Saturday, December 28, 2013

SURAT GEMBALA USKUP KEUSKUPAN PURWOKERTO

SURAT GEMBALA USKUP KEUSKUPAN PURWOKERTO
MENYONGSONG TAHUN PEMBERDAYAAN PAGUYUBAN

Dibacakan dalam Perayaan Ekaristi 1 Januari 2014
Pada Hari Raya Santa Maria Bunda Allah


Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,

Pertama-tama saya ucapkan SELAMAT NATAL kepada seluruh umat. Perayaan Natal yang kita rayakan setiap tahun mengajak kita sekalian untuk bersyukur atas rahmat Allah, sekaligus mengajak kita untuk memohon “Datanglah, ya Raja Damai” supaya kita umat katolik semakin mampu mewujudkan kedamaian itu dalam hidup kita di tengah masyarakat yang diwarnai ketidak damaian ini.  Dalam semangat Natal ini kita juga mau berdoa untuk saudara-saudari kita yang menjadi kurban bencana alam akhir-akhir ini. Kita mohon supaya semangat keterbukaan yang dimiliki oleh para gembala yang berkenan memberi tumpangan kepada Maria dan Yosef juga menjadi semangat umat katolik  dan semangat banyak orang yakni bersedia memberi tumpangan atau bantuan kepada mereka yang membutuhkan.

Hari ini kita bersama-sama kita bersama-sama mengakhiri tahun 2013 dengan merayakan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah. Perayaan ini mengajak kita semua untuk meneladan sikap Maria dalam menghadapi berbagai peristiwa di dalam hidupnya, yakni “menyimpan segala perkara itu di dalam hati dan merenungkannya”. Maria menyimpan pertanyaan-pertanyaan atas peristiwa yang tidak diingininya bukan sebagai pengalaman pahit yang menimbulkan luka, melainkan menyimpan untuk direnungkan dan diolahnya. Sikap batin seperti inilah yang mestinya menjadi sikap batin semua umat katolik.

Akhir-akhir ini kita menyaksikan kejahatan korupsi begitu hebatnya merasuk sendi-sendi masyarakat dan merusak bangsa ini begitu hebatnya. Kita juga berhadapan dengan kejahatan narkoba yang mengancam anak-anak muda sebagai generasi yang menentukan hidup bangsa Indonesia di masa depan. Kita harus mengambil sikap sebagaimana dilakukan Maria, yakni merenungkan peristiwa ini di dalam hati kita. Merenungkan kejahatan korupsi dan Narkona di dalam hati tentulah menyadarkan kita betapa hidup bangsa ini berada dalam bahaya yang besar. Kehadiran Sang Juru Selamat yang baru saja kita rayakan mestinya menjadi pendorong bagi kita untuk bergerak menyelamatkan bangsa ini dari jeratan korupsi dan narkoba.

Saudara-saudari yang terkasih,
Kita akan mengakhiri tahun 2013 ini sekaligus berarti mengakhiri Tahun Iman sebagai guliran hasil Musyawarah Pastoral (MUSPAS) Keuskupan Purwokerto tahun 2012 yang lalu. Tujuan pengolahan tahun iman yang telah kita lalui adalah supaya umat katolik mempunyai Iman yang berakar, hidup dan dewasa.  Iman yang berakar, hidup dan dewasa tersebut ditandai dengan adanya pengetahuan iman yang memadai, menghayati imannya dan mewujudkan imannya dalam sikap perilaku hidup sehari-hari. Iman yang dewasa tersebut juga nampak dalam kemampuan untuk berani berdialog dengan orang beriman lain dan berani memberi kesaksian iman dalam hidupnya. Untuk mencapai iman yang seperti itu di beberapa paroki diadakan kursus untuk katekis voluntir, berbagai seminar, rekoleksi, pendalaman iman  dan berbagai kegiatan lainnya. Untuk itu saya ucapkan terimakasih kepada para relawan yang tanpa lelah telah melakukannya demi kemajuan iman umat katolik. Namun demikian, kita sadari pula adanya berbagai kendala dalam menggulirkan tahun iman ini sehingga ada beberapa paroki yang belum dapat melaksanakannya dengan baik. Guliran olah iman ini tidak boleh hanya berhenti pada tahun 2013 saja, namun harus terus menjadi guliran juga di masa-masa mendatang. Tahun 2013 ini sebagai momentum bagi kita untuk memulai menata iman kita supaya menjadi lebih berakar, hingga akhirnya iman itu hidup dan berbuah dalam hidup kita.

