Sunday, December 8, 2013

Semangat Kemiskinan dan Penggunaan Barang-Barang



Apa sebenarnya makna kaul kemiskinan yang diucapkan oleh seorang imam? Bahwa pada kenyataannya banyak imam, suster, yang memiliki gaya hidup mewah-mereka memiliki mobil pribadi, sopir pribadi, makan setiap waktu, kelengkapan fasilitas dll. Lalu para Uskup, Kardinal dan Paus hidup seperti raja dengan berbagai ornamen menghiasinya. Mengapa mereka mengucapkan kaul kemiskinan dan masih tetap kaya?


Pengantar
Di dalam Pedoman imam Unio terdapat satu point mengesan seputar semangat kemiskinan imam, yaitu “Anggota Unio menghayati kemiskinan Yesus (bdk. Mat 13: 20) untuk mewartakan Kerajaan Allah sebagai satu-satunya kekayaan sejati (bdk. Mat 13: 44-46). Semangat kemiskinan itu diwujudkan dengan hidup sederhana dan membatasi pemilikan barang-barang yang sungguh diperlukan untuk hidup dan pelayanan dalam konteks masyarakat setempat. Semangat itu ditunjukkan dengan kesediaan untuk berbagi milik dan waktu secara tulus. Hanya dengan semangat kemiskinanlah mereka dapat bersikap terbuka dan bersedia diutus kemana pun, bahkan bila di tempat atau dalam bidang perutusan itu dituntut pengorbanan pribadi yang lebih besar (PDV 30)”.
Namun pada kenyataannya, semangat kemiskinan tidaklah mudah untuk dihidupi terkait dengan tawaran dunia yang kian menggiurkan, perhatian umat yang membuat nyaman, serta berbagai kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh seorang imam. Dalam tema kali ini, kita akan sedikit banyak berbicara tentang kemiskinan para imam terlebih dalam penggunaan barang-barang guna mendukung karya-karya pastoral yang sedang dihidupinya.

Sikap terhadap dunia dan harta duniawi – Kemiskinan sukarela[1]
Gereja hadir ditengah dunia. Kehadirannya di tengah dunia mengambil posisi yang penting di dalam kehidupan terlebih dalam hubungannya dengan bidang kehidupan disekitarnya. Gereja terlibat dalam kehidupan duniawi tetapi Gereja juga harus mengambil jarak  secara bijaksana terlebih berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Dalam pelayanannya, Gereja mesti mengutamakan kaum miskin. Hal ini sesuai dengan panggilan Gereja di tengah dunia yang mengikuti jalan yang diambil oleh Yesus yang “melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan dibawah penindasan (Fil 2:6-7, 2 Kor 8:9).
Demikian pula para imam yang berkarya di dalamnya, mereka diajak untuk menghayati kemiskinan dengan sukarela. Sebab melalui kemiskinan, para imam diarahkan untuk menjadi mirip dengan Kristus. Saya menangkap kesan bahwa kemiskinan mestinya dihayati dengan penuh kesadaran sebagai Murid Kristus. Kristus menjadi sumber keteladanan memberi inspirasi rohani teristimewa bagi para imam, dalam menghayati perannya dalam pelayanan suci. Inilah yang menjadi keutamaan kemiskinan bagi para imam. Kemiskinan merupakan pilihan total terhadap Tuhan. Imam hidup dalam dunia tanpa menjadi milik dunia (Yoh 17:14-16) tanpa menjadi tersita di dalamnya (1 Kor 7:31); memelihara kebebasan tertentu dan sikap lepas dari kenyataan-kenyataan duniawi.

Sikap-sikap yang tepat dan cara menangani milik pribadi dan milik Gereja diklasifikasikan sebagai berikut :
a.      Jaminan keuangan tertentu penting untuk para imam
Tidak akan pernah ada seorang imam yang hidupnya terlantar sebab umat sungguh menaruh perhatian istimewa terhadap para gembalanya. Berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan gembalanya, umat akan menyediakannya dengan senang hati. Dan inilah tantangan bagi para imam dalam menghadapi realitas kenyamanan, kemapanan yang terkondisikan tersebut.
Demikian pula Gereja memperhatikan para imamnya dengan berbagai macam jaminan kehidupan yang cukup. Gereja memutuskan sarana yang paling baik untuk menjadi balas jasa yang wajar bagi para imam, dan untuk menentukan apa yang menjadi milik imam secara pribadi dan apa yang menjadi milik Gereja.
Jaminan-jaminan tersebut mengajak para imamnya untuk jeli dalam menggunakan sarana-sarana yang ada, demikian pula dalam penggunaanya. Dengan spiritualitas yang dihidupi serta semangat kemiskinan dan cinta kasih terhadap sesama, para imam diajak untuk mempraktekkannya dalam kehidupan yakni menggunakan segala sesuatunya untuk Gereja dan karya-karya kasih, dan tidak menimbun untuk kekayaan pribadi.

