“Menurut darah, saya
seorang Albania.
Menurut
kewarganegaraan, saya seorang India.
Menurut iman, saya
seorang biarawati Katolik.
Menurut panggilan,
saya milik dunia.
Sementara hati saya,
sepenuhnya saya milik Hati Yesus,” (Ibu Teresa)
Hubungan dengan saudara-saudaranya
Hubungan dengan keluarganya penting bagi seorang
imam, karena dia akan menemukan di dalam keluarganya suatu dukungan kodrati
bagi hidupnya. Beberapa kata penting dibawah ini:
a. Melibatkan
dari segi manusiawi dan afektif
b. Melibatkan
dalam keuangan dan keadilan.
Suatu sikap Injili
haruslah diambil, yang akan memungkinkan dia untuk hidup dalam persatuan dengan
keluarganya dan membantu mereka, tanpa kehilangan kemerdekaannya untuk
pelayanan.
Dengan melihat situasi semacam itu,
keluarga-keluarga kristiani mesti diberi pengertian sebagai berikut yaitu untuk
melihat panggilan imamat sebagai Kurnia Allah untuk umat dan mencoba membagikan
cita-cita kerasulan imam, tanpa mencampuri tugas imamatnya. Sementara itu bagi
seorang imam ;
a. Dalam
segi keuangan, para imam dengan penuh rasa syukur hendaknya mencoba membantu saudara-saudara
mereka, dan lebih-lebih orang-tua mereka bila membutuhkan, tetapi selalu dengan
bijaksana dan tanpa menggunakan milik Gereja.
b. Tidak
melibatkan keluarga dalam pengelolaan milik Gereja.
c. Mereka
menghindari menerima mereka secara tetap dalam tempat tinggal mereka,
lebih-lebih bila menyangkut soal kelompok-kelompok.
d. Hendaknya
mereka mengusahakan agar kunjungan saudara-saudara tidak mengganggu karya
kerasulan karena kerap kali dan lama.
Bagaimana hubungan itu
mesti dibangun:
Hubungan dengan keluarga membawa dua nilai sekaligus
memberatkan dan mendukung. Pertama harus dikatakan bahwa tahbisan imam membawa
serta perubahan mendasar bagi hubungan kekeluargaan dari seorang imam. Apa yang
dahulu dipertalikan secara alami lewat hubungan darah dengan hak-hak dan
kewajiban, yang kurang lebih jelas, kini itu semua diangkat kepada tata
pertalian rohani dan gerejani, tanpa memutuskan sama sekali hubungan alami yang
sudah ada. Biasanya masalah timbul dari dua sisi, yakni: batas-batas hubungan
selaras antara hak dan kewajiban yang timbul dari pertalian kekeluargaan alami
dengan rohani di atas, dan bidang keuangan. Ada beberapa pertimbangan yang
harus diperhatikan :
Hendaklah diadakan katekese yang sehat yang bersifat
umum kepada umat dan kepada keluarga para imam bahwa panggilan imamat adalah
panggilan Tuhan dengan persyaratan dan kondisi khusus. Justru karena hakekat
dari panggilan ilahi ini, maka sebuah keluarga mendapat kehormatan bila salah
seorang atau lebih dari antara anak-anaknya dipanggil Tuhan menjadi imam.
Serentak dengan itu, pertalian keluarga dengan anak yang menjadi imam beroleh
keabadian dan kekudusan sehingga, status seorang anak yang sudah menjadi imam
tidak dapat dipandang hanya sebagai anggota keluarga alami melulu.
Tidak menjadi urusan keluarga, sebab berasal dari
martabat tahbisan dan ikatan gerejani dari seorang imam, ialah hal-hal yang
menyangkut jabatan, urusan pastoral dan martabat seorang imam. Juga tidak
termasuk urusan keluarga seorang imam- karena itu diharapkan aman dari kaitan
dan campur tangan keluarga- ialah masalah tugas gerejani dan milik Gereja.
Keluarga tidak dibenarkan turut campur dalam masalah tugas imam dan jabatannya
sebagai pemimpin harta gerejani.
Atas uang dan milik pribadi, seorang imam tidak
terlarang menggunakannya untuk membantu orang tua, terutama yang makin lanjut
usia dan sakit. Diskresi patut digunakan bila membantu saudara yang lain. Dan
sebelum melakukannya selalu berguna berkonsultasi dengan salah seorang kolega.
Hal itu akan sangat membantu mengatasi rasa ikatan kekeluargaan yang kurang
arif dan karena itu akan menghindarkan diri dari hal-hal yang kurang
bertanggungjawab. Pada dasarnya seorang
imam telah beralih dari ikatan keluarga alami ke dalam keluarga para imam, dan
hatinya tidak lagi tertambat di tengah sanak saudara alami.
Hubungan tamu bertamu atau frekuensi saling
mengunjungi antara anggota keluarga alami membutuhkan suatu disiplin yang arif
agar tidak mengganggu bagi tugas kedua belah pihak[1].
Refleksi dalam konteks
comunio Imam Diosesan sekarang
Para imam diosesan tetap menjaga relasinya dengan
keluarga dan sering digunakan untuk menunuk salah satu ciri khas kehidupan imam
diosesan. Entah dapat entah tidak gambaran tersebut, paling tidak dalam lingkup
para imam diosesan adanya gerakan yang menarik dari situ. Keluarga semakin
mendapat peran di dalam kehidupan para imam. Paling tidak ada tiga kebiasaan
yang berkembang. Pertama, berkaitan
dengan kematian orangtua seorang imam. Di tengah-tengah padatnya tugas dan
pelayanan, mereka akan menyempatkan datang sejenak untuk memperlihatkan
dukungan dan simpati kepada rekan imam yang tengah mengalami kehilangan.
Kedatangan rekan imam dalam situasi duka ini tidak hanya menjadikan hiburan
bagi imam yang bersangkutan tetapi juga menguatkan bagi anggota-anggota
keluarga lainnya.
Kedua,
jumlah imam diosesan bertambah banyak, maka jalinan kekeluargaan semakin
bertambah luas. Hal inilah yang menambah kekhasan imam diosesan dengan keluasan
relasi yang meneguhkan satu sama lain.
Ketiga,
Penghormatan terhadap mereka yang sudah meninggal. Dalam penanggalan liturgi,
november, kesempatan ini digunakan sebagai saranan menjalin kekeluargaan.
Kerabat, keluarga, dan kenalan para romo almarhum diundang. Dengan cara ini
ikatan kekeluargaan yang sudah dibina di antara para imam tidak berakhir
sewaktu seorang imam meninggal. Keluarga para imam yang sudah meninggal tetap
merupakan bagian dari keluarga besar imam diosesan, “Romo projo, lahir dari
umat, besar oleh umat, berjuang bersama umat”[2].
No comments:
Post a Comment