Saudara-saudari yang terkasih,
Memasuki  tahun 2014 kita akan memasuki guliran MUSPAS yang kedua, yakni Tahun Pemberdayaan Paguyuban. Tujuan guliran Tahun Pemberdayaan Paguyuban ini adalah supaya terwujud Paguyuban Gerejawi dan Manusiawi sebagai tanda hadirnya Kerajaan Allah yang menjadi visi dari keuskupan Purwokerto ini. Mengapa pemberdayaan paguyuban ini menjadi penting bagi kita?

Akhir-akhir ini kita temukan bahwa jumlah umat katolik di keuskupan ini terus mengalami penurunan. Kondisi ini tentu semakin melemahkan Gereja untuk dapat menjadi tanda hadirnya Kerajaan Allah. Untuk menjadi tanda hadirnya Kerajaan Allah tersebut barangkali juga sulit ketika harus diwujudkan oleh seorang katolik sendirian saja. Namun, dalam kebersamaan sebagai paguyuban hal tersebut menjadi sangat mungkin untuk diwujudkan. Selama ini hidup umat katolik Indonesia, khususnya Keuskupan Purwokerto sudah berada dalam paguyuban, baik paguyuban teritorial (kring/lingkungan/stasi), paguyuban kategorial, maupun paguyuban karya. Namun demikian, ditengarai bahwa paguyuban yang ada belum efektif sehingga belum berdaya untuk menjadi tanda hadirnya Kerajaan Allah.

Oleh karena itu, pada tahun 2014 ini perlulah ditempuh cara-cara untuk semakin mengefektifkan paguyuban-paguyuban yang ada. Sebagai contoh lingkungan dengan jumlah KK sampai 70 tentu kurang efektif untuk mengenal satu sama lain, dibandingkan paguyuban dengan 15 KK. Untuk itu, perlu dikembangkan dasa wisma di antara umat katolik sendiri. Paguyuban tersebut dapat menjadi paguyuban pemberdayaan apabila dijiwai dengan semangat untuk melibatkan, mengembangkan, mencerdaskan dan berwawasan lingkungan.

Selain itu, sangat perlu diusahakan agar umat katolik Keuskupan Purwokerto sebagai kawanan kecil yang tinggal dan hidup di antara umat beriman lain mengembangkan Paguyuban-Paguyuban Manusiawi bersama dengan umat beriman lain. Kebersamaan dengan umat beriman lain inilah yang dapat secara nyata menjadi saksi hadirnya Kerajaan Allah. Secara pribadi-pribadi banyak umat katolik yang dalam karyanya mampu menembus masyarakat luas dengan prestasi-prestasi yang gemilang, entah sebagai pejabat pemerintahan, sebagai dokter teladan, guru teladan dan lain sebagainya. Kepada mereka ini patut diberi apreasi. Namun demikian, kiranya keberadaan suatu karya bersama – entah apapun karya itu – yang mempunyai daya tembus ke masyarakat luas tentu akan lebih menguatkan Gereja untuk menjadi tanda hadirnya Kerajaan Allah bagi masyarakat luas. Ini yang perlu diperjuangkan bersama dengan dimulai pada tahun 2014 ini.

Akhir kata, saya ucapkan SELAMAT TAHUN BARU 2014, selamat memusuki Tahun Pemberdayaan Paguyuban. Tuhan memberkati!


Purwokerto, 31 Desember 2013

tanda tangan uskup.giftanda tangan uskup.gif

+Mgr. Julianus Sunarka, SJ
tanda tangan uskup.gifUskup Keuskupan Purwokerto

Sunday, December 8, 2013

Pilihan berat tanda kemenangan

Dalam keheningan malam ini ya Tuhan, aku ingin sejenak berdiam diri bersamaMu. Sedikit mengendapkan perjalananku sepanjang waktu ini dari pagi hingga malam yang perlahan merangkak larut. Sebentar kuingat seorang Rabridranat Tagore menuliskan kata-kata ini sebelum ia berdoa….