b.      Suatu gaya hidup yang sederhana.
Dalam konteks tertentu, menjadi seorang imam berarti naik ke tangga sosial. hal ini tidak bisa dihindari tetapi perlu dimaknai secara bijaksana. Kebijaksanaan tersebut dapat ditunjukan melalui gaya hidupnya sebagai imam.  Beberapa hal yang bisa diperhatikan :
a.      Hemat dalam  menggunakan uang
b.      Keseimbangan karya pastoral yang dilakukan dengan orientasi yang bijaksana
c.       Sukarela tidak memiliki yang tidak perlu (ugahari)
d.      Ugahari dalam pengaturan rumah tangga, peralatan rumah, pakaian, sarana transportasi, perlengkapan audio visualnya.
e.      Menghindari kebutuhan relaksasi-rekreasi yang berlebihan
Semangat kemiskinan didasari oleh kesadaran akan besarnya rahmat Allah dalam hidup. Kesadaran ini mengarahkan seseorang untuk menggunakan barang-barang duniawi untuk memelihara gaya hidup yang layak namun sederhana, dengan melepaskan diri dari kekayaan.
Sikap dan perbuatan dalam menghidupi semangat kemiskinan (lahiriah) dapat menjadi sebuah kesaksian hidup yang bisa dicontoh oleh umat yang dilayaninya teristimewa tentang pandangan Kristiani mengenai barang-barang duniawi dan penggunaannya.

c.       Pengelolaan secara bertanggungjawab:
Para imampun hendaknya dapat mengelola berbagai macam sarana Gereja dengan bertanggungjawab, yakni dengan mengawasi agar barang-barang dikelola secara adil dan tertib, menggunakan sarana Gereja demi memajukan ibadat dan kerasulan, memperhatikan jaminan hidup yang layak bagi para imam, dan bantuan untuk orang yang kekurangan. Selain itu para imam juga mesti terbuka dan transparan terhadap umat, sehingga tidak menimbulkan kemungkinan-kemungkinan negatif yang mengganggu pelayanan ditengah umat.
Dalam prakteknya, para imam membutuhkan peran awam untuk mengurusi hal-hal keduniawian. Para awam yang ahli dalam bidangnya seperti ahli keuangan, administrasi dan lain sebagainya sehingga imam tidak berkarya sendirian, tetapi melibatkan umat dalam karya pastoralnya.
d.      Mandiri di bidang keuangan, permintaan bantuan :
·         Dari segi pandangan keuangan, tujuan setiap umat Kristen hendaknya kemandirian atau bisa menopang diri sendiri.
·         Para imam hendaknya mendidik kaum beriman untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan Gereja dan membagikannya dengan kaum miskin.
·         Para imam hendaknya bijaksana dalam meminta bantuan-bantuan dan sumbangan-sumbangan, serta memperhatikan dengan baik intensinya masing-masing.

e.      Asuransi untuk penyakit dan usia lanjut :
·         Warganegara, para imam hendaknya membayar iuran kepada asuransi sipil dan badan-badan pensiunan untuk jaminan masa depan.
·         Konteks Gereja, Gereja mengadakan asuransi dan badan-badan pensiun, pada tingkat keuskupan, atau tingkat konferensi waligereja. Berbagai jaminan masa depan diusahakan dengan adanya rumah sepuh, pemeriksaan kesehatan secara teratur, dll

f.        Surat wasiat :
Para imam diminta untuk menulis (inventarisasi), membedakan barang-barang pribadi dan  bukan milik Gereja dalam surat wasiat. Surat wasiat dan testamen tersebut diserahkan ke kuria keuskupan. Para imam hendaknya mencoba membantu Gereja dan kaum miskin pun setelah mati, dan tidak meninggalkan barang-barang mereka kepada mereka yang sudah berkecukupan.

Refleksi
Berbagai kemajuan dan tawaran dunia modern menempatkan kita, para calon imam dan imam, untuk berani mengambil sikap secara tepat sebagai bagian dari dunia. Aneka pilihan dan kenyamanan yang ditawarkan harus ditanggapi secara bijaksana sesuai dengan spiritualitas yang dihidupi. Demikian pula peran imam dalam hal keduniawian harus ditempatkan secara benar guna mendukung pelayanan sucinya dengan sikap terbuka, transparan, dan bertanggungjawab.
Dalam pelayanan di paroki, saya menemukan pergulatan dalam menghidupi semangat kemiskinan ini. Satu sisi ingin hidup apa adanya, sederhana, tetapi terkadang tergoda dengan bermacam tawaran yang menggiurkan. Dalam pergulatan-pergulatan tersebut saya mencoba untuk mengambil sikap untuk tidak luruh di dalamnya. Semangat kemiskinan saya pahami dengan bagaimana saya menggunakan sarana dengan apa adanya, bagaimana saya merawat dan bertanggungjawab terhadapi fasilitas, bagaimana saya menyadari nilai sosial barang, milik, serta bagaimana saya bersolidaritas dengan yang lain. Semua itu tentu saja didorong oleh semangat lepas bebas yang mengalir dari pilihan awal untuk mengikuti Kristus.



[1] Lihat LG 17

No comments:

Post a Comment