Sunday, December 8, 2013

HUBUNGAN DENGAN PARA SAUDARANYA

“Menurut darah, saya seorang Albania.
Menurut kewarganegaraan, saya seorang India.
Menurut iman, saya seorang biarawati Katolik.
Menurut panggilan, saya milik dunia.
Sementara hati saya, sepenuhnya saya milik Hati Yesus,” (Ibu Teresa)


Hubungan dengan saudara-saudaranya
Hubungan dengan keluarganya penting bagi seorang imam, karena dia akan menemukan di dalam keluarganya suatu dukungan kodrati bagi hidupnya. Beberapa kata penting dibawah ini:
a.       Melibatkan dari segi manusiawi dan afektif
b.      Melibatkan dalam keuangan dan keadilan.
Suatu sikap Injili haruslah diambil, yang akan memungkinkan dia untuk hidup dalam persatuan dengan keluarganya dan membantu mereka, tanpa kehilangan kemerdekaannya untuk pelayanan.
Dengan melihat situasi semacam itu, keluarga-keluarga kristiani mesti diberi pengertian sebagai berikut yaitu untuk melihat panggilan imamat sebagai Kurnia Allah untuk umat dan mencoba membagikan cita-cita kerasulan imam, tanpa mencampuri tugas imamatnya. Sementara itu bagi seorang imam ;
a.       Dalam segi keuangan, para imam dengan penuh rasa syukur hendaknya mencoba membantu saudara-saudara mereka, dan lebih-lebih orang-tua mereka bila membutuhkan, tetapi selalu dengan bijaksana dan tanpa menggunakan milik Gereja.
b.      Tidak melibatkan keluarga dalam pengelolaan milik Gereja.
c.       Mereka menghindari menerima mereka secara tetap dalam tempat tinggal mereka, lebih-lebih bila menyangkut soal kelompok-kelompok.
d.      Hendaknya mereka mengusahakan agar kunjungan saudara-saudara tidak mengganggu karya kerasulan karena kerap kali dan lama.

Bagaimana hubungan itu mesti dibangun:
Hubungan dengan keluarga membawa dua nilai sekaligus memberatkan dan mendukung. Pertama harus dikatakan bahwa tahbisan imam membawa serta perubahan mendasar bagi hubungan kekeluargaan dari seorang imam. Apa yang dahulu dipertalikan secara alami lewat hubungan darah dengan hak-hak dan kewajiban, yang kurang lebih jelas, kini itu semua diangkat kepada tata pertalian rohani dan gerejani, tanpa memutuskan sama sekali hubungan alami yang sudah ada. Biasanya masalah timbul dari dua sisi, yakni: batas-batas hubungan selaras antara hak dan kewajiban yang timbul dari pertalian kekeluargaan alami dengan rohani di atas, dan bidang keuangan. Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan :
Hendaklah diadakan katekese yang sehat yang bersifat umum kepada umat dan kepada keluarga para imam bahwa panggilan imamat adalah panggilan Tuhan dengan persyaratan dan kondisi khusus. Justru karena hakekat dari panggilan ilahi ini, maka sebuah keluarga mendapat kehormatan bila salah seorang atau lebih dari antara anak-anaknya dipanggil Tuhan menjadi imam. Serentak dengan itu, pertalian keluarga dengan anak yang menjadi imam beroleh keabadian dan kekudusan sehingga, status seorang anak yang sudah menjadi imam tidak dapat dipandang hanya sebagai anggota keluarga alami melulu.
Tidak menjadi urusan keluarga, sebab berasal dari martabat tahbisan dan ikatan gerejani dari seorang imam, ialah hal-hal yang menyangkut jabatan, urusan pastoral dan martabat seorang imam. Juga tidak termasuk urusan keluarga seorang imam- karena itu diharapkan aman dari kaitan dan campur tangan keluarga- ialah masalah tugas gerejani dan milik Gereja. Keluarga tidak dibenarkan turut campur dalam masalah tugas imam dan jabatannya sebagai pemimpin harta gerejani.
Atas uang dan milik pribadi, seorang imam tidak terlarang menggunakannya untuk membantu orang tua, terutama yang makin lanjut usia dan sakit. Diskresi patut digunakan bila membantu saudara yang lain. Dan sebelum melakukannya selalu berguna berkonsultasi dengan salah seorang kolega. Hal itu akan sangat membantu mengatasi rasa ikatan kekeluargaan yang kurang arif dan karena itu akan menghindarkan diri dari hal-hal yang kurang bertanggungjawab. Pada dasarnya  seorang imam telah beralih dari ikatan keluarga alami ke dalam keluarga para imam, dan hatinya tidak lagi tertambat di tengah sanak saudara alami.
Hubungan tamu bertamu atau frekuensi saling mengunjungi antara anggota keluarga alami membutuhkan suatu disiplin yang arif agar tidak mengganggu bagi tugas kedua belah pihak[1].

Refleksi dalam konteks comunio Imam Diosesan sekarang
Para imam diosesan tetap menjaga relasinya dengan keluarga dan sering digunakan untuk menunuk salah satu ciri khas kehidupan imam diosesan. Entah dapat entah tidak gambaran tersebut, paling tidak dalam lingkup para imam diosesan adanya gerakan yang menarik dari situ. Keluarga semakin mendapat peran di dalam kehidupan para imam. Paling tidak ada tiga kebiasaan yang berkembang. Pertama, berkaitan dengan kematian orangtua seorang imam. Di tengah-tengah padatnya tugas dan pelayanan, mereka akan menyempatkan datang sejenak untuk memperlihatkan dukungan dan simpati kepada rekan imam yang tengah mengalami kehilangan. Kedatangan rekan imam dalam situasi duka ini tidak hanya menjadikan hiburan bagi imam yang bersangkutan tetapi juga menguatkan bagi anggota-anggota keluarga lainnya.
Kedua, jumlah imam diosesan bertambah banyak, maka jalinan kekeluargaan semakin bertambah luas. Hal inilah yang menambah kekhasan imam diosesan dengan keluasan relasi yang meneguhkan satu sama lain.
Ketiga, Penghormatan terhadap mereka yang sudah meninggal. Dalam penanggalan liturgi, november, kesempatan ini digunakan sebagai saranan menjalin kekeluargaan. Kerabat, keluarga, dan kenalan para romo almarhum diundang. Dengan cara ini ikatan kekeluargaan yang sudah dibina di antara para imam tidak berakhir sewaktu seorang imam meninggal. Keluarga para imam yang sudah meninggal tetap merupakan bagian dari keluarga besar imam diosesan, “Romo projo, lahir dari umat, besar oleh umat, berjuang bersama umat”[2].



[1] Mgr. Dr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap, Imam Triniter : Pedoman Hidup Imam, Jakarta: Obor, 1996
[2] Fl. Hasto Rosariyanto, SJ,  Imam Di Mata Saya, Rohani,  No. 02, Tahun ke-51, Februari 2004, 19

No comments:

Post a Comment