Aku mau sendiri
Perkenankanlah aku duduk sekejap di sini, Kerja yang sedang kulakukan
Biarlah nanti kuselesaikan, Sekarang tiba waktunya
Untuk duduk bersemadi, Mata berpandang mata dengan Dikau
serta menyanyikan lagu rahmat kehidupan
Dalam waktu senggang sunyi, dan melimpah banyak ini

Aku membatinkan sejenak tulisan ini, kubiarkan ia menggema lembut di dalam hatiku, perlahan dan kubiarkan kesadaranku tetap terjaga. Ku buka hatiku lebar-lebar, kubiarkan Dia sendiri yang datang dan mengajakku berbincang dalam kedamaian hati yang sengaja telah kusiapkan.
Dalam keheningan malam ini, aku ingin membagikan kisahku tentang sebuah perjalanan hidup. Perjalanan yang tidak selalu mulus tapi butuh ketegasan untuk terus menapakinya. Aku menggunakan kisah ini sebagai caraku berbincang dengan hatimu masing-masing, sebab aku percaya sebuah kisah adalah jarak terdekat antara manusia dan kebenaran. Dan aku ingin membagikan kedekatan dan kebenaran itu denganmu.
Kisah itu bermula dari perjumpaan sederhana antara aku dan dirinya. Hehe… lucu, aku sendiri merasa lucu kalau mengingatnya.  Aku mengenalnya sebagai seorang gadis yang lugu, cantik dan menarik. Saat itu kami bertukar alamat rumah, dan tanpa terasa melalui surat-surat itu, kami menjadi dekat. Dia sering bercerita tentang hari-harinya, kebahagiaan, bahkan kesedihannya, demikian pula aku. Bahkan terkadang kami bertengkar, entah karena cape, penat, atau cemburu. Dan salah satu pihak harus menjelaskan, sejelas-jelasnya.
Sepanjang pertemanan kami, tanpa sadar akupun menikmatinya. Dalam salah satu surat, saat ia merasa getir, yang ia kirimkan untukku dia menuliskan begini, “Dalam kehidupan yang kubutuhkan hanyalah cinta dan perhatian. Apakah tidak ada cukup waktu untuk itu, tidak adakah cinta yang lebih daripada sekedar bekerja lalu makan dan minum, tidak adakah cinta yang lebih daripada sekedar hidup bersama? Manusia diciptakan karena cinta. Tanpa cinta manusia tidak bisa hidup. Cinta mendasari kehidupan kita semua. Cinta menempati posisi teratas dalam hidup, karena cinta membuat orang hidup bahagia”. Aku merenungkan kata-kata itu, apa maksudnya?. Pertemanan kami masih berjalan. Namun pada satu ketika, aku merasa bimbang. Ketika aku harus mengambil keputusan antara cinta dan pelayanan. Aku mulai mengambil jarak, entah mengapa hati tidak nyaman. Dalam hatiku bergumam, aku harus mengambil keputusan, sebelum hatiku atau hatinya terluka semakin dalam.
Singkatnya, aku mengakhiri hubungan dekatku dengannya. Aku memilih pelayanan sebagai jalan hidupku, yaitu menjadi imam. Aku bahagia bisa mengambil keputusan ini dengan hati yang damai dan bahagia, seperti dirinya pun bahagia menerima keputusanku untuk menjadi seorang pelayan. Kutahu itu saat ia menuliskan “perjuangkan masa depan untuk kehidupanmu, semua ada di tanganmu bukan orang lain. Tunjukan pada dunia bahwa kamu adalah orang yang terbaik dan maksimal mampu mengisi bagiannya dalam pelayanan untuk Tuhan”.

Kisahku ini sekedar camilan untuk kita renungkan. Mungkin tidak mudah untuk mengambil sebuah keputusan, apalagi keputusan tersebut menjadi penentu masa depan kita sendiri. Tapi dengan keberanian untuk terluka sesaat, yakinlah bahwa kebahagiaan itu akan datang. Seorang teman pernah mendukungku begini, “Pilihan berat tapi sekaligus kemenanganmu, brother! Mungkin sekarang saatnya membuka lembaran hidup yang baru, terarah ke depan, Step by Step, melangkah dengan MANTAP !!!.

HUBUNGAN DENGAN PARA SAUDARANYA

“Menurut darah, saya seorang Albania.
Menurut kewarganegaraan, saya seorang India.
Menurut iman, saya seorang biarawati Katolik.
Menurut panggilan, saya milik dunia.
Sementara hati saya, sepenuhnya saya milik Hati Yesus,” (Ibu Teresa)


