Dengan spiritualitas yang dihidupi serta
semangat kemiskinan dan cinta kasih terhadap sesama, para imam diajak untuk
mempraktekkannya dalam kehidupan yakni menggunakan segala sesuatunya untuk
Gereja dan karya-karya kasih, dan tidak menimbun untuk kekayaan pribadi.
b.
Suatu gaya hidup yang sederhana.
Dalam konteks tertentu,
menjadi seorang imam berarti naik ke tangga sosial. hal ini tidak bisa
dihindari tetapi perlu dimaknai secara bijaksana. Kebijaksanaan tersebut dapat
ditunjukan melalui gaya hidupnya sebagai imam. Beberapa hal yang bisa diperhatikan :
a.
Hemat
dalam menggunakan uang
b.
Keseimbangan
karya pastoral yang dilakukan dengan orientasi yang bijaksana
c.
Sukarela
tidak memiliki yang tidak perlu (ugahari)
d.
Ugahari
dalam pengaturan rumah tangga, peralatan rumah, pakaian, sarana transportasi,
perlengkapan audio visualnya.
e.
Menghindari
kebutuhan relaksasi-rekreasi yang berlebihan
Semangat kemiskinan didasari
oleh kesadaran akan besarnya rahmat Allah dalam hidup. Kesadaran ini
mengarahkan seseorang untuk menggunakan barang-barang duniawi untuk memelihara
gaya hidup yang layak namun sederhana, dengan melepaskan diri dari kekayaan.
Sikap dan perbuatan dalam
menghidupi semangat kemiskinan (lahiriah) dapat menjadi sebuah kesaksian hidup
yang bisa dicontoh oleh umat yang dilayaninya teristimewa tentang pandangan
Kristiani mengenai barang-barang duniawi dan penggunaannya.
c.
Pengelolaan
secara bertanggungjawab:
Para imampun hendaknya dapat
mengelola berbagai macam sarana Gereja dengan bertanggungjawab, yakni dengan mengawasi
agar barang-barang dikelola secara adil dan tertib, menggunakan sarana Gereja
demi memajukan ibadat dan kerasulan, memperhatikan jaminan hidup yang layak
bagi para imam, dan bantuan untuk orang yang kekurangan. Selain itu para imam
juga mesti terbuka dan transparan terhadap umat, sehingga tidak menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan negatif yang mengganggu pelayanan ditengah umat.
Dalam prakteknya, para imam
membutuhkan peran awam untuk mengurusi hal-hal keduniawian. Para awam yang ahli
dalam bidangnya seperti ahli keuangan, administrasi dan lain sebagainya
sehingga imam tidak berkarya sendirian, tetapi melibatkan umat dalam karya
pastoralnya.
d.
Mandiri
di bidang keuangan, permintaan bantuan :
·
Dari
segi pandangan keuangan, tujuan setiap umat Kristen hendaknya kemandirian atau
bisa menopang diri sendiri.
·
Para imam
hendaknya mendidik kaum beriman untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan Gereja dan
membagikannya dengan kaum miskin.
·
Para
imam hendaknya bijaksana dalam meminta bantuan-bantuan dan sumbangan-sumbangan,
serta memperhatikan dengan baik intensinya masing-masing.
e.
Asuransi
untuk penyakit dan usia lanjut :
·
Warganegara,
para imam hendaknya membayar iuran kepada asuransi sipil dan badan-badan
pensiunan untuk jaminan masa depan.
·
Konteks
Gereja, Gereja mengadakan asuransi dan badan-badan pensiun, pada tingkat keuskupan,
atau tingkat konferensi waligereja. Berbagai jaminan masa depan diusahakan
dengan adanya rumah sepuh, pemeriksaan kesehatan secara teratur, dll
f.
Surat
wasiat :
Para imam diminta untuk
menulis (inventarisasi), membedakan barang-barang pribadi dan bukan milik Gereja dalam surat wasiat. Surat
wasiat dan testamen tersebut diserahkan ke kuria keuskupan. Para imam hendaknya
mencoba membantu Gereja dan kaum miskin pun setelah mati, dan tidak
meninggalkan barang-barang mereka kepada mereka yang sudah berkecukupan.
Refleksi
Berbagai kemajuan dan tawaran dunia modern
menempatkan kita, para calon imam dan imam, untuk berani mengambil sikap secara
tepat sebagai bagian dari dunia. Aneka pilihan dan kenyamanan yang ditawarkan harus
ditanggapi secara bijaksana sesuai dengan spiritualitas yang dihidupi. Demikian
pula peran imam dalam hal keduniawian harus ditempatkan secara benar guna
mendukung pelayanan sucinya dengan sikap terbuka, transparan, dan
bertanggungjawab.
Dalam pelayanan di paroki, saya menemukan
pergulatan dalam menghidupi semangat kemiskinan ini. Satu sisi ingin hidup apa
adanya, sederhana, tetapi terkadang tergoda dengan bermacam tawaran yang
menggiurkan. Dalam pergulatan-pergulatan tersebut saya mencoba untuk mengambil
sikap untuk tidak luruh di dalamnya. Semangat kemiskinan saya pahami dengan
bagaimana saya menggunakan sarana dengan apa adanya, bagaimana saya merawat dan
bertanggungjawab terhadapi fasilitas, bagaimana saya menyadari nilai sosial
barang, milik, serta bagaimana saya bersolidaritas dengan yang lain. Semua itu
tentu saja didorong oleh semangat lepas bebas yang mengalir dari pilihan awal
untuk mengikuti Kristus.
No comments:
Post a Comment