Hubungan dengan saudara-saudaranya
Hubungan dengan keluarganya penting bagi seorang imam, karena dia akan menemukan di dalam keluarganya suatu dukungan kodrati bagi hidupnya. Beberapa kata penting dibawah ini:
a.       Melibatkan dari segi manusiawi dan afektif
b.      Melibatkan dalam keuangan dan keadilan.
Suatu sikap Injili haruslah diambil, yang akan memungkinkan dia untuk hidup dalam persatuan dengan keluarganya dan membantu mereka, tanpa kehilangan kemerdekaannya untuk pelayanan.
Dengan melihat situasi semacam itu, keluarga-keluarga kristiani mesti diberi pengertian sebagai berikut yaitu untuk melihat panggilan imamat sebagai Kurnia Allah untuk umat dan mencoba membagikan cita-cita kerasulan imam, tanpa mencampuri tugas imamatnya. Sementara itu bagi seorang imam ;
a.       Dalam segi keuangan, para imam dengan penuh rasa syukur hendaknya mencoba membantu saudara-saudara mereka, dan lebih-lebih orang-tua mereka bila membutuhkan, tetapi selalu dengan bijaksana dan tanpa menggunakan milik Gereja.
b.      Tidak melibatkan keluarga dalam pengelolaan milik Gereja.
c.       Mereka menghindari menerima mereka secara tetap dalam tempat tinggal mereka, lebih-lebih bila menyangkut soal kelompok-kelompok.
d.      Hendaknya mereka mengusahakan agar kunjungan saudara-saudara tidak mengganggu karya kerasulan karena kerap kali dan lama.

Bagaimana hubungan itu mesti dibangun:
Hubungan dengan keluarga membawa dua nilai sekaligus memberatkan dan mendukung. Pertama harus dikatakan bahwa tahbisan imam membawa serta perubahan mendasar bagi hubungan kekeluargaan dari seorang imam. Apa yang dahulu dipertalikan secara alami lewat hubungan darah dengan hak-hak dan kewajiban, yang kurang lebih jelas, kini itu semua diangkat kepada tata pertalian rohani dan gerejani, tanpa memutuskan sama sekali hubungan alami yang sudah ada. Biasanya masalah timbul dari dua sisi, yakni: batas-batas hubungan selaras antara hak dan kewajiban yang timbul dari pertalian kekeluargaan alami dengan rohani di atas, dan bidang keuangan. Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan :
Hendaklah diadakan katekese yang sehat yang bersifat umum kepada umat dan kepada keluarga para imam bahwa panggilan imamat adalah panggilan Tuhan dengan persyaratan dan kondisi khusus. Justru karena hakekat dari panggilan ilahi ini, maka sebuah keluarga mendapat kehormatan bila salah seorang atau lebih dari antara anak-anaknya dipanggil Tuhan menjadi imam. Serentak dengan itu, pertalian keluarga dengan anak yang menjadi imam beroleh keabadian dan kekudusan sehingga, status seorang anak yang sudah menjadi imam tidak dapat dipandang hanya sebagai anggota keluarga alami melulu.
Tidak menjadi urusan keluarga, sebab berasal dari martabat tahbisan dan ikatan gerejani dari seorang imam, ialah hal-hal yang menyangkut jabatan, urusan pastoral dan martabat seorang imam. Juga tidak termasuk urusan keluarga seorang imam- karena itu diharapkan aman dari kaitan dan campur tangan keluarga- ialah masalah tugas gerejani dan milik Gereja. Keluarga tidak dibenarkan turut campur dalam masalah tugas imam dan jabatannya sebagai pemimpin harta gerejani.
Atas uang dan milik pribadi, seorang imam tidak terlarang menggunakannya untuk membantu orang tua, terutama yang makin lanjut usia dan sakit. Diskresi patut digunakan bila membantu saudara yang lain. Dan sebelum melakukannya selalu berguna berkonsultasi dengan salah seorang kolega. Hal itu akan sangat membantu mengatasi rasa ikatan kekeluargaan yang kurang arif dan karena itu akan menghindarkan diri dari hal-hal yang kurang bertanggungjawab. Pada dasarnya  seorang imam telah beralih dari ikatan keluarga alami ke dalam keluarga para imam, dan hatinya tidak lagi tertambat di tengah sanak saudara alami.
Hubungan tamu bertamu atau frekuensi saling mengunjungi antara anggota keluarga alami membutuhkan suatu disiplin yang arif agar tidak mengganggu bagi tugas kedua belah pihak[1].

Refleksi dalam konteks comunio Imam Diosesan sekarang
Para imam diosesan tetap menjaga relasinya dengan keluarga dan sering digunakan untuk menunuk salah satu ciri khas kehidupan imam diosesan. Entah dapat entah tidak gambaran tersebut, paling tidak dalam lingkup para imam diosesan adanya gerakan yang menarik dari situ. Keluarga semakin mendapat peran di dalam kehidupan para imam. Paling tidak ada tiga kebiasaan yang berkembang. Pertama, berkaitan dengan kematian orangtua seorang imam. Di tengah-tengah padatnya tugas dan pelayanan, mereka akan menyempatkan datang sejenak untuk memperlihatkan dukungan dan simpati kepada rekan imam yang tengah mengalami kehilangan. Kedatangan rekan imam dalam situasi duka ini tidak hanya menjadikan hiburan bagi imam yang bersangkutan tetapi juga menguatkan bagi anggota-anggota keluarga lainnya.
Kedua, jumlah imam diosesan bertambah banyak, maka jalinan kekeluargaan semakin bertambah luas. Hal inilah yang menambah kekhasan imam diosesan dengan keluasan relasi yang meneguhkan satu sama lain.
Ketiga, Penghormatan terhadap mereka yang sudah meninggal. Dalam penanggalan liturgi, november, kesempatan ini digunakan sebagai saranan menjalin kekeluargaan. Kerabat, keluarga, dan kenalan para romo almarhum diundang. Dengan cara ini ikatan kekeluargaan yang sudah dibina di antara para imam tidak berakhir sewaktu seorang imam meninggal. Keluarga para imam yang sudah meninggal tetap merupakan bagian dari keluarga besar imam diosesan, “Romo projo, lahir dari umat, besar oleh umat, berjuang bersama umat”[2].



[1] Mgr. Dr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap, Imam Triniter : Pedoman Hidup Imam, Jakarta: Obor, 1996
[2] Fl. Hasto Rosariyanto, SJ,  Imam Di Mata Saya, Rohani,  No. 02, Tahun ke-51, Februari 2004, 19

Semangat Kemiskinan dan Penggunaan Barang-Barang



Apa sebenarnya makna kaul kemiskinan yang diucapkan oleh seorang imam? Bahwa pada kenyataannya banyak imam, suster, yang memiliki gaya hidup mewah-mereka memiliki mobil pribadi, sopir pribadi, makan setiap waktu, kelengkapan fasilitas dll. Lalu para Uskup, Kardinal dan Paus hidup seperti raja dengan berbagai ornamen menghiasinya. Mengapa mereka mengucapkan kaul kemiskinan dan masih tetap kaya?


Pengantar
Di dalam Pedoman imam Unio terdapat satu point mengesan seputar semangat kemiskinan imam, yaitu “Anggota Unio menghayati kemiskinan Yesus (bdk. Mat 13: 20) untuk mewartakan Kerajaan Allah sebagai satu-satunya kekayaan sejati (bdk. Mat 13: 44-46). Semangat kemiskinan itu diwujudkan dengan hidup sederhana dan membatasi pemilikan barang-barang yang sungguh diperlukan untuk hidup dan pelayanan dalam konteks masyarakat setempat. Semangat itu ditunjukkan dengan kesediaan untuk berbagi milik dan waktu secara tulus. Hanya dengan semangat kemiskinanlah mereka dapat bersikap terbuka dan bersedia diutus kemana pun, bahkan bila di tempat atau dalam bidang perutusan itu dituntut pengorbanan pribadi yang lebih besar (PDV 30)”.
Namun pada kenyataannya, semangat kemiskinan tidaklah mudah untuk dihidupi terkait dengan tawaran dunia yang kian menggiurkan, perhatian umat yang membuat nyaman, serta berbagai kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh seorang imam. Dalam tema kali ini, kita akan sedikit banyak berbicara tentang kemiskinan para imam terlebih dalam penggunaan barang-barang guna mendukung karya-karya pastoral yang sedang dihidupinya.

Sikap terhadap dunia dan harta duniawi – Kemiskinan sukarela[1]
Gereja hadir ditengah dunia. Kehadirannya di tengah dunia mengambil posisi yang penting di dalam kehidupan terlebih dalam hubungannya dengan bidang kehidupan disekitarnya. Gereja terlibat dalam kehidupan duniawi tetapi Gereja juga harus mengambil jarak  secara bijaksana terlebih berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Dalam pelayanannya, Gereja mesti mengutamakan kaum miskin. Hal ini sesuai dengan panggilan Gereja di tengah dunia yang mengikuti jalan yang diambil oleh Yesus yang “melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan dibawah penindasan (Fil 2:6-7, 2 Kor 8:9).
Demikian pula para imam yang berkarya di dalamnya, mereka diajak untuk menghayati kemiskinan dengan sukarela. Sebab melalui kemiskinan, para imam diarahkan untuk menjadi mirip dengan Kristus. Saya menangkap kesan bahwa kemiskinan mestinya dihayati dengan penuh kesadaran sebagai Murid Kristus. Kristus menjadi sumber keteladanan memberi inspirasi rohani teristimewa bagi para imam, dalam menghayati perannya dalam pelayanan suci. Inilah yang menjadi keutamaan kemiskinan bagi para imam. Kemiskinan merupakan pilihan total terhadap Tuhan. Imam hidup dalam dunia tanpa menjadi milik dunia (Yoh 17:14-16) tanpa menjadi tersita di dalamnya (1 Kor 7:31); memelihara kebebasan tertentu dan sikap lepas dari kenyataan-kenyataan duniawi.

Sikap-sikap yang tepat dan cara menangani milik pribadi dan milik Gereja diklasifikasikan sebagai berikut :
a.      Jaminan keuangan tertentu penting untuk para imam
Tidak akan pernah ada seorang imam yang hidupnya terlantar sebab umat sungguh menaruh perhatian istimewa terhadap para gembalanya. Berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan gembalanya, umat akan menyediakannya dengan senang hati. Dan inilah tantangan bagi para imam dalam menghadapi realitas kenyamanan, kemapanan yang terkondisikan tersebut.
Demikian pula Gereja memperhatikan para imamnya dengan berbagai macam jaminan kehidupan yang cukup. Gereja memutuskan sarana yang paling baik untuk menjadi balas jasa yang wajar bagi para imam, dan untuk menentukan apa yang menjadi milik imam secara pribadi dan apa yang menjadi milik Gereja.
Jaminan-jaminan tersebut mengajak para imamnya untuk jeli dalam menggunakan sarana-sarana yang ada, demikian pula dalam penggunaanya. Dengan spiritualitas yang dihidupi serta semangat kemiskinan dan cinta kasih terhadap sesama, para imam diajak untuk mempraktekkannya dalam kehidupan yakni menggunakan segala sesuatunya untuk Gereja dan karya-karya kasih, dan tidak menimbun untuk kekayaan pribadi.

b.      Suatu gaya hidup yang sederhana.
Dalam konteks tertentu, menjadi seorang imam berarti naik ke tangga sosial. hal ini tidak bisa dihindari tetapi perlu dimaknai secara bijaksana. Kebijaksanaan tersebut dapat ditunjukan melalui gaya hidupnya sebagai imam.  Beberapa hal yang bisa diperhatikan :
a.      Hemat dalam  menggunakan uang
b.      Keseimbangan karya pastoral yang dilakukan dengan orientasi yang bijaksana
c.       Sukarela tidak memiliki yang tidak perlu (ugahari)
d.      Ugahari dalam pengaturan rumah tangga, peralatan rumah, pakaian, sarana transportasi, perlengkapan audio visualnya.
e.      Menghindari kebutuhan relaksasi-rekreasi yang berlebihan
Semangat kemiskinan didasari oleh kesadaran akan besarnya rahmat Allah dalam hidup. Kesadaran ini mengarahkan seseorang untuk menggunakan barang-barang duniawi untuk memelihara gaya hidup yang layak namun sederhana, dengan melepaskan diri dari kekayaan.
Sikap dan perbuatan dalam menghidupi semangat kemiskinan (lahiriah) dapat menjadi sebuah kesaksian hidup yang bisa dicontoh oleh umat yang dilayaninya teristimewa tentang pandangan Kristiani mengenai barang-barang duniawi dan penggunaannya.

c.       Pengelolaan secara bertanggungjawab:
Para imampun hendaknya dapat mengelola berbagai macam sarana Gereja dengan bertanggungjawab, yakni dengan mengawasi agar barang-barang dikelola secara adil dan tertib, menggunakan sarana Gereja demi memajukan ibadat dan kerasulan, memperhatikan jaminan hidup yang layak bagi para imam, dan bantuan untuk orang yang kekurangan. Selain itu para imam juga mesti terbuka dan transparan terhadap umat, sehingga tidak menimbulkan kemungkinan-kemungkinan negatif yang mengganggu pelayanan ditengah umat.
Dalam prakteknya, para imam membutuhkan peran awam untuk mengurusi hal-hal keduniawian. Para awam yang ahli dalam bidangnya seperti ahli keuangan, administrasi dan lain sebagainya sehingga imam tidak berkarya sendirian, tetapi melibatkan umat dalam karya pastoralnya.
d.      Mandiri di bidang keuangan, permintaan bantuan :
·         Dari segi pandangan keuangan, tujuan setiap umat Kristen hendaknya kemandirian atau bisa menopang diri sendiri.
·         Para imam hendaknya mendidik kaum beriman untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan Gereja dan membagikannya dengan kaum miskin.
·         Para imam hendaknya bijaksana dalam meminta bantuan-bantuan dan sumbangan-sumbangan, serta memperhatikan dengan baik intensinya masing-masing.

e.      Asuransi untuk penyakit dan usia lanjut :
·         Warganegara, para imam hendaknya membayar iuran kepada asuransi sipil dan badan-badan pensiunan untuk jaminan masa depan.
·         Konteks Gereja, Gereja mengadakan asuransi dan badan-badan pensiun, pada tingkat keuskupan, atau tingkat konferensi waligereja. Berbagai jaminan masa depan diusahakan dengan adanya rumah sepuh, pemeriksaan kesehatan secara teratur, dll

f.        Surat wasiat :
Para imam diminta untuk menulis (inventarisasi), membedakan barang-barang pribadi dan  bukan milik Gereja dalam surat wasiat. Surat wasiat dan testamen tersebut diserahkan ke kuria keuskupan. Para imam hendaknya mencoba membantu Gereja dan kaum miskin pun setelah mati, dan tidak meninggalkan barang-barang mereka kepada mereka yang sudah berkecukupan.

Refleksi
Berbagai kemajuan dan tawaran dunia modern menempatkan kita, para calon imam dan imam, untuk berani mengambil sikap secara tepat sebagai bagian dari dunia. Aneka pilihan dan kenyamanan yang ditawarkan harus ditanggapi secara bijaksana sesuai dengan spiritualitas yang dihidupi. Demikian pula peran imam dalam hal keduniawian harus ditempatkan secara benar guna mendukung pelayanan sucinya dengan sikap terbuka, transparan, dan bertanggungjawab.
Dalam pelayanan di paroki, saya menemukan pergulatan dalam menghidupi semangat kemiskinan ini. Satu sisi ingin hidup apa adanya, sederhana, tetapi terkadang tergoda dengan bermacam tawaran yang menggiurkan. Dalam pergulatan-pergulatan tersebut saya mencoba untuk mengambil sikap untuk tidak luruh di dalamnya. Semangat kemiskinan saya pahami dengan bagaimana saya menggunakan sarana dengan apa adanya, bagaimana saya merawat dan bertanggungjawab terhadapi fasilitas, bagaimana saya menyadari nilai sosial barang, milik, serta bagaimana saya bersolidaritas dengan yang lain. Semua itu tentu saja didorong oleh semangat lepas bebas yang mengalir dari pilihan awal untuk mengikuti Kristus.



[1] Lihat LG 17

Adven I : Moment Membangun Pengharapan

Ada seorang pemuda bernama Tama. Ia tergolong masih muda, usianya kisaran 22 tahun. Pada usia yang terbilang muda, Tuhan menguji dirinya dengan penyakit berat. Berdasarkan pemeriksaan para medis, ia terserang tumor. Vonis itu membuat Tama sangat terpukul. Suasana gegap gempita sebagai orang muda serasa muram tak bergema apa-apa.

Awalnya ia merasa berat menerima kenyataan pahit itu. Tetapi seiring waktu sejalan doa dan dukungan orang-orang yang mencintainya, ia memutuskan untuk berpasrah kepada Tuhan. Ia tak mempersoalkan seberapa sakit dan beratnya penyakit yang diidapnya. Ia tidak lagi memberontak kepada Tuhan. Ia memilih mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik bahkan untuk kenyatan terpahit sekalipun. Ia mengasup obat herbal dan setia menjalani terapi dengan hati yang lebih pasrah. Ia menghabiskan waktunya untuk berdoa, pribadi atau dalam perayaan ekaristi serta merenungkan Sabda. Dibalik kegetiran hidupnya, ia selalu mengumbar senyum untuk siapa saja. Kehadirannya membawa kehangatan bagi siapa saja yang berada di dekatnya. Inilah sikap dan caranya memandang sakit dan kehidupannya.

Penderitaan bukan suatu peristiwa yang menakutkan tetapi kesempatan membangun harapan dalam iman. Tama menyiapkan akhir hidupnya dengan matang. Ia siap saat Tuhan datang kepadanya.

Apa yang ia buat sungguh mengagumkan. Ia berani mengambil langkah-langkah yang panjang dalam proses penyembuhannya. Kita bisa membayangkan bagaimana kesembuhan itu membutuhkan kesabaran untuk menunggu. Inilah pengalaman Adven di mana Tama mempersiapkan segala sesuatu dengan iman dan harapan kepadaNya.

Pengalaman adven inilah yang akan kita renungkan minggu ini. Apa yang dimaksud dengan pengalaman adven? Kita akan merenungkan pengalaman adven dalam kacamata Gereja Katolik. Adven merupakan masa khusus di dalam liturgi gereja. Adven berasal dari kata Latin adventus, artinya kedatangan yang dinanti-nanti. Apa dan siapa yang dinanti? Yesus Sang Juruselamat. Masa adven diperingati dalam 4 minggu sebelum hari natal. Selama empat minggu, umat beriman menyiapkan kedatangan Tuhan, yang dikandung dari Roh Kudus oleh Perawan Maria sekalius mempersiapkan kedatangan Tuhan yang kedua. Maka, masa adven adalah masa untuk menunggu kedatangan Tuhan Yesus.

Peristiwa iman inilah yang kita rayakan selama empat minggu ke depan. Seluruh umat beriman mempersiapkan diri agar pantas menyambut kedatanganNya. Kepantasan itu disiapkan secara lahir dan batin. Apa yang harus kita siapkan?

Pertama, Berjalan di dalam terang Tuhan. Apa yang disampaikan oleh Nabi Yesaya, utusan Allah, kepada orang Yehuda dan Yerusalem merupakan langkah persiapan. Yesaya mengajak mereka naik ke gunung Tuhan, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar tentang jalan-jalanNya, dan supaya mereka menempuh jalan itu. Yesaya mengajak mereka untuk berjalan dalam terang Tuhan (Yes 2:5). Yesaya menegaskan suatu dampak dari kehidupan baru yang diakibatkan oleh terang yakni kedamaian.

Apa yang dihadapi oleh Yesaya dirasakan oleh kita saat ini. Alih-alih kita menemukan kedamaian malah peperangan, kekerasan, dan kebencian. Lihat apa yang terjadi dengan para mahasiswa di Makasar, mereka tawuran. Pembunuhan, perampokan atau korupsi bisa kita temukan dengan mudah tumbuh di sekitar kita. Dalam lingkup keluarga, adanya perselingkuhan, perceraian, ngrasani sangat cepat berkembang.

Di dalam masa adven, kita dipanggil untuk merenungkan perjalanan rohani kita secara pribadi. Apa yang direnungkan  oleh Yesaya menjadi permenungan kita. Kedamaian, keselamatan, kebahagiaan itu dapat menjadi nyata jika kita terbuka membiarkan diri berjalan di dalam terangNya, "Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas. Bangsa yang satu tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa yang lain, dan mereka tidak akan lagi berlatih perang."

Masa adven merupakan moment istimewa untuk mengubah diri. Aneka kekacauan (chaos) yang ada tak akan pernah berhenti jika kita tidak berusaha mengubahnya. Kesempatan untuk berubah merupakan salah satu persiapan kita secara rohani dalam menyambut kedatangan Yesus. Perubahan itu tidak lepas dari pertobatan yang kita bangun terus-menerus. Bagaimana kita mewujudkan hidup sebagai anak terang?

Kedua,  Kesiapsediaan. Kita tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi dengan hidup kita. Masa adven sebagai masa penantian akan kedatangan Tuhan Yesus mengajak kita untuk selalu mempersiapkan diri kapan-pun Ia datang. Ilustrasi kesiapsediaan itu dikisahkan Penginjil Matius dengan jelas, "Sebab itu, hendaklah kamu selalu siap siaga, karena Anak manusia datang pada saat yang tidak kamu duga." Kesiapsediaan kita sebagai orang beriman dapat diwujudkan dalam ketekunan berdoa, kesetiaan menggereja,  terbuka terhadap sesama. Jangan sampai saat Tuhan datang yang kedua kalinya kita kedapatan belum siap, masih kotor. Kita masih sibuk membersihkan hati kita yang kotor karena kebencian, kemarahan, dan kesombongan. Oleh karena itu, masa adven menjadi kesempatan yang baik untuk membersihkan hati kita. Kita menyiapkan ruang hati yang bersih, yang pantas menjadi tempat tinggalNya. Inilah bentuk kesiapsediaan kita dalam menyambut kedatanganNya.

Semoga keterbukaan dan kesiapsediaan kita menyambutNya bisa dihidupi dengan setia di masa adven ini. Sebab inilah moment yang tepat bagi kita untuk membangun pengharapan sebab Dia datang menawarkan keselamatan kepada kita. Apakah kita telah benar-benar serius menyiapkan hati kita untukNya